Perihal Subtansi Perda
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Cap Tikus telah ditetapkan oleh DPRD Provinsi Sulawesi Utara untuk masuk dalam program Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2022, tetapi dalam prosesnya sampai saat ini yang sudah masuk Tahun 2023 terdengar terjadi “kemandekan” karena berbenturan dengan regulasi maupun kebijakan pemerintah pusat. Padahal, secara konstitusional dalam UUD 1945 pemerintah daerah memiliki kewenangan otonomi daerah seluas-luasnya dengan tujuan pemenuhan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan mengandalkan potensi sumberdaya daerah serta sebagai bentuk penghormatan terhadap hak masyarakat adat di daerah.
Manifestasi muatan konstitusional tersebut tercermin karakteristik substansi peraturan daerah yang ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan atau penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Fokus pada frasa kondisi khusus yang bermakna bahwa Perda dapat menjadi instrumen hukum yang mengakomodir nilai-nilai budaya atau ciri khas sosial yang ada dalam suatu daerah berdasarkan semangat otonomi daerah. Ranperda Cap Tikus memuat kondisi khusus daerah Sulawesi Utara yang memiliki Cap Tikus sebagai minuman khas daerah yang memiliki nilai kearifan lokal dari kebudayaan Minahasa sehingga secara materil Ranperda Cap Tikus layak menjadi payung hukum berbentuk Perda bagi masyarakat Sulawesi Utara petani dan konsumen Cap Tikus.
Begitu juga landasan yuridis yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, merumuskan muatan peraturan daerah yang mana pada Pasal 236 ayat (1) menyatakan bahwa “untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda, pada ayat (3) “Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan:
- penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
- penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dan pada Ayat (4) melengkapi muatan Perda yakni dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, frasa “muatan lokal” merupakan substansi yang didasarkan pada potensi daerah seperti Cap Tikus yang merupakan sumber daya alam khas daerah Sulawesi Utara.
Lebih lanjut dalam Pasal 237 ayat (1) menyatakan ”Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia” norma tersebut memberikan penegasan bahwa dalam pembentukan Peraturan daerah harus berpegang pada pedoman hukum yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat, merujuk pada penjelasan penulis diatas bahwa Cap Tikus merupakan bagian dari hak masyarakat adat Minahasa memberikan landasan bahwa perda Cap Tikus adalah instrumen hukum lokal untuk menghormati dan melindungi hukum yang hidup dan berkembang dimasyarakat Sulawesi Utara.
Disfungsi Kewenangan dan Tidak Adanya Political Will Kepala Daerah
Dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat diberikan wewenang berdasarakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 65 ayat (2) menyatakan “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang: a. mengajukan rancangan Perda; b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah; d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat; e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Problematik legalitas Cap Tikus seharusnya ditanggapi dengan kepekaan kepala daerah baik itu Gubernur atau Bupati untuk mengambil tindakan tertentu baik berupa pembentukan perda atau pembentukan peraturan kepala daerah (Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati) untuk memenuhi kebutuhan atau aspirasi masyarakat dalam hal ini terkait legalitas cap tikus, sebenarnya dengan membentuk Peraturan Kepala Daerah ialah suatu fast track legislation atau “jalan pintas” bagi pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap cap tikus yang merupakan kearifan lokal dan sumber daya ekonomi Sulawesi Utara, melaksanakan kewenangan tersebut merupakan konsekuensi logis dari hak otonomi daerah yang dimiliki daerah otonomi terlebih subtansinya merupakan aspirasi dari masyarakat daerah. Permasalahan yang ada yakni belum adanya political will atau kehendak politik dari kepala daerah untuk menggunakan kewenangan yuridisnya sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Jika merujuk pendapat dari Dino Abazovic (2015) yang mengemukakan beberapa komponen untuk mendefinisikan Political Will, yaitu Pertama, Pembuat keputusan yang memadai. Kedua, Pemahaman bersama tentang masalah tertentu dalam agenda bersama. Ketiga, Berkomitmen mendukung, dan Keempat, Solusi kebijakan yang secara umum dirasakan dan berpotensi efektif. Dari pendapat tersebut dapat kita lihat dalam realitas perjalanan pembentukan kebijakan legalitas Cap Tikus yakni kepala daerah kita tidak kuncung menggunakan kapasitasnya yang sudah dilandasi peraturan perundang-undangan untuk mengeluarkan kebijakan hukum tentang legalitas Cap Tikus, kepala daerah tidak memperlihatkan sense of crisis atau respon terbukan terhadap permasalahan legalitas Cap Tikus yang sudah berjalan cukup lama, belum adanya komitmen yang nyata terhadap masukan dan aspirasi masyarakat, belum dikeluarkanya kebijakan yang menjawab kebutuhan masyarakat terkait lagalitas Cap Tikus. Berdasarkan pada realitas tersebut, maka terlihat kepala daerah belum memiliki political will terkait aspirasi masyarakat tentang legalitas Cap Tikus.
Perbandingan Dengan Daerah Lain
Jika kita membandingkannya dengan daerah lain seperti Provinsi Bali, disana legalitas minuman tradisional arak bali telah didasarkan dengan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi Dan/Atau Destilasi Khas Bali. Gubernur Bali berhasil mengeluarkan kebijakan pro Rakyat berbasis kearfian lokal dalam bentuk Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi Dan/Atau Destilasi Khas Bali. Peraturan Gubernur ini telah disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri, yang diundangkan pada Januari tahun 2020. Latar belakang dikeluarkannya Pergub ini adalah bahwa Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali sebagai salah satu sumber daya keragaman budaya Bali yang perlu dilindungi, dipelihara, dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendukung pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan dengan berbasis budaya sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.
Peraturan Gubernur tersebut bertujuan untuk Pertama, memanfaatkan minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali sebagai sumber daya ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan krama Bali; Kedua, melakukan penguatan dan pemberdayaan perajin bahan baku minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali; Ketiga, mewujudkan tata kelola bahan baku, produksi, distribusi, pengendalian dan pengawasan minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali; Keempat, membangun standardisasi produksi untuk menjamin keamanan dan legalitas produk minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali; Kelima, dan melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan.
Pembentukan Pergub Bali tersebut sebenarnya memiliki latar belakang yang sama dengan perjuangan legalitas Cap Tikus yang mana didasarkan pada pemanfaatan potensi sumber daya ekonomi dan kelestarian budaya yang ada dalam Cap Tikus, tetapi yang membedakannya adalah belum adanya kehendak politik (political will) dan pertanggungjawaban publik terhadap aspirasi masyarakat tentang Cap Tikus.
Oleh : Pascal Toloh (Founder Manado Legal Studies)