Pembentukan RKUHP Dinilai Tidak Partisipatif: Memahami Meaningful Participation Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

  • Bagikan
Interupsi di Sidang DPR RI Sumber : Tempo.co

Penulis : Pascal W.Y. Toloh, SH (Founder Manado Legal Studies)

Sejak rapat dengar pendapat Komisi III DPR RI dengan Tim Pemerintah terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada 25 Mei 2022, diskursus mengenai pembentukan RKUHP menjadi sorotan akhir-akhir ini, pasalnya pembentuk undang-undang dinilai tidak transparan dan tidak sepenuhnya memberikan akses kepada publik untuk berpartisipasi dalam proses legislasi secara bermakna (meaningful participation) sebagaimana yang diamanatkan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Memahami Partisipasi Masyarakat Secara Bermakna (Meaningful Participation) Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

A. Dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/202
Penjabaran prinsip partisipasi secara bermakna pertama kali muncul dalam pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU Cipta Kerja, yakni sebagai berikut “partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas. Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.”

Dalam putusan MK tersebut juga dijabarkan tujuan dari partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU, yaitu:
1.menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan,
2.membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan;
3.meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif;
4.memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan;
5.meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara;
6.memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan
7.menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparant).

B. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pada Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f dan huruf g, yang menyatakan:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan

Prinsip Partisipasi Masyarakat kemudian diperjelas dalam Pasal 96 yang menyatakan:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
(5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang- undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.
(6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang- undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau
d. kegiatan konsultasi publik lainnya.
(7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(8) Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1).

C. Dalam Konstitusi UUD NRI Tahun 1945
Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang-undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).”

Implikasi Hukum Tidak Terpenuhinya Prinsip Partisipasi Masyarakat Yang Bermakna (Meaningful Participation).

Mekanisme pembuktian bahwa suatu pembentukan undang-undang tidak memenuhi syarat formil seperti prinsip partisipasi masyarakat yang bermakna (Meaningful Participation) dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam konsepsi pengujian, hak menguji dibagi menjadi dua bentuk. Hak menguji formal (formele toetsubfsrecht) melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, hak menguji material (materiele toetsingsrecht),

Legitimasi Mahkmah Konstitusi untuk melakukan pengujian formil diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 53 ayat 3 huruf a Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan beberapa jurisprudensi Mahkamah Konstitusi.

Menurut Prof. Susi Dwi Harijanti prosedur dalam pembentukan undang-undang di dalam berbagai peraturan perundang-undangan memiliki makna penting sebagai serangkaian kriteria dari rantai tindakan hukum (chain of legal acts) yang menentukan validitas sebuah undang- undang. Dengan kata lain, prosedur memiliki fungsi untuk membedakan apakah sebuah tindakan dari kekuasaan berdampak pada lahirnya hukum atau tidak. Jika undang-undang yang diuji dinyatakan tidak memenuhi bagian tertentu dari seluruh proses pembentukan undang-undang yang ditetapkan oleh hukum, maka berkonsekuensi mengakibatkan norma-norma didalamnya dianggap sebagai preposisi yang tidak mengandung sifat hukum sejak kelahirannya (nullity), yang dalam tradisi hukum di Indonesia disebut sebagai “batal demi hukum”.

Jika pembentuk undang-undang (law maker) tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka undang-undang tersebut batal demi hukum atau harus dicabut secara keseluruhan dan dinyatakan tidak berlaku.

  • Bagikan