Dikte Kapitalisme atas Pemikiran Kartini Masa Kini

  • Bagikan
(Foto istimewa)

 

Penulis: Salsabila Alya Ratu

Siapa yang tidak kenal dengan Raden Ajeng Kartini. Sosok figur inspiratif yang mampu memberikan fondasi bagi lahirnya kehebatan tokoh-tokoh perempuan di Indonesia. Tetapi sangat disayangkan masih banyak yang tidak memahami mengenai gagasan ataupun pemikiran yang sebenarnya dari seorang kartini.

Dahulu, Kartini memberontak karena dia merasa adat, norma, budaya Jawa sekaligus keadaan dirinya sebagai perempuan membuatnya tidak bisa bergerak bebas. Kartini memberontak pada ketidakberdayaannya sebagai perempuan sekaligus anak yang tidak bisa melawan kehendak ayahnya. Adat jawa yang feodal membuatnya sebagai perempuan tidak bisa melanjutkan sekolah sementara kakak laki-lakinya bebas meneruskan cita-citanya ke Hoogere Burgerschool.

Kartini tidak memberontak dengan berdemo namun dengan menuliskan nasib pahitnya pada kawannya yang orang Belanda. Nasib kartini yang demikian harus dilihat dalam konteks lebih satu abad yang lalu. Orang sering salah mengartikan dengan mengatakan bahwa cita-cita kartini sudah berhasil. Perempuan sudah sejajar dengan laki-laki, paling tidak perempuan sudah boleh mengenyam pendidikan yang sama seperti laki-laki. Perempuan juga ikut serta di sektor publik bekerja sama seperti laki-laki. Namun, betulkah itu yang sejatinya dicita-citakan Kartini? Apakah peringatan hari kartini hanya sekedar dengan mengenakan kain panjang dan gelung serta menggelar berbagai lomba yang bertemakan ‘perempuan’ seperti memasak, merias wajah, memakai kain dan lainnya. Pandangan seperti itu rupanya menimbulkan rasa bangga bahwa kaum perempuan Indonesia sudah terlepas dari kungkungan patriarki, kaum perempuan sudah merdeka, dan sudah mengenyam pendidikan tinggi, maka selesailah segala yang dipersoalkan sebagai persoalan perempuan. Saya cukup terkejut dengan pandangan semacam ini.

Kebudayaan masyarakat berubah seiring dengan perubahan jaman. Kalau dahulu yang dipersoalkan Kartini adalah pendidikan bagi perempuan maka kartini mungkin akan tersenyum bangga melihat betapa banyaknya jumlah perempuan Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi, bisa baca tulis dan terjun dalam dunia politik. Namun kartini akan sangat sedih manakala mengetahui bahwa persoalan yang membelit perempuan Indonesia justru semakin kompleks. Kapitalisme yang juga bersekutu dengan ideologi patriarkal justru menyuburkan berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap perempuan dewasa ini.

Kapitalisme juga membuat perempuan terjerat dalam industri seksual komersial dan pornografi. Belum lagi kasus kekerasan terhadap perempuan yang menjelma dalam berbagai macam bentuk mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga, eksploitasi dan kekerasan terhadap TKW dan buruh migran Indonesia di negara tetangga, perkawinan anak di bawah usia dan lain sebagainya.

Dahulu Kartini geram dengan kultur patriarki yang membuatnya tak bisa menolak poligami, membuatnya tak mampu melawan feodalisme, maka saat ini patriarki telah bercumbu dengan kapitalisme untuk mendiktekan gambaran perempuan sempurna seperti yang diinginkan oleh patriarki. Berbagai pusat kecantikan didirikan dan banyak perempuan tanpa sadar mengikuti gambaran media tentang citra peremuan ideal. Tubuh yang ramping namun padat berisi, rambut panjang yang hitam legam, kulit putih mulus seelok artis korea, adalah serangkaian kriteria perempuan yang didiktekan oleh kapitalisme.

Naomi Rebekah Wolf adalah seorang penilis dan jurnalis Amerika Serikat, yang juga muncul dalam gerakan feminis gelombang ketiga di Amerika yang terkenal lewat bukunya The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women (1991). Ia menilai bahwa ada usaha dari industri kecantikan kosmetik dan fashion yang menjadi induk semang dari sistem patriarki untuk mengontrol kebebasan perempuan. Alih-alih menindas mereka secara langsung, patriarki dalam industri kecantikan menyerang perempuan dengan mitos kecantikan. Wolf menyamakan mitos kecantikan di era modern seperti alat penyiksaan iron maiden atau konsep feminine mystique dari Betty Friedan yang awalnya dikira sudah tak mungkin terjadi lagi.

Mitos kecantikan dijadikan sebagai alat feminisasi perempuan yang membuat mereka terpenjara dalam ketidakpuasan terhadap tubuhnya, rasa tidak bisa memuaskan lawan jenisnya, bahkan membenci dirinya sendiri (Wolf, 2002:10). Wolf menyebut bahwa mitos kecantikan lahir dari idealiasi yang melayani tujuan atau kepentingan tertentu. Berdasarkan pemikiran Wolf, kapitalisme dan patriarki sekali lagi bekerja sama untuk meraih tujuan yang berbeda.

Ayu Utami dalam kumpulan esainya Si Parasit Lajang (2013:54) menyatakan bahwa kapitalisme memang hidup dari ketidakpuasan diri konsumen sehingga mereka terus-menerus mengonsumsi. Di satu sisi, patriarki terus-menerus mereproduksi dirinya untuk melanggengkan kekuasaan mereka atas kelompok yang tersubordinasi. Dengan kata lain, jika kapitalisme hidup dari uang perempuan, patriarki dengan berbagai cara berusaha menundukkan perempuan.

Sinetron di televisi juga turut meneguhkan stereotipe bagaimana menjadi perempuan ideal dalam konteks masa kini.Salah satu serial di televisi (Suami-Suami Takut Istri) misalnya yang telah menjungkirbalikkan citra perempuan menjadi sosok yang bengis, galak, egois, mau menang sendiri, cemburuan dan berotak dangkal. Tayangan semacam ini mungkin menjadi bahan lawakan namun justru sebenarnya meneguhkan status perempuan sebagai manusia yang didiktekan oleh patriarki.

Masalah seorang perempuan kiranya belum usai sekalipun rasanya sudah seabad lebih kartini meninggalkan kita. Setidaknya yang perlu kita sadari sekarang adalah bukan menjadi kartini masa kini yang di balut rapih oleh dikte-dikte manis kapitalisme. Namun, yang menjadi urgensi adalah melihat bagaimana pemikiran dan gagasan kartini tentang perempuan dan tentang pembebasan perempuan bisa kita pahami dan praktekan untuk pembenahan logika bangsa indonesia terlebih khusus kaum perempuannya.

  • Bagikan