Perempuan tidak Dituntut Menjadi Kartini Sepenuhnya

  • Bagikan
Noufryadi Sururama (foto ist)

Penulis: Noufryadi Sururama (Bung Adi) 

(Mahasiswa Universitas Trinita Manado, Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi Farmasi)

(Ketua Komisariat Karteker GMNI Universitas Trinita Manado)

Dua pertanyaan di benak penulis pada peringatan Hari Kartini ialah apakah karena beliau berasal dari Pulau Jawa? padahal Indonesia bukan hanya pulau Jawa! atau karena beliau berasal dari keluarga kelas bangsawan/priyayi? yang di usia menginjak 12 Tahun bersekolah di ELS (Europese Lagere School) mempelajari bahasa asing, salah satunya bahasa Belanda!

Meninggal di usia 25 Tahun, tepatnya tanggal 17 September 1904, karena komplikasi melahirkan anak pertamanya dengan lelaki bernama Raden Adipati Joyodiningrat, Raden Ayu Kartini hanya salah satu bunga revolusi dari beribu perempuan di Indonesia sebelum dan sesudah zamannya. Bagi kartini, adat istiadat Jawa dan agama merupakan sumber penjajahan atas kaum perempuan.

Sepeninggalnya, puluhan buku mengenai Kartini menjamur. Apa isi tulisannya? Selain surat-surat yang ditujukan kepada teman kecilnya bernama Rosa Abendanon yang bertuliskan kekejaman dan penindasan Belanda terhadap penduduk asli pulau Jawa, serta praktik poligami dan ketidaksetaraan gender. Buku-buku tersebut memuat biografi Kartini yang lahir dari keluarga pemegang adat istiadat jawa yang kental, hingga kematian menjemput lalu memerdekakannya.

Peringatan hari Kartini tepatnya pada 21 April merupakan salah satu dari sekian banyak perayaan, ketika manusia keseringan merayakan sebuah momentum sebatas ajang peringatan. Meski realita yang ada, perempuan masih terjajah atas nafsu birahi, ketamakan, keberingasan dan perbudakan kaum lelaki. Bahkan dari sudut pandang berbeda, perempuan kadang menjadi aktor atau pelaku dalam konteks kekerasan dan pelecehan fisik atau psikis.

Oleh sebab itu, pentingnya pendidikan secara masif, terstruktur dan terorganisir agar tidak terlalu dini dalam mengkaji teori asal-usul penindasan kaum perempuan, patriarki, serta gender. Sehingga konstruksi kritis dan kiblat perjuangan dapat terarah, yang pada akhirnya tidak menciptakan segudang dogma sesat.

Perempuan tidak dituntut untuk menjadi Kartini sepenuhnya. Zaman telah berubah, terpoles, tapi bukan berarti terdegradasi maupun stagnan dalam segala situasi. Namun kemudian, perempuan harus lebih jeli dan kritis atas semua hal yang menyangkut kemaslahatannya.

R. A. Kartini sekedar objek nasional dalam perspektif ke-Indonesiaan untuk pembelajaran atas perjuangan terkait penindasan dan kebebasan kaum perempuan dalam memilih laku hidup.

Perempuan tak perlu dituntut untuk menjadi apapun, sebab kata “tuntut” lebih kepada memenjarakan ruang kebebasan individu dalam memilih, serta memilah apa yang menjadi keinginan secara privatisasi atau publikasi.

Setiap daerah di Indonesia memiliki perempuan yang tak kalah hebat, berani, serta kritis layaknya Kartini di masa itu. Hanya saja, perbedaan konsep perjuanganlah yang menjadi pembeda, namun arah dan tujuan sama, menjadikan Negara Indonesia lepas dari jeratan penjajah, lepas dari dogma perbudakan antar individu, kelompok dan negara.

Sebut saja Ruhana Kuddus, jurnalis perempuan pertama Indonesia. Perempuan kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 ini kerap mengkritik terkait budaya patriarki yang kental di daerahnya seperti pernikahan secara paksa di bawah umur, poligami dan pembatasan, serta pengekangan terhadap kaum perempuan dalam mendapatkan akses ekonomi. Sebelum ia mendirikan surat kabar perempuan bernama Soenting Melajoe pada tahun 1912, semua tulisannya kerap terbit di koran perempuan “Poetri Hindia“.

Selanjutnya, pejuang emansipasi perempuan atas hak dan kondisi perempuan awal abad ke-20, sekaligus pendiri organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) pada tahun 1917 di Manado. Bernama lengkap Maria Walanda Maramis, kelahiran Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872. Menjadi yatim-piatu saat berusia 6 Tahun, tak menyulut tekad Maria W. Maramis untuk mendidik kaum perempuan menyulam, memasak dan membuat kue. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk tindakan nyata untuk mendorong para perempuan agar lihai dalam berbagai keterampilan.

Perjuangan kepada pribumi khususnya perempuan agar dapat mengenyam pendidikan juga pernah dilakukan oleh perempuan asal Bandung. Lahir pada tanggal 4 Desember 1884, Raden Dewi Sartika sering memanfaatkan papan bilik, kandang kereta dan pecahan genteng untuk melakukan pembelajaran kepada sesamanya. Selain itu, Beliau juga mengasah keterampilan mereka seperti merenda, memasak, menjahit, membaca dan menulis. Hingga di Tahun 1904, Dewi Sartika membuka sekolah khusus perempuan bernama Sakolah Istri di Ruang Pendopo, Kabupaten Bandung. Pada Tahun 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.

Penindasan, eksploitasi dan tekanan sosial tak pernah lepas dari konsep patriarki yang menjadi tradisi. Semua merupakan bagian integral dari sistem ekonomi, politik, serta budaya yang berpengaruh besar di seluruh negara. Baik sistem itu melingkupi masyarakat terbelakang dan masih bersifat feodal, atau yang mewarnai masyarakat industri modern, bahkan yang menyerah kepada pengaruh revolusi sains dan teknologi.

Di bangku kelas perkuliahan kita di ajak untuk merenungkan setiap fenomena yang tampak maupun abstrak. Kita dituntut menelaah dan mengkaji transisi fenomena, supaya kita dapat menjelaskan realitas yang paling konkret di semesta ini. Keseimbangan mesti dijaga, karna ada hegemoni mayoritas dan tirani minoritas.(*)

  • Bagikan