Penulis : Erlangga C. G. Paath
Indonesia ialah Negara Hukum, yang mana hal tersebut di amantkan langsung oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, yang lebih jelasnya terdapat didalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dan juga didalam menjalankan pemerintahannya negara Indonesia kemudian menganut asas demokrasi atau kedaulatan rakyat, hal tersebut dengan jelas dapat dilihat didalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi sebagai berikut “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dari dua pokok pembahasan yang ada diatas, secara sekilas telah memberikan gambaran sekaligus pernyataan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sekaligus negara yang menganut asas demokrasi atau asas kedaulatan rakyat. Namun menariknya dibalik dua istilah atau konsep tersebut, sebagian besar atau mungkin seluruh warga negara Indonesia juga mengenal istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” atau “Negara Berketuhanan yang Maha Esa” yang seringkali dikaitkan dengan negara Indonesia, tentunya istilah tersebut tidak pula serta merta hanya menjadi suatu kata-kata yang tidak memiliki pemaknaan atau bahkan tidak memiliki dasar konstitusi maupun dasar yuridis yang jelas, namun sebaliknya istilah Ketuhanan yang Maha Esa sanantiasa memiliki nilai-nilai yang kuat ditengah kehidupan masyarakat Indonesia bahkan didalam menjalankan roda politik pemerintahannya. Pemaknaan dari istilah “Ketuhanan yang Maha Esa”, pertama-tama dapat kita lihat didalam sila pertama Pancasila yang merupakan Grundnorm atau norma dasar dari Negara Republik Indonesia, yang kemudian diperkuat dengan bunyi Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Melihat realitas kehidupan yang ada ditengah-tengah masyarakat Negara Republik Indonesia yang begitu majemuk dan terdiri dari begitu banyak perbedaan, khususnya berbagai perbedaan pada latar belakang kepercayaan dan agama yang begitu bermacam-macam dan begitu beragam. Tentunya sudah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin dan melindungi warga negaranya, dalam hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah Negara Republik Indonesia untuk menjamin dan melindungi kehidupan segenap warga negara Indonesia, khususnya menjamin hak-hak dari seluruh warga negara Indonesia untuk memeluk agama atau kepercayaannya masing-masing secara merdeka, sebagaimana landasan Konstitusional yang bersumber dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal penjaminan atas kemerdekaan dalam beragama segenap warga negara Indonesia yang semestinya harus dijamin oleh pemerintah Negara Republik Indonesia, ialah tertuang langsung didalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana berbunyi demikian “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konsep Negara Berketuhanan Yang Maha Esa
Seperti yang telah kita bahas diatas bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana hal tersebut telah di nyatakan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yang lebih tepatnya telah di atur dalam Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945. Sebelum kita bersentuhan langsung dengan pembahasan mengenai konsep negara berketuhanan Yang Maha Esa, ada baiknya kita mencermati dengan jelas mengenai apa itu Konstitusi, dikarenakan konsep Negara Berketuhanan Yang Maha Esa sejatinya tidak dapat terlepas dari hukum dasar atau Konstitusi dalam hal ini hukum dasar atau Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Menurut Ferdinand Lassalle dalam bukunya: Uber Verfassungswesen. Lassalle membagikan konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
Pengertian sosiologis atau politis (sociologische atau politische begrip); “Konstitusi adalah synthese faktor-faktor kekuatan yang nyata (dreele machtsfactoren) dalam masyarakat”. Jadi kostitusi menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara. Kekuasaan-kekuasaan tersebut diantaranya : raja, parlemen, cabinet, pressure groups, partai politik dan lain-lain; itulah yang sesungguhnya konstitusi;
Pengertian yuridis (Juridische begrip) : “Konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerinthan”. Nyatalah bahwa Lessalle dipengaruhi oleh paham kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan undang-undang dasar.
Dari pengertian sosiologis atau politis, ternyata Lassalle pun menganut paham bahwa konstitusi sesungguhnya mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar undang-undang dasar.
Di samping itu, Lassalle pun tidak memberikan ketegasan tentang ciri konstitusi sebagai undang-undang yang tertinggi (de hoogste wet).
Adapun juga pengertian Konstitusi menurut A..A.H. Struycken dalam bukunya : Het Staatrecht van het koninkrijk der Nederland. Menurut Struycken, konstitusi adalah undang-undang yang memuat garis-garis besar dan asas-asas tentang organisasi dari pada negara. Jadi, struycken adalah termasuk penganut paham bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Tetapi Struycken pun tidak menyebut dengan tegas tentang sifat undang-undang yang tertinggi (de hoogstewet) dari konstitusi.
Perlulah juga senantiasa kita membahas mengenai teori kenegaraan pembentukan negara. Jelaslah dengan demikian betapa rincinya bangsa Indonesia di dalam menterjemahkan perkembangan teori kenegaraan tentang terjadinya negara. Beberapa hal atau unsur yang harus kita perhatikan di sini ialah:
Pertama, bahwa terjadinya negara merupakan suatu proses yang tidak sekedar dimulai dari proklamasi, melainkan bahwa perjuangan kemerdekaan pun mempunyai peran khusus dalam pembentukan ide-ide dasar yang dicita-citakan (ideologi).
Kedua, bahwa proklamasi barulah “mengantarkan bangsa Indonesia” sampai ke pintu gerbang kemerdekaan, jadi tidak berarti bahwa dengan proklamasi telah “selesai” kita bernegara.
Ketiga, ialah bahwa keadaan bernegara yang kita cita-citakan bukanlah sekedar adanya pemerintahan, wilayah, dan bangsa, melainkan harus kita isi menuju keadaan merdeka, berdaulat, bersatu, adil, dan makmur.
Keempat ialah, bahwa terjadinya negara adalah kehendak seluruh rakyat, dan bukan sekedar keinginan golongan yang ekonomi lemah untuk menentang yang ekonomi kuat seperti dalam teori kelas.
Kelima, unsur religieusitas dalam terjadinya negara, menunjukkan adanya kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Unsur kelima inilah yang kemudian diterjemahkan menjadi pokok pikiran keempat, yang terkandung di dalam pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa: Indonesia bernegara mendasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang didasarkan (pelaksanaannya) pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Karena itu Undang-Undang Dasar 1945 harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Demikianlah terjadinya negara menurut bangsa Indonesia dan dampak yang diharapkan didalam bernegara.
Dalam proses bernegara di negara Indonesia, kita kemudian mengenal berbagai prinsip dalam penyelenggaraan negara. Adapun prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa adalah merupakan salah satu prinsip yang digunakan dalam proses penyelenggaraan negara khususnya proses penyelenggaraan negara Indonesia. Keyakinan akan prinsip ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan dalam sila kedua Pancasila, yaitu sila kemanusiaan yang adil dan beradab, berisi paham persamaan kemanusiaan (egalitarianisme) yang menjamin peri kehidupan yang adil, dan dengan keadilan itu kualitas peradaban bangsa dapat terus meningkat dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, prinsip keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkaitan erat, bahkan menjadi prasyarat utama untuk terciptanya keadilan, dan peri kehidupan yang berkeadailan itu sendiri menjadi syarat pula bagi pertumbuhan dan perkembangan peradaban bangsa Indonesia di masa depan.
Dalam kehidupan bernegara, prinsip ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa tersebut diwujudkan dalam paham kedaulatan rakyat (democracy) dan sekaligus dalam paham kedaulatan hukum (nomocracy) yang saling berjalin berkelindan satu sama lain. Keduanya di wujudkan dalam pelembagaan sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) dan prinsip negara hukum yang demokrasi (democratische rechtsstaat). Oleh karena itu, setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan kedaulatan mereka di salurkan secara kelembagaan melalui lembaga parlemen yang menentukan bentuk dan materi hukum yang mengatur kehidupan kenegaraan. Sebagai konsekuensi prinsip ke-Maha Kuasa-an Tuhan Yang Maha Esa itu, tidak boleh ada materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bahkan hukum dan konstitusi merupakan pengejawantahan nilai-nilai luhur ajaran agama yang diyakini oleh warga negara. Semua ini dimaksudkan agar negara Indonesia dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Apabila dipandang dari sudut perspektif historis, bahwa nilai Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki peranan yang sangat penting dalam proses perumusan dasar negara Indonesia dan memiliki peranan yang sangat penting dalam pemikiran para founding fathers negara Indonesia. Suasana mengedepankan nilai ketuhanan juga senantiasa mewarnai proses perumusan UUD 1945, yang mana dalam sidang-sidang BPUPKI, nilai Ketuhanan menjadi poros dan pijakan. Pengambilan keputusan, apalagi dengan voting, hampir selalu didahului dengan doa. Demikian pula, setelah kesepakatan-kesepakatan dicapai, doa dan syukur kepada Tuhan selalu digemakan. Sebagai contoh, sebelum voting penentuan bentuk negara, apakah unitarisme atau federalisme, anggota BPUPKI Moezakir mengajak seluruh Anggota BPUPKI mengheningkan cipta terlebih dulu, memohon kepada Tuhan agar keputusan yang diambil tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak suci.
Pikiran-pikiran Ketuhanan menyertai alam pikir the founding fathers. Agus Salim misalnya, sebagai orang yang turut membuat preambule rencana Undang-Undang Dasar, mengingat betul bahwa saat itu, tidak ada seorangpun diantara anggota BPUPKI yang ragu-ragu akan dasar Ketuhanam Yang Maha Esa. Dalam karyanya, berjudul “Ketuhanan Yang Maha Esa” dinyatakan, pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dimaksudkan sebagai kekuatan keyakinan bahwa kemerdekaan bangsa dan tanah air diperoleh atas rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa, dengan ketentuan-Nya, yang dilaksanakan-Nya, dengan semata-mata kekuasaan-Nya menurut kehendak-Nya. Demikian pula Soekarno. Dalam pidatonya 1 Juni 1945, terasa benar kehadiran Tuhan dengan mengucapkan nama-Nya berulang-ulang sepanjang pidato. Soekarno mengedepankan dimensi ketuhanan sebagai bagian yang esensial dari kebangsaan dan kenegaraan yang hendak dibangun bersama. Misalnya, Soekarno mengatakan, bahwa proklamasi adalah takdir Tuhan. Peristiwa proklamasi akan jatuh di hari keramat-Nya. Proklamasi yang akan berlangsung tanggal 17. Malam hari persis sebelum berpidato, Soekarno berpasrah meminta kemurahan Tuhan sebagai pemilik daya cipta, Tuhan yang Maha Membimbing dan Memberi Ilham.
Politik Hukum Penerapan Pasal 29 Ayat 2 UUD NRI 1945
Menurut Wahjono dalam bukunya “Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum” mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah forum keadilan yang berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”. Dalam artikel tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.
Dari kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).
Aturan dasar dalam hal kebebasan beragama terdapat didalam Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945, politik hukum pemerintah dalam penerapannya mengenai landasan-landasan konstitusional kebebasan beragama kemudian terdapat dalam aturan-aturan dibawahnya seperti peraturan perundang-undangan lain yang menjamin kebebasan beragama yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua Undang-Undang di atas lahir setelah masa reformasi dan keduanya menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Permasalahan hukum yang terjadi pada umumnya berkaitan dengan Implementasi dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang didalam penjelasannya menyatakan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu (Confucius). Enam agama inilah yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Selanjutnya di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa ini tidak berarti agama-agama lain seperti Yahudi, Zarassutrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Kesemua agama di atas pada prinsipnya mendapat jaminan penuh seperti yang diamanatkan pada pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya.
Menurut Mahfud M.D, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing. Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation/judicial review) untuk melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya.
Sebagaimana yang dijelaskan diatas dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diatur adanya hak-hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia. Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa:
- Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Tetapi Undang-Undang yang sama juga mengatur adanya kewajiban dasar manusia, yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 1, 67, 68, 69 dan 70 UU tersebut. Tentang pembatasan hak dan kebebasan hanya dapat dilakukan oleh UU sebagaimana diatur Pasal 73 UU tersebut. Demikian pula kebebasan beragama dijamin oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 12 Tahun 2005. Dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU ini, disebutkan sebagai berikut: Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
- Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
- Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Prinsip dan pasal-pasal mengenai kebebasan beragama diatas masih sangat umum dan perlu penjabaran lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan isu kebebasan beragama di Indonesia dewasa masalahnya dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya 4 masalah: 1) Hubungan kebebasan beragama dengan agama lain. Ini menjadi masalah karena adanya pluralitas agama yang mengakibatkan adanya benturan program antara satu agama dengan agama lain. 2) Hubungan kebebasan beragama pada pemeluk agama masing- masing. Ini menyangkut masalah-masalah pemikiran dan pengamalan ajaran agama yang oleh umat penganut agama tersebut dianggap menyimpang. 3) Hubungan kebebasan beragama dan pemerintah. Khusus ketika terjadi konflik peran pemerintah mutlak diperlukan sebagai penengah dan fasilitator antar agama atau antar pemeluk agama. 4) Hubungan kebebasan beragama dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini bermasalah ketika HAM yang dianggap universal itu ternyata secara konseptual dan praktis berbenturan dengan prinsip-prinsip dalam agama.
Negara Indonesia adalah negara hukum yang kemudian berasaskan demokrasi, namun dibalik itu negara Indonesia juga merupakan negara yang berlandaskan asas Ketuhanan Yang Esa. Adapun konsep Negara Berketuhanan Yang Maha Esa tidak dapat dapat terlepaskan dengan konsep negara hukum dan negara demokrasi dikarenakan pengimplementasian konsep negara Berketuhanan Yang Maha Esa terletak didalam proses pelaksanaan negara Hukum dan negara demokrasi.
Mengenai politik hukum penerapan Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945 dapat dilihat dalam beberapa aturan yang berada di bawahnya seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Perlu diadakannya berbagai sosialisasi dari pemerintah terkait pengenalan letak-letak keberadaan unsur Ketuhanan Yang Maha Esa didalam proses pelaksanaan pemerintahan, karena dirasa penting dalam hal pengembangan pengetahuan masyarakat dan pengembangan pertumbuhan ideologi nasionalisme yang kemudian dapat juga berdampak bagi moderasi beragama yang ada di Indonesia.