POLEMIK PASAL PENGHINAAN LEMBAGA NEGARA ATAU KEKUASAAN UMUM YANG TAK KUNJUNG USAI

  • Bagikan

 

Jovano Apituley

Penulis : Jovano Apituley 

A. LATAR BELAKANG

            Pemerintah sudah resmi menyerahkan draf penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil konsultasi publik dan sosialisasi kepada Komisi III DPR. Selanjutnya draf RKUHP akan masuk dalam tahap pembahasan di Komisi III DPR pada 21 dan 22 November 2022. Berdasarkan yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej dalam draf terbaru itu terdapat beberapa perubahan (reformulasi, reposisi) sehingga menyebabkan pengurangan pasal dari draf RKUHP tanggal 6 Juli 2022 yang semulanya terdapat 632 pasal, menjadi 627 Pasal dalam Draf 9 November 2022.

Berdasarkan draf terbaru masih terdapatnya, pasal mengenai Delik Penghinaan yang menjadi perdebatan antara pihak yang Pro dan Kontra, yaitu pasal 217-220 tentang Penyerangan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 349-350 tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Ada yang beranggapan bahwa pasal ini akan menjadi senjata untuk merusak iklim demokrasi di Indonesia, ada juga yang berpendapat bahwa Pasal ini mengajarkan dan akan membuat Masyarakat Indonesia untuk menggunakan Hak Kebebasan Berpendapat-nya yang dijamin dalam konstitusi menjadi lebih beradab. Perbedaan cara memandang inilah yang membuat juga penulis untuk memberikan pandangan terkait perdebatan yang tak kunjung usai ini khususnya dalam Pasal 349-350 tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.

 

B. PROBLEMA PELAKU PENAFSIRAN HUKUM

            Berikut adalah Pasal Penghinaan Lembaga Negara & Kekuasaan Umum dalam RKUHP yaitu:

Pasal 349:

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Pasal 350:

(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

 (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Dalam dunia yang sudah sempurna, sebenarnya tidak akan ada ruang untuk “Penafsiran Hukum”. Tak akan ada seorang-pun yang menulis tentang Penafsiran Hukum, terlebih apalagi jika bahasa undang-undang, sudah jelas dan tidak ambigu. Para Insan Yuris tak akan berdebat tentang makna yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang termaktub dalam suatu Regulasi, dan juga tak akan berdebat tentang “Maksud daripada Pembuat regulasi”. Namun sayangnya kita adalah dunia yang jauh dari kesempurnaan itu, dan bahasa undang-undang seringkali mengharuskan untuk terjadinya Penafsiran karena seringkali terjadinya perbedaan pendapat/penafsiran antara 2 Mazhab besar dalam Ilmu Hukum yaitu: Mazhab Positivisme & Mazhab Responsif/Progresif dan 2 aliran Paradigma Hukum yaitu: Paradigma Demokratis & Paradigma Ortodoks.

Penulis beranggapan, karena alasan-alasan diataslah yang menjadi penyebab RKUHP sampai saat ini belum bisa diundangkan. Maka dikarenakan maraknya penafsiran terhadap Pasal Delik Penghinaan, Penulis-pun mempunyai pandangan/penafsiran sendiri terhadap Pasal Delik Penghinaan di RKUHP. Menurut Penulis yang menjadi titik sentral daripada perdebatan Pasal Delik Penghinaan yaitu, pada sektor Pelaku Penafsiran, perlu diketahui bersama bahwa konsepsi Penafsiran Hukum harus berdasar pada yang namanya ilmu “Hermeneutika Hukum”, yang menurut hemat penulis dalam Ilmu “Hermeneutika Hukum” menjabarkan bahwa dalam Perancangan serta Penegakkan suatu Produk Hukum, harus berdasarkan konsepsi yang namanya: Teks & Konteks, agar suatu produk Hukum yang akan dirancang atau ditegakkan akan memenuhi Tujuan Hukum pada dasarnya yaitu mencapai suatu Keadilan, kepastian serta Kemanfaatan.

 

C. PENAFSIRAN PASAL PENGHINAAN LEMBAGA NEGARA & KEKUASAAN UMUM

Berdasarkan pandangan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej beliau berpendapat, terminologi Frasa “Penghinaan” di RKUHP dibagi 2 bentuk yaitu: Pertama, Menista. Sederhananya jika ditilik dari KBBI adalah Menghina, Merendahkan martabat seseorang, Contohnya: Saat seseorang mengumpat nama seseorang dengan nama binatang. Kedua, Memfitnah. Sederhananya juga jika ditilik dari KBBI menjelekkan nama orang, menuduh (menodai nama baik, merugikan kehormatan, dan sebagainya). Contohnya: Jika dalam koridor Pidana, yaitu saat kita menuduh seseorang melakukan suatu tindak pidana dan tuduhan itu tidak dapat dibuktikan. Serta alasan hadir dan dipertahankannya Pasal Delik Penghinaan dalam RKUHP khusunya Penghinaan terhadap Lembaga Negara dan Kekuasaan Umum, yaitu:

Pasal Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara, yang menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Penjelasan Pasal 351 Ayat (1), “Ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan Umum atau Lembaga Negara dihormati.

Dalam penjelasan dikatakan bahwa ini digunakan demi memberikan kehormatan pada Lembaga Negara atau Kekuasaan Umum. Lembaga Negara atau Kekuasaan Umum disini meliputi, antara lain: DPR, DPRD, POLRI, KEJAKSAAN, atau Pemerintah Daerah. Menurut Penulis Penyusun RKUHP secara tidak langsung sadar bahwa Lembaga diataslah yang sering menjadi sasaran kritik. Jika ditinjau penafsiran Politik Hukum Negara, bahwa Negara dalam hal ini sebenarnya ingin mempertegas kewibawaan lebih kepada ingin menjamin/mempertegas Kepastian Hukum terkait Perlindungan marwah Lembaga Negara atau Kekuasaan Umum, juga menurut penulis sebenarnya hal itu sah-sah saja karena dalam konsep ketatanegaraan Lembaga Negara/Kekuasaan Umum mempunyai tugas lebih dalam hal, antara lain:

  1. Membantu menjalankan roda pemerintahan negara.
  2. Menjaga kestabilan atau stabilitas keamanan, politik, hukum, HAM, dan budaya.
  3. Menciptakan suatu lingkungan yang kondusif, aman, dan harmonis.

Namun yang menjadi vocal point dari penulis ialah, walaupun Pasal ini sifatnya Delik Aduan, tetap saja akan mempengaruhi Iklim Demokrasi Negara, mengapa? Memang secara teks Politik Hukum pasal ini baik adanya, selain mempertegas kewibawaan Lembaga Negara atau Kekuasaan Umum, namun juga secara tidak langsung mengajari masyarakat bagaimana untuk melayangkan suatu Kritik yang Konstruktif & Solutif dan lebih beradab. Namun yang jadi persoalan daripada jika pasal ini terjemahkan secara konteks Penerapan/Penegakkan Pasal ini nantinya, apakah ada jaminan nantinya Otoritas Tafsir Negara saat menerima aduan tidak akan menyalahgunakan pasal sebagai senjata untuk menekan kebebasan berpendapat atas dasar sentimen (mungkin)? Terlepas dari nantinya apakah Otoritas Tafsir Negara (APH) terlebihnya Polri dapat menafsir Terminologi, Filosofi & Politik Hukum pasal ini saat menggunakannya, namun secara pribadi penulis ragu akan hal tersebut diatas. Apalagi saat masuk ranah aplikasi & administrasi tangan memegang monopoli dan tendensinya seringkali APH sulit menerapkan suatu pasal dari produk hukum sesuai konstruksi politik hukum sebenarnya yang menjadi tujuan daripada Legislator. Menginat UU ITE yang seringkali dialihkan fungsinya yang seharusnya menjadi as a tool of engineering dan Sarana Pembangunan, malah menjadi senjata untuk menerkam masyarakat yang menggerus Iklim Demokrasi yang menjadi esensi Utama dalam konsep Negara Hukum (Rechtstaat).

Benar memang 1 pasal bisa menimbulkan 100 Penafsiran, namun kembali lagi dalam proses Penerapan/Penegakkan harus memperhatikan Konsepsi Hermeneutika Hukum: Teks, Konteks, Penafsiran. Seperti yang disebutkan dalam pembahasan Problema Penafsiran Hukum.

 

D. KESIMPULAN & SARAN

            Otoritas Tafsir Negara harus paham betul terkait konsep Penafsiran Hukum dalam Proses Penerapan/Penegakkan Produk Hukum. Agar supaya alih-alih menjadikan Hukum menjadi senjata arogansi tapi harus menjadi Hukum sebagai tool of engineering dan Sarana Pembangunan Masyarakat. Juga jangan sampai karena perdebatan 1-10 Pasal yang bermasalah lalu Menjustifikasi RKUHP sepenuhnya bermasalah

Saran dari penulis ialah alangkah idealnya jika membuat gradasi Tindak Pidana Penghinaan yang lebih nampak agar supaya penjatuhan sanksinya bisa disesuaikan dengan gradasi tersebut dan bangunlah susunan hukum pidana tanpa meninggalkan perspektif Hukum lainnya. Serta mengedukasi setiap Lembaga Negara atau Kekuasaan Umum serta setiap Institusi yang terlibat dalam Proses Penegakkan Produk Hukum agar mewujudkan Hukum yang komplit karena mengandung Nilai Keadilan, Kepastian serta Kemanfaatan. Juga jika ada yang ingin mempermasalahkan RKUHP, bisa menempuh jalan alternatif untuk melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi jika RKUHP telah diundangkan.        

 

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Diah Imaningrum Susanti, “Penafsiran Hukum (Teori & Metode)”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019)

Jimly Asshiddiqie, “Pengantar Hukum Tata Negara”, (Depok: Rajawali Pers, 2020)

Mahfud.Md, “Politik Hukum Di Indonesia”, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2009)

Muhammad Ilham Hermawan, “Hermeneutik Hukum (Perenungan Pemikiran Hans-Georg Gadamer)”, (Bandung: PT Refika Aditama, 2018)

Yudi Widagdo Harimuti, “Negara Hukum dan Demokrasi”, (Malang: Setara Press, 2021)

 

ARTIKEL/:

            Detik.com, “Draf Penyempurnaan RKUHP Diserahkan ke Komisi III DPR, Apa Saja Isinya?”, https://nasional.kontan.co.id/news/draf-penyempurnaan-rkuhp-diserahkan-ke-komisi-iii-dpr-apa-saja-isinya (diakses pada 16 November 2022).

Merdeka.com, “Pemerintah Serahkan Kembali Draf RKUHP ke DPR Pada 9 November 2022”, https://www.merdeka.com/peristiwa/pemerintah-serahkan-kembali-draf-rkuhp-ke-dpr-pada-9-november-2022.html (diakses pada 16 November 2022).

Eddy OS Hiarej, “Penghinaan dalam Hukum Pidana”, (Artikel Koran Kompas: 7 Juli 2022)

  • Bagikan