Quo Vadis Transaksi Non Fungible Token dan Implikasinya Terhadap Hak Kekayaan Intelektual

  • Bagikan
Ifin Rizky Al Qawiy, S.H. (Foto MLSC)

Ifin Rizky Al Qawiy, S.H

  1. PENDAHULUAN

      A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang sangat pesat membawa kemajuan pada hampir seluruh aspek dalam kehidupan manusia.[1] Seiring berkembangnya zaman, manusia semakin mengetahui keterkaitan antara penggunaan teknologi yang memungkinkan pertumbuhan aspek perekonomian bagi individu manusia itu sendiri. Tak terkecuali dalam dunia digital, manusia menggali berbagai potensi yang kemudian dapat mencapai kemandirian secara ekonomi, Salah satu manifestasi tersebut di era sekarang yaitu Penggunaan Non Fungible Token (NFT) sebagai salah satu aset yang terdigitalisasi dan dapat diperjualbelikan.

Non Fungible Token atau disebut NFT merupakan salah satu produk digital yang menggunakan teknologi blockhain dalam aspek transaksinya. Berdasarkan fungsinya, NFT berisi kode digital yang dapat dikaitkan dengan aset digital seperti karya seni yang menunjukkan kepemilikan atas suatu karya seseorang. Hal tersebut, kemudian menjadi kesempatan bagi pengguna teknologi untuk mendistribusikan hasil karyanya dan dapat dijual sebagai NFT di market yang dikelola secara online. Meski telah ada sejak tahun 2014, akan tetapi baru pada beberapa tahun kebelakang NFT mulai populer sebagai salah satu aset digital. Salah satu sebabnya adalah munculnya pasar jual beli NFT yaitu Opensea yang didirikan oleh Devin Finzer dan Alex Atallah, Opensea merupakan sebuah platform marketplace yang memungkinkan penggunanya melakukan aktifitas jual beli NFT secara online, dan mencatat segala bentuk transaksi baik jual dan beli dari penggunanya.

Secara esensinya, NFT adalah sebuah aset yang berkembang dari cryptocurrency. Namun, ia memiliki tujuan, bentuk, dan penggunaan yang berbeda dari aset kripto seperti Bitcoin. Masing-masing NFT hanya dibuat satu kali dan ia tidak bisa ditukarkan atau diperdagangkan dengan NFT yang lain karena nilainya tidak sepadan.[2] Akan tetapi, keberadaan dan kedudukan NFT belum diawasi dan diakomodir secara pasti dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini menjadi kendala jika melihat potensi industri dan bursa aset digital yang semakin masif dan tidak menutup kemungkinan dikemudian hari. Indonesia memerlukan payung hukum untuk melindungi hal tersebut, terlebih khusus untuk melindungi hak kekayaan intelektual pencipta dan pemilik karya seni yang melakukan transaksi karya secara digital.

Melalui artikel ini, penulis akan membahas terkait kedudukan serta pengawasan non fungible tokens dan bagaimana aspek hak kekayaan intelektualnya.

      B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana mekanisme dan pengawasan transaksi non fungible tokens di Indonesia?
  2. Bagaimana implikasi kedudukan non fungible tokens terhadap aspek hak kekayaan intelektual di Indonesia?

      C. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka.[3]  Dalam hal ini penulis menggunakan peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan artikel pendukung yang berkaitan dengan tema pembahasan.

 

  1. PEMBAHASAN

      A. Transaksi Non Fungible Token : Keberadaan dan Pengawasannya

Dalam praktik transaksi NFT, mekanisme blockchain mengambil peran sebagai sistem yang memfasilitasi riwayat transaksi NFT di platform jual beli NFT, salah satunya Opensea. Penerapan teknologi blockchain diakui berdasarkan undang-undang dan peraturan saat ini. Khususnya, Token Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), yang dikeluarkan pada tahun 2020, mengakui pengembangan teknologi blockchain sebagai bisnis yang valid. Selain itu, teknologi blockchain diakui dalam memberikan layanan dukungan dalam meminjamkan uang kepada perusahaan peer-to-peer.[4]

Teknologi blockchain yang digunakan pada NFT sama halnya dengan cryptocurrency. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada jenis NFT yang bukan merupakan mata uang, sehingga tidak dapat ditukarkan, hal ini yang menyebabkan sifat NFT yang unik dan melekat pada satu orang. Dalam hal melakukan transaksi NFT, dilakukan dengan proses minting, yaitu proses mengubah file digital menjadi koleksi kripto atau aset digital di blockchain. Proses ini memerlukan marketplace sebagai pihak ketiga atau agen minting. Misalnya, OpenSea, Mintable, atau Theta Drop. Pemilik karya digital harus membayar biaya platform agar marketplace dapat memroses aset digital ke dalam blockchain sebagai NFT. Biaya tersebut dikenal dengan istilah “gas fee” atau “gwei”.[5]

Praktik kemunculan NFT pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek hukum di Indonesia, salah satunya yaitu hukum perdata khususnya hukum kebendaan.  Menurut Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menjelaskan bahwa “Benda adalah tiap tiap barang dan tiap hak yang dapat menjadi obyek dari hak milik.” Meski tidak ada frasa atau kalimat pada pasal 499 KUH Perdata yang memuat objek atau aset digital sebagai kategori benda, akan tetapi hukum kebendaan mengakui adanya keberadaan benda bergerak tidak berwujud seperti piutang, hak penagihan. Lalu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 18 Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, menjelaskan definisi frasa “barang”, yang berbunyi :[6]

“Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh Konsumen atau Pelaku Usaha.”

Sehingga menurut Peraturan Pemerintah tersebut secara jelas bahwa keberadaan barang digital diakui oleh hukum di Indonesia, termasuk didalamnya NFT yang dapat dipersamakan dengan barang digital dan kemudian dapat untuk diperdagangkan, digunakan, serta dimanfaatkan. Hanya saja hal yang membedakannya terletak pada transaksinya yang melalui sistem eketronik seperti dijelaskan pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu ;[7]

“Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PMSE adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.”

Maraknya aktifitas transaksi di dunia digital terutama berkaitan dengan non fungible token atau NFT akan memiliki celah terhadap berbagai kesimpangsiuran dalam penegakan hukumnya apabila terjadi permasalahan secara hukum. Seperti kita ketahui bersama bahwasanya Indonesia sendiri belum memiliki payung hukum yang secara khusus mengakomodir terkait non fungible token. Kekosongan hukum tersebut menjadi perlu diperhatikan mengingat bursa kripto di Indonesia semakin diminati masyarakat. Pakar Budaya dan Komunikasi Digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan mengatakan bahwa aset NFT yang diperjualbelikan dalam lokapasar (marketplace) tidak sebatas foto dan gambar, tetapi juga data pribadi orang seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan karya orang lain.[8]

Sejauh ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) telah menaruh perhatian pada perkembangan NFT di Indonesia. Dalam hal ini Kementerian Kominfo mengeluarkan Siaran Pers No.9/HM/KOMINFO/01/2022 pada 16 Januari 2022 yang mengatur tentang Pengawasan Kementerian Kominfo Terhadap Kegiatan Transaksi Non-Fungible Token (NFT) di Indonesia, yang mengatur beberapa hal yaitu sebagai berikut :[9]

  1. Menyikapi fenomena pemanfaatan teknologi Non-Fungible Token (NFT) yang semakin populer beberapa waktu terakhir, Kementerian Kominfo mengingatkan para platfom transaksi NFT untuk memastikan platformnya tidak memfasilitasi penyebaran konten yang melanggar peraturan perundang-undangan, baik berupa pelanggaran ketentuan perlindungan data pribadi, hingga pelanggaran hak kekayaan intelektual.
  2. Menteri Kominfo telah memerintahkan jajaran terkait di Kementerian Kominfo untuk mengawasi kegiatan transaksi Non-Fungible Token (NFT) yang berjalan di Indonesia, serta melakukan koordinasi dengan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Kementerian Perdagangan (Bappebti) selaku Lembaga berwenang dalam tata kelola perdagangan aset kripto.
  3. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta perubahannya dan peraturan pelaksananya, mewajibkan seluruh PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) untuk memastikan platformnya tidak digunakan untuk tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Pelanggaran terhadap kewajiban yang ada dapat dikenakan sanksi administratif termasuk di antaranya pemutusan akses platform bagi pengguna dari Indonesia.
  4. Kementerian Kominfo menghimbau masyarakat untuk dapat merespon tren transaksi NFT dengan lebih bijak sehingga potensi ekonomi dari pemanfaatan NFT tidak menimbulkan dampak negatif maupun melanggar hukum, serta terus meningkatkan literasi digital agar semakin cakap dalam memanfaatkan teknologi digital secara produktif, dan kondusif.
  5. Kementerian Kominfo akan mengambil tindakan tegas dengan melakukan koordinasi bersama Bappebti, Kepolisian, dan Kementerian/Lembaga lainnya untuk melakukan tindakan hukum bagi pengguna platform transaksi NFT yang menggunakan tersebut untuk melanggar hukum.

Dalam hukum transaksi aset digital termasuk mengenai kripto, berada dibawah pengawasan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditi (BAPPEBTI) yang merupakan lembaga dibawah Kementerian Perdagangan. Lembaga ini bertujuan untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan aktifitas perdagangan berjangka, seesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.[10]

. Akan tetapi, hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengawasi keberadaan NFT. Padahal dalam perkembangannya, Indonesia sudah mempunyai pasar transaksi NFT yaitu Tokomall, sudah sepatutnya undang-undang yang mengakomodir NFT dan berbagai aset digital lainnya dikeluarkan sehingga menjamin kepastian bagi pihak-pihak yang melakukan aktifitasi di dunia aset digital.

Tidak hanya aspek keuntungan secara ekonomi saja yang hadir dari transaksi NFT, pada dasarnya keberadaan NFT yang belum diatur oleh undang-undang memungkinkan adanya resiko terhadap berbagai permasalahan hukum dan bisa menjadi tindak pidana. Salah satu permasalahan apabila suatu NFT yang diperjualbelikan dalam suatu platform memuat data pribadi seseorang, kita ketahui bersama bahwa dalam beberapa kasus, NFT dijual dalam bentuk foto dengan adanya tanda pengenal yang mencantumkan identitas pribadi seseorang yang seharusnya menjadi privasi orang tersebut, disatu sisi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di Indonesia masih sebatas rancangan. Menjadi salah satu hal yang perlu diawasi pula mengenai mekanisme transaksi NFT, bahwa dalam market jual beli NFT menggunakan cyrptocurrency, sedangkan saat ini Indonesia hanya mengakui rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Selain itu, salah satu problematika keberadaan NFT yaitu adanya potensi penghindaran pajak, hal ini dapat terjadi jika objek pajak tidak dilaporkan.

Dalam hal ini, tetap saja sebagaimana sesuatu yang belum diatur undang-undangnya, akan menimbulkan celah terhadap berbagai tindakan ilegal dan berpotensi menjadi suatu permasalahan hukum kedepannya. Keberadaan undang-undang atau peraturan khusus perlu diakomodir agar kedudukan, mekanisme dan pengawasan transaksi NFT dapat memiliki kepastian hukum.

      B. Kedudukan Non Fungible Token Dalam Aspek Hak Kekayaan Intelektual

Dalam hal ini, kekayaan Intelektual berkaitan dengan suatu gagasan kreatif, hasil dari suatu pemikiran, kreasi, dan sebagainya. Hasil kemampuan berpikir manusia tersebut melahirkan kepemilikan atas penemuan yang bersumber dari akal manusia.[11] Jika berbicara mengenai perlindungan hak cipta suatu karya, Indonesia sendiri telah memberikan regulasi melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Secara materiil, karya ciptaan seseorang dapat dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana bunyi Pasal 1 angka 1 Undang-Undang hak Cipta yang berbunyi :[12]

“Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan penelitian World Intellectual Property Organization (WIPO) kekayaan industrial mencakup paten atas sebuah invensi, merek dagang, dan desain industri termasuk pula indikasi geografis. Lalu, hak cipta antara lain karya-karya kesusastraan seperti puisi dan novel, lukisan, desain arsitektur bahkan pertunjukan artis, produser fonogram, penyiar radio dalam siarannya dan program siaran di televisi.[13] Sejatinya, perkembangan teknologi dalam kehidupan bermasyarakat adalah untuk menemukan cara yang mudah dan efisien untuk mencapai tujuan. Salah satu produk pembaruan zaman dalam dunia transaksi keuangan digital adalah Non-Fungible Token atau NFT yang merupakan salah satu aset digital berupa token kripto yang menyimpan data pemiliknya yang terkoneksi dengan data yang memuat nama NFT dan tautan ke karya digital pengunggahnya, baik karya berupa gambar, musik, dan lain sebagainya. Kepemilikan karya seseorang dapat disimpan sebagai digital sertifikat melalui keberadaan NFT yang kemudian disimpan didalam blockchain. Transaksi NFT dilakukan dengan Ethereum yang menjadi kripto utama di market Opensea.

John Locke mengatakan bahwa hak yang dimiliki seorang manusia baik berwujud tidak, namun merupakan hasil intelektualitasnya maka secara otomatis akan menjadi miliknya, misalnya dalam suatu hak cipta.[14] Menurut sifatnya hak dalam HKI dapat digolongkan menjadi dua yaitu Hak Ekonomi (Economic Rights) dan Hak Moral (Moral Rights). Hak Ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan atas kekayaan intelektual. Dikatakan Hak Ekonomi karena HKI adalah benda yang dapat dinilai dengan uang. Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan oleh pihak lain berdasarkan lisensi. Hak ekonomi itu diperhitungkan karena HKI dapat digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain dalam perindustrian atau perdagangan yang mendatangkan keuntungan.[15]

Berbicara mengenai hak kekayaan intelektual, didalamnya memuat hak moral dan hak ekonomi yang telah disebutkan dalam bunyi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Lalu, ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta menjelaskan perihal hak moral yang merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk :[16]

a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;

b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

c. Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;

d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan

e.Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

Kemudian pada Pasal 6 menjelaskan bahwa untuk melindungi hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pencipta dapat memiliki:[17]

a. Informasi manajemen Hak Cipta; dan/atau

b. Informasi elektronik Hak Cipta.

Hak cipta merupakan hasil atau penemuan yang merupakan kreativitas manusia di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Masalah hak cipta adalah masalah yang sangat luas, karena tidak saja menyangkut hak hak individu yang berada dalam lingkungan nasional, namun ia sudah merupakan masalah yang sudah menyebar dan pembahasan dalam lingkungan internasional.[18] Sebagaimana keberadaan NFT yang terlebih dahulu popular di luar negeri, dalam mekanismenya tidak dapat dipisahkan dengan teknologi blockchain. Blockchain adalah suatu catatan yang berisi berbagai transaksi berbentuk digital, dan riwayat transaksi tersebut dapat dilihat oleh publik. Transaksi yang ada pada blockchain tersebut kemudian menjadikan blockchain sebagai database yang terpercaya dan menjadikan aset yang tercatat didalamnya menjadi eksklusif dan unik. Mekanisme blockchain pada NFT tersebut dapat menjadi unsur penegakan hak cipta dalam konteks transaksi NFT sebagai salah satu perlindungan hak moral dan hak ekonomi bagi pencipta karya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Hak Cipta, menjelaskan terkait informasi manajemen dan informasi elektronik hak cipta yaitu Pasal 7 Ayat (1) menjelaskan bahwa Informasi manajemen Hak Cipta meliputi informasi tentang:[19]

a. Metode atau sistem yang dapat mengidentifikasi originalitas substansi ciptaan dan penciptanya; dan

b. Kode informasi dan kode akses.

Mekanisme blockchain yang ada pada transaksi NFT merupakan suatu terobosan dalam melindungi karya seseorang. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi suatu karya dengan kode spesifik tertentu yang kemudian terafiliasi dengan identitas seseorang pada karya yang diperjualbelikan di platform jual beli digital seperti Opensea. Lalu pada ayat (2) menyebutkan bahwa Informasi elektronik Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi informasi tentang:[20]

a. Suatu Ciptaan, yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan Pengumuman Ciptaan;

b. Nama pencipta, aliasnya atau nama samarannya;

c. Pencipta sebagai Pemegang Hak Cipta;

d. Masa dan kondisi penggunaan Ciptaan;

e. Nomor; dan

f. Kode informasi.

Apabila hal tersebut dilakukan maka pencipta karya dapat mempertahankan hak moral dan hak ekonominya walaupun karya tersebut telah diperjualbelikan. Kehadiran NFT juga berbanding lurus dengan hak ekonomi pemilik karya tersebut, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang berbunyi : [21]

”Hak ekonomi yang merupakan hak ekslusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.”

Pasal ini memberikan perlindungan kepada setiap pencipta karya agar karya seni yang dihasilkan dapat memberikan keuntungan. Mekanisme pengaturan terkait hak ekonomi bagi pencipta suatu karya dituangkan melalui Pasal 9 Undang-Undang Hak Cipta, yang berbunyi :[22] Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: (a) Penerbitan ciptaan; (b) Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; (c) Penerjemahan ciptaan; (d) Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; (e) Pendistribusian ciptaan atau salinannya; (f) Pertunjukan ciptaan; (g) Pengumuman ciptaan; (h) Komunikasi ciptaan; dan (i) Penyewaan ciptaan.

Muncul pendapat bahwa pada dasarnya hak moral yang sesungguhnya lebih utama diinginkan oleh pencipta dari pada hak ekonomi, Dikutip dari Ignatius Haryanto, Catherine Colston mengatakan bahwa dalam konsep hak cipta sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual dikenal adanya insentif ekonomi ataupun imbalan atas hasil karya seseorang, namun lebih utama yang diinginkan oleh seorang pencipta adalah reputasi dan integritas karya yang dihasilkan. Ketika sebuah karya ditampilkan kepada publik, sang pencipta ingin agar namanya dilekatkan terus dengan karya yang telah dihasilkan.[23]

Salah satu fleksibiltas dari keberadaan NFT bagi dunia transaksi digital adalah beragamnya jenis karya seni yang dapat diperjualbelikan, mulai dari foto, lukisan, tulisan, video dan berbagai karya seni lainnya, Dengan adanya teknologi blockchain tersebut kemudian dapat menjadi solusi atas permasalahan hak ekonomi dan hak moral pencipta karya, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar seniman di Indonesia masih menggunakan cara yang kurang terorganisir dalam mengklaim aspek ekonomi dari karya yang diciptakan. Menurut penulis, dengan mempublikasi karya secara NFT maka pencipta karya dapat mempertahankan hak ekonominya dengan menerapkan hak berupa lisensi yang menjadi bagian dari NFT untuk membatasi hak atas karya tersebut.

Dalam hal ini, apabila pembeli karya ingin menampilkan karya untuk kepentingan publik maka dapat dilakukan akan tetapi tidak berlaku untuk keperluan komersil. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Hak Cipta yang melarang seseorang menggunakan karya seni dari pencipta karya secara komersil kecuali memperoleh izin dari pencipta karya. Selain itu, pemilik karya juga dapat memperoleh keuntungan secara ekonomi jika karya digital berpindah kepemilikan, sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Hak Cipta yang memberikan perlindungan hak ekonomi bagi pencipta atau pemegang hak cipta.

Ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Hak Cipta, menjelaskan bahwa hak cipta atas suatu karya juga diatur sebagai benda bergerak tidak berwujud. Yahya Harahap mengatakan bahwa sesuai dengan hakekatnya, hak kekayaan intelektual dikelompokkan sebagai hak milik atas kekayaan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).[24] Hak kekayaan intelektual pada dasarnya bersifat abstrak jika dibandingkan dengan hak kepemilik suatu benda yang berwujud, akan tetapi keduanya merupakan hak yang mutlak. Hal ini dikarenakan hak yang bersifat abstrak itu setelah keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau kesenian, program komputer, simbol, temuan teknologi, rahasia dagang, desain, atau singkatnya berubah menjadi benda berwujud (lichamelijke zaak) yang dalam pemanfaatannya (exploit), dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang.[25]

Sebagai tata hukum, hak kekayaan intelektual memang bukan sejak awal tumbuh dalam sistem hukum di Indonesia. Kehadirannya juga telah melengkapi konsepsi mengenai hak milik dalam hukum perdata di Indonesia. Sebagaimana dimaklumi, paham tentang hak milik yang dikenal dalam hukum perdata yang berlaku hingga saat ini pada dasarnya bergantung pada konsep kebendaan.[26] Dalam hal ini NFT dapat ditafsirkan sebagai benda bergerak tidak berwujud dan memiliki perlindungan dibawah Undang-Undang Hak Cipta. Selain itu, dalam hal melindungi hak kekayaan intelektual dalam hal ini hak cipta dari suatu karya, sebaiknya diberlakukan kebijakan yang memberikan batasan dalam proses transaksi NFT tersebut. Sehingga apabila suatu NFT telah dibeli oleh orang lain, ia akan dibatasi haknya terhadap karya tersebut yaitu larangan untuk mengkomersilkan karya dan membuat liseni atas nama dirinya. Maka, pemilik karya yang dibeli dari pencipta karya hanya akan dapat untuk menggunakan, menjiplak, dan memperlihatkan kepada publik. Hal ini menjadikan hak cipta karya tersebut hanya pada pencipta karya yang diperjualbelikan sebagai NFT.

Selain melalui Undang-Undang Hak Cipta, sejatinya keberadaan aset digital sebagai suatu yang harus dilindungi sudah diregulasikan dalam ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa :[27]

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

Sehingga sudah sepatutnya karya seseorang yang dijadikan aset digital seperti NFT dilindungi sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual dan didefinisikan sebagai benda bergerak tidak berwujud. Terkait NFT ini dapat timbul permasalahan terkait hak cipta bila orang yang melakukan enkripsi karya tersebut ke dalam jaringan blockchain bukanlah si pencipta karya tersebut dan tanpa izin dari si pencipta atau pemegang hak cipta. Bila memang terjadi hal tersebut, pembuat karya cipta atau pemegang hak cipta dapat menggugat pelaku yang mengenkripsi karya cipta tersebut karena pelanggaran hak cipta.[28] Hal ini sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta yang berbunyi :[29]

“Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.”

Demikian pula dengan  keberadaan NFT, pencipta karya tetap dapat mengklaim karya yang ia tidak dibatasi haknya untuk membuat NFT lain dengan karya yang sama. Sehingga izin yang diberikan oleh pencipta kepada pembeli melalui kepemilikan NFT yang hadir dengan transaksi di market Opensea hanya akan menjadi bukti kepemilikan dan berbeda dengan hak cipta yang tetap melekat pada pencipta karya. Akan tetapi, dalam hal ini pengawasan kekayaan intelektual melalui peraturan tersendiri tetap diperlukan agar keberlangsungan NFT menjadi sesuatu yang legal di Indonesia, mengingat minimnya pengawasan pada aspek kekayaan intelektual karya yang dijadikan NFT, dapat berakibat pada banyaknya penjiplakan karya dan penggandaan karya yang ilegal dan menyulitkan pencipta asli dari karya tersebut sulit untuk mengklaim hak moral dan hak ekonominya.

  1. PENUTUP

      A. Kesimpulan

Dari aspek kedudukannya, bahwa keberadaan NFT dan segala aspek transaksinya perlu dibarengi pula dengan adanya peraturan perundang-undang yang mengatur kejelasan dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha yang berkecimpung di dunia aset dan keuangan digital. Selain itu, pengawasan dari instansi dan lembaga terkait seperti Kementerian Kominfo dan BAPPEBTI diperlukan untuk menjaga ekosistem transaksi NFT dan berbagai aset berbasis digital agar tetap berada dalam jalur yang legal dan sesuai dengan hukum positif di Indonesia. Sedangkan dari aspek kekayaan intelektual, bahwa hak cipta atas suatu karya atau ciptaan jelas merupakan sesuatu yang diatur dan diakui jelas oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Keterkaitan sifat NFT dengan hukum kebendaan di Indonesia membuat NFT sudah seharusnya tunduk sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maka, sudah sepatutnya dalam melakukan dan memperjualbelikan karya yang dijadikan suatu NFT harus dilaksanakan sesuai kebijakan transaksi dan kontrak yang ditentukan oleh hukum perdata dan jual beli dan memperhatikan aspek hak ekonomi dan moral dari pencipta karya yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar tidak menimbulkan permasalahan antara pihak yang bertransaksi di platform jual beli NFT.

      B. Saran

Pemerintah harus segera memberikan batasan peraturan terkait hal yang boleh dan tidak diperbolehkan secara jelas agar dapat mengantisipasi dan meminimalisir kemungkinan adanya permasalahan hukum dalam aspek transaksi NFT, mengingat kedudukan NFT yang dipersamakan dengan benda bergerak tidak berwujud, sehingga memiliki keterkaitan dengan hukum kebendaan di Indonesia, Melihat juga berbagai perkembangan yang terjadi akan menimbulkan multitafsir dalam penerapan hukum jika seterusnya NFT tidak diakomodir dalam undang-undang atau peraturan tersendiri, melihat betapa kompleks dan dinamisnya dunia digital, ditakutkan akan menimbulkan permasalahan hukum di mekanisme transaksi dan juga dalam dunia kekayaan intelektual apabila tidak segera diundangkannya undang-undang khusus tentang pengawasan transaksi NFT dan pengaturan aspek hak cipta terhadap suatu karya seni yang dijadikan NFT.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Haryanto, I. 2014. “Sesat Pikir Kekayaan Intelektual”, Jakarta: KPG.

Sastrawidjaja, M.S. 2002. “Perjanjian Baku Dalam Aktifitas Dunia Maya”, Jakarta, Cyberlaw: Suatu Pengantar, Cetakan I, Elips.

Soekanto, Soerjono dan Mahmudji, Sri, 2003. “Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Harahap, Yahya. 1996. “Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Merek 1992”, Bandung, Citra Aditya.

Locke, 2003. “Two Treatises of Government, dalam Syafrinaldi, “Sejarah dan Teori Perlindungan KI” Universitas Riau.

Abdul Kadir, Muhammad. 2007.  “Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual”, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Jurnal

Abdul Latif Mahfuz.. “Problematik Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia”. Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan. Volume 1 Nomor 2, Juni 2020.

Dyah Permata B.A., 2020. “Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Bagi Produk Kreatif usaha Kecil Menengah di Yogyakarta,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 26, No. 1

Muchtar A.H Labetubun dan Sabri Fataruba. “Peralihan Hak Cipta Kepada Ahli Waris Menurut Hukum Perdata”, Jurnal Sasi Vol. 22 No. 2 2016.

WIPO, “What is Intellectual Property?”. Jeneva: WIPO Publication 2014.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektornik

Sumber Internet

https://katadata.co.id/safrezi/digital/61ad8d996004a/memahami-nft-aset-digital-dalam-dunia-kripto

https://bisnisindonesia.id/article/nft-dan-bumerang-keamanan-data-pribadihttps://pintu.co.id/academy/post/nft-adalah

https://www.kominfo.go.id/content/detail/39402/siaran-pers-no-9hmkominfo012022-tentang-pengawasan-kementerian-kominfo-terhadap-kegiatan-transaksi-non-fungible-token-nft-di-indonesia/0/siaran_pers

 

  • Bagikan