Penulis : Gabriela Liando
Seksisme
Prasangka terkait superioritas suatu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya dikenal dengan seksisme. Penyakit yang satu ini memberikan memberikan ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk perempuan. Saking mengakarnya seksisme, masyarakat bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah seksis terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya, ungkapan “kamu tidak harus melakukan ini, kan kamu perempuan” hingga tanggapan yang bukan hanya mendiskriminasi perempuan seperti “laki-laki kok nangis?!” dimana laki-laki bahkan menjadi korban seksisme ini. Pernyataan seksis lainnya yaitu laki-laki dianggap mampu berpikir secara logis, sementara perempuan lebih mengutamakan perasaannya.
Pemikiran kolot tentang posisi-posisi tertentu yang hanya bisa diduduki laki-laki, secara tidak langsung telah memarjinalkan perempuan. Bahwasannya laki-laki dan perempuan adalah sama. Maka dari itu kita pun patut mengingat kembali apa yang dikatakan Bung Karno “Laki-laki dan perempuan adalah dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayapnya sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari dua sayap itu, maka tak dapatlah burung itu sama sekali.”
Sebagaimana yang diungkapkan Peter Steens bahwa dulu dalam masyarakat pra-agrikultur (sebelum tahun 1950), perempuan memegang posisi yang setara dengan laki-laki. Kemudian, hal ini menjadi lain ketika terjadi adopsi pertanian yang menetap sehingga memunculkan budaya laki-laki yang mulai melembagakan konsep perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Selanjutnya, seksisme secara luas dikenal saat gerakan feminisme yang dipelopori Betty Frieden pada tahun 1960-an terjadi. Perlu ditekankan, feminisme tidak melakukan supremasi perempuan dan bukan untuk menjatuhkan laki-laki.
Melawan Stigma
Ranah domestik yang sarat dengan emotional work tak jarang diidentikkan dengan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan ranah publik. Misalnya, perempuan baiknya di dapur, perempuan identik dengan tugasnya untuk merawat dan lain sebagainya. Inilah bagian dari sistem patriarki.
Tak heran International Women’s Day 2022 yang baru digelar mengangkat tema “Break The Bias” yang dapat kita artikan melawan bias gender sebagai bentuk pandangan atau sikap yang muncul akibat pengaturan dan kepercayaan culture yang lebih berpihak pada satu jenis kelamin tertentu. Di Indonesia misalnya, stereotipe “konco wingking” (teman di belakang) masih dipelihara bahwasannya perempuan Jawa adalah sosok individu yang selalu “manut” kepada laki-laki padahal laki-laki maupun perempuan dapat menjadi mitra dalam mendukung kehidupan yang produktif dan reproduktif.
Membangun Percaya Diri #WomenEmpowerment
Secara historis, kiprah perempuan seharusnya tak diragukan. Kita mengenal perempuan hebat yang berjuang di ranah pendidikan yakni R.A Kartini, kita mengambil nilai perempuan yang tulus hatinya seperti Sarinah, hingga ke perempuan masa kini seperti Najwa Shihab, hingga ke perempuan-perempuan yang kini tengah berjuang memperjuangkan kemerdekaannya masing-masing; kemerdekaan memiliki pendidikan, kemerdekaan mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan kemerdekaan baginya untuk menyatakan sikap.
Ya, perempuan tentu mampu menjadi pemimpin. Tak sedikit perempuan yang memiliki pengetahuan dan kompetensi. Tak salah juga bagi mereka yang masih menikmati proses di asah. Ya, Ia mampu berdaulat dan berdikari di bidangnya masing-masing. Dengan demikian kita memberikan dukungan terhadap #WomensEmpowerment yakni mempromosikan rasa harga diri perempuan, kemampuan mereka menentukan pikirannya sendiri, dan hak mereka untuk melakukan perubahan sosial bagi dirinya. Kita perlu melawan seksisme, bahkan memberikan support bagi para korban seksisme.*