Pertanggungjawaban Sanksi Pidana dan Perlindungan Hak Mendapat Pelayanan Kesehatan dalam Rumah Sakit (Kasus Korban Tindak Pidana Panah Wayer di Sulawesi Utara)

  • Bagikan
Gabriel Rosok (foto MLSC)

Oleh : Gabriel Daniel Gomer Rosok

Indonesia adalah negara hukum jelas tercantum dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945[1], kemudian dari itu hendaklah setiap tindakan, perbuatan dan tingkah laku manusia dibatasi dan diatur secara jelas dalam aturan yang berlaku dalam negara kesatuan ini demi mewujudkan negara yang tertib dan sejahtera dalam berkehidupan dan berkebangsaan. Pidana merupakan sanksi yang harus diberikan kepada setiap pelaku kejahatan guna untuk ketertiban dan kepastian hukum yang berorientasi kepada keadilan.

Dalam tataran hukum pidana dikenal dengan asas “Siapa yang berbuat dia yang harus bertanggung jawab”. Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan hukuman yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya.

Perbuatan pidana atau tindak pidana adalah kejahatan yang melanggar unsur-unsur hukum pidana. Menurut Simons menjelaskan tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh Undang- Undang hukum pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

Hukum pidana terdiri dari dua yaitu objektif (jus poenale) dan subjektif (jus puniendi) menurut H.B Vos, Jus Poenali adalah aturan-aturan hukum objektif, yakni aturan hukum pidana. Hukum pidana materil mengatur keadaan yang timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (Hukum penintentir) aturan mengenai kapan, siapa, dan bnagaimana pidana dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana subjektif atau Jus puniendi dikatakan sebagai hak subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana, menjatuhkan pidana dan melaksanakan pidana (Het jus puniendi is het subjectieve recht van de overhead om te strafen, omvattend, dus het recht om straf te bedreigen, straf op te leggen en straf te voltrekken).

Pembagian hukum pidana juga dikenal dalam teori serta praktik yang ada sebagaimana yang diketahui bahwa ada pidana umum dan juga pidana khusus. Pidana umum seringkali terjadi dalam berbagai kasus di Indonesia lebih khususnya yang merugikan banyak orang atau subjek tertentu bahkan bisa merenggut nyawa dari pada manusia, Pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku bagi setiap orang sebagai subjek hukum tanpa membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu.

Menurut pasal 15 ayat (2) UU No.2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, senjata tajam adalah senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang nyata nyata dipergunakan untuk peertanian, atau untuk pekerjaan rumah tangga, atau untuk kepentingan melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib.

Kejahatan tindak pidana dengan menggunakan senjata tajam “panah wayer” terjadi kembali di Provinsi Sulawesi Utara tepatnya kota manado yang dimana menimpah seorang korban yang  berusia 22 tahun dengan kronologis pelaku melakukan aksinya dengan menggunakan panah wayer sehingga terkena tepat pada muka bagian rahang dari korban sehigga korban dibawah secara cepat ke rumah sakit bhayangkara untuk dilakukan penanganan sementara karena mengingat kondisi korban yang lagi gawat darurat.

Menindaklanjuti kasus diatas terdapat permaslahan yang terjadi kepada korban tindak pidana yaitu :

  • Kendala perekonomian keluarga dalam pembiayaan Rumah Sakit sehingga menghambat penanganan yang seharusnya dilakukan pihak Rumah Sakit kepada korban kejahatan tindak pidana

Sanksi pidana yang harus secara tegas dikenakan terhadap pelaku guna untuk memberikan kepastian hukum serta efek jerah kepada pelaku dan seharusnya bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan, dan bagaimana peran negara dalam melindungi korban kejahatan tindak pidana dalam hal ini pelayanan Rumah Sakit apabila korban keadaan gawat darurat dan mengalami kendala perokonomian, negara seharusnya menjamin kesehatan setiap orang  sebagaimana tertuang dalam konstitusi UUD NRI 1945 pasal 28 H ayat 1 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis akan mengkaji beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yang dituangkan dalam bentuk tulisan, yaitu

  1. Bagaimana penerapan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan tindak pidana senjata tajam (Panah Wayer)?
  2. Bagaimanakah upaya perlindungan kepada korban kejahatan tindak pidana yang sedang dalam keadaan darurat untuk mendapatkan pelayanan Rumah Sakit?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan focus pada penelitian ini juga pada penelitian hukum perkara In- Concrito adalah untuk mengkaji apakah postulat normative dapat atau tidak dapat dipergunakan atau diterapkan untuk sebuah perkara konkret, Penelitian hukum untuk perkara In- Concrito tidak lepas dalam mengumpulkan fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian.

Pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua yaitu :

  1. Searching for the relevant fact, yang terkandung dalam perkara hukum (Peristiwa Hukum Konkrit) yang sedang dihadapi.
  2. Searching for the relevant abstract legal prescription, yang terdapat dan terkandung dalam rumusan hukum positif yang berlaku.

Penerapan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan tindak pidana senjata tajam (Panah Wayer).

Kejahatan tindak pidana kembali lagi terjadi di provinsi Sulawesi Utara lebih khususnya di kota manado tepatnya pada tanggal 23 februari 2022 yang mengakibatkan korban mengalami luka tusukan panah wayer pada muka bagian rahang yang dilakukan oleh oknum/pelaku yang dengan sengaja melakukan aksi tak terpuji tersebut. kronologi ini juga sudah dibenarkan pihak kepolisisan dalam hal ini Kasat Reskrim Polresta Manado saat kejadian di jalan sarapung samping kantor BRI Pusat, dimana korban yang sedang berdiri di tepi jalan bersama dengan teman-temannya, tiba-tiba datang sekelompok anak muda dengan roda dua dan langsung melontarkan panah wayer ke arah korban, panah wayer mengenai wajah korban dibagian pipi kanan hingga kedalam tulang pipi kanan korban

Motif pelaku utama VK ingin membalas dendam terhadap seorang pria berinisial N yang sering “Nongkrong” di sekitar TKP, Tetapi panah yang dia lesatkan salah sasaran, saat kejadian awalnya pelaku VK,FP dan RT bersama tiga orang lainnya naik dua motor masing-masing berbonceng tiga dari karombasan utara ke TKP untuk mencari N. saat tiba di TKP, VK melihat sekelompok orang yang sedang berkumpul dan langsung melontarkan panah wayer.

Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia  ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan  atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

Poerwodarminto berpendapat bahwa: “Penganiayaan adalah perlakuan sewenang-wenang dalam rangka menyiksa atau menindas orang lain”. Penganiayaan ini jelas melakukan suatu perbuatan dengan tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain, unsur dengan sengaja di sini harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain, unsur dengan sengaja di sini harus meliputi tujuan menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. dengan kata lain si pelaku menghendaki akibat terjadinya suatu perbuatan. kehendak atau tujuan di sini harus disimpulkan dari sifat pada perbuatan yang menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.

Kamus hukum memberikan arti bahwa penganiayaan adalah perbuatan menyakiti atau menyiksa terhadap manusia atau dengan sengaja mengurangi atau merusak kesehatan orang lain. Sedangkan R. Soesilo berpendapat bahwa:“ Menurut Yurisprudensi pengadilan maka yang dinamakan penganiayaan adalah :

a. Sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan).

b. Menyebabkan rasa sakit.

c. Menyebabkan luka-luka.

Kejahatan tindak pidana ini merupakan juga suatu motif perbuatan yang disengaja. Menurut Memorie van Toelichting, kata “dengan sengaja” (opzettlijk) yang banyak dijumpai dalam pasal-pasal KUHP diartikan sama dengan willens en wetens  yaitu sesuatu yang dikehendaki dan diketahui. Ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan yaitu:

  1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) Kesengajaan sebagai maksud yaitu bentuk kesengajaan yang menghendaki pelaku untuk mewujudkan suatu perbuatan, menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan suatu kewajiban hukum, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu. Sehingga pada saat seseorang melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dikehendakinya, menyadari bahwa akibat tersebut pasti atau mungkin dapat timbul karena tindakan yang telah dilakukan, orang dapat mengatakan bahwa orang tersebut mempunyai kesengajaan sebagai maksud.
  2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzetalszekerheldsbewustzijn) Kesengajaan sebagai kepastian yaitu bentuk kesengajaan yang berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal manusia pada umumnya pasti terjadi dikarenakan dilakukannya suatu perbuatan tertentu dan terjadinya akibat tersebut tidak dapat dihindarkan. Akibat yang timbul merupakan akibat lain dari tindakan yang dilakukannya bukan merupakan akibat yang dikehendaki.
  3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis) Kesengajaan sebagai kemungkinan yaitu suatu kesadaran untuk melakukan perbuatan yang telah diketahuinya bahwa akibat lain yang mungkin akan timbul dari perbuatan itu yang tidak ia inginkan dari perbuatannya, namun si pembuat tidak membatalkan niat untuk melakukannya. Dalam dolus ini dikenal teori “apa boleh buat” bahwa sesungguhnya akibat dari keadaan yang diketahui kemungkinan akan terjadi, tidak disetujui tetapi meskipun demikian, untuk mencapai apa yang dimaksud resiko akan timbulnya akibat atau disamping maksud itupun diterima.

Berdasarkan kejadian tersebut serta analisis teori beserta peraturan perundang-undangan yang berlaku pelaku dapat dikenakan pasal mengenai penganiayaan sebagaimana secara jelas dalam motif peristiwa hukum tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 351 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang “Penganiayaan”

            Upaya perlindungan kepada korban kejahatan tindak pidana yang sedang dalam keadaan darurat untuk mendapatkan pelayanan Rumah Sakit

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat 1 menjamin  pelayanan kesehatan bagi setiap orang dan juga sebagai landasan paling utama dalam tataran yuridis untuk menjamin kehidupan dan penghidupan semua orang, dan tidak ada sesuatu apapun yang dilakukan tanpa ada dasar hukum yang mengatur.

Menurut  Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010 “Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat Sedangkan pengertian rumah sakit menurut Peraturan Menteri  Kesehatan Republik Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, dinyatakan bahwa : (Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan)”.

Rumah sakit melakukan beberapa jenis pelayanan diantaranya pelayanan medik, pelayanan penunjang medik, pelayanan perawatan, pelayanan rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan kesehatan, sebagai tempat pendidikan dan atau pelatihan medik dan para medik, sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi bidang kesehatan serta untuk menghindari risiko dan gangguan kesehatan sebagaimana yang dimaksud, sehingga perlu adanya penyelenggaan kesehatan lingkungan rumah sakit sesuai dengan persyaratan kesehatan.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2002 Tentang Rumah Sakit Pasal 1 Menjelaskan bahwa:

  1. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
  2. Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
  3. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
  4. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.

Rumah Sakit harus lebih mengutamakan keselamatan pasien daripada faktor-faktor lain yang mempengaruhi pelayanan kesehatan seperti kendala ekonomi, sebagaimana terpenuhinya asas dan tujuan dari pada rumah sakit yang dijelaskan dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomo 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yaitu :

  1. Pasal 2

Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

  1. Pasal 3

Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

a) mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;

b) memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;

c) meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan

d) memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.

Berdasarkan kasus kejahatan tindak pidana senjata tajam (Panah Waer) yang terjadi di kota manado, menjadi kendala atau permasalahan yaitu biaya penanganan tidak di tanggung BPJS sehingga sedikit memberatkan pihak keluarga korban sebagaimana secara jelas diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan lebih tepatnya Pasal 52 Huruf r menjelaskan bahwa pelayanan yang tidak dijamin adalah pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan sekusual, korban terorisem, dan tiondak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Melihat permasalahan diaatas sudah seharusnya pemerintah mengambil peran atau mengambil ahli dalam penyelenggaraan kesehatan masyarakat jika dalam hal ini masyarakat kurang mampu secara finansial dan hal ini juga merupakan tanggung jawab pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Yaitu:

a. Menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat

b. Menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

c. Membina dan mengawasi penyelenggaraan Rumah Sakit

d. Memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat memberikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertanggung jawab;

e. Memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan

f. Menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat

g.Menyediakan informasi kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat

h. Menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa

i. Menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan dan

j. Mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan berteknologi tinggi dan bernilai tinggi.

Bagi korban tindak pidana tersebut karena layanan kesehatannya sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan UU No 31 Tahun 2014. Disampaikan bahwa korban tindak pidana dapat mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapatkan layanan pengobatan atau perawatan.Maka bantuan yang harus diberikan mencakup bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial, bantuan psikologis, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis,

Dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak menyebutkan pelayanan kesehatan terhadap korban tindak pidana penganiayaan namun pada bagian ketiga peraturan tersebut mengenai koordinasi antar penyelenggara jaminan dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c menegaskan bahwa ‘’penyelenggara jaminan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: c. penyelenggara jaminan lain yang memberikan manfaat pelayanan”kesehatan’’ Karena tidak diberikan perlindungan khusus terhadap korban tindak pidana penganiayaan maka posisi korban harus meminta jaminan kesehatan terhadap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa:

  1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga berhak mendapatkan:

a. Bantuan medis; dan

b. Bantuan rehabilitasi, psikososial dan psikologis

2. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK

Pasal 6 tersebut dapat diartikan bahwa korban tindak pidana penganiayaan dapat meminta jaminan kesehatan kepada LPSK berdasarkan keputusan dari LPSK. Hal itu dapat dimaknai apabila LPSK tidak memberikan keputusan terhadap korban maka korban tidak mendapatkan jaminan untuk kesehatannya, sebagai contoh seseorang yang menjadi korban penganiayaan ringan seperti dipukul oleh temannya sehingga menyebabkan luka-luka namun kejadian tersebut tidak dilaporkan kepihak yang berwajib maka LPSK tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan dan posisi korban juga tidak dapat menggunakan jaminan sosial kesehatan berupa BPJS Kesehatan karena berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dalam Pasal 52 ayat (1) huruf (r) yang menyebutkan bahwa pelayanan terhadap korban tindak pidana penganiayaan tidak dapat dijamin.

Terhadap korban tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme dan perdangangan orang tidak dapat menjaminkan kesehatannya melaui program jaminan sosial BPJS, namun para korban tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban seperti yang tertera pada Pasal 5 dan 6 Undang-undang 15 Lihat Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Simposium Hukum Indonesia Volume 1 Nomor 1 Tahun 2019 158 Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 5 (1) Saksi dan korban berhak :

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan

d. Mendapat penerjemah

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus

g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan

h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan

i. Dirahasiakan identitasnya

j. Mendapat identitas baru

k. Mendapat tempat kediaman sementara

l. Mendapat tempat kediaman baru

m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan

n. Mendapat nasihat hukum

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir dan/atau

p. Mendapat Pendampingan.

Walaupun tidak sepenuhnya jaminan kesehatan (BPJS) diterapkan kepada korban kejahatan tindak pidana tetapi pemerintah daerah harus tetap terlibat dalam penyelenggaraan kesehatan masyarakat dan juga keterlibatan rumah sakit beserta kelengkapan didalamnya baik medis dan juga sarana prasarana pendukung lainya harus berperan aktif dalam penanganan pelayanan kesehatan.

  1. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang di sengaja atau Kesengajaan sebagai kepastian (opzetalszekerheldsbewustzijn) Kesengajaan sebagai kepastian yaitu bentuk kesengajaan yang berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal manusia pada umumnya pasti terjadi dikarenakan dilakukannya suatu perbuatan tertentu dan terjadinya akibat tersebut tidak dapat dihindarkan. Akibat yang timbul merupakan akibat lain dari tindakan yang dilakukannya bukan merupakan akibat yang dikehendaki.

Kejahatan tindak pidana senjata tajam (panah wayer) menimbulkan akibat hukum dan sanksi dari perbuatan tersebut pelaku dikenakan pasal 351 ayat 1 dan 2 .

Pasal  351 ayat 1

Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah

Pasal 351 ayat 2

Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.

  1. Pihak Rumah Sakit tidak bisa menghentikan penaganan pelayanan kesehatan kepada korban kejahatan tindak pidana apabila dalam keadaan darurat dengan alasan apapun, karena keselamatan merupakan hal yang paling utama untuk ditangani, dan juga negara wajib melindungi dan menjamin setiap pelayanan kesehatan warga negara sebagaimana tertuang dalam pAsal 28 H ayat 1,

Pemerintah Daerah turut ambil bagian dalam penyelengaraan kesehatan masyarakat jika masyarakat tidak mampu secara finansial dan lain sebagainya sebagaimna yang diatur dalam BAB IV Pasal 6 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

Korban/Pasien kasus kejahatan tindak pidana mendapat perlindungan dalam hal pelayanan kesehatan dan bisa mengajukan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagaimnan jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

  1. Pihak kepolisian segera mengidentifikasi pelaku dan segera menjerat pelaku berdasarkan hukum positif yang berlaku di negara Indnonesia untuk mendapat kepastian hukum dari kasus/peristiwa yang telah terjadi di kota manado, dan lebih mengoptimalkan sosialisasi bagaimana pentingnya penegakan hukum dan jeratan hukum bagi pelaku kejahatan tindak pidana dalam hal ini senjata tajam.
  2. Pemerintah harus melindungi dan membantu korban dalam hal penanganan pelayanan kesehatan atau pembiayaan rumah sakit jika korban mengalami kendala baik dari segi finansial dan lain sebagainya berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku. (*)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Eddy O, S Hiariej, 2020, “Hukum Acara Pidana”, Tanggereang Selatan: Dwicitra Grafindo , pendahuluan

  1. B Vos hlm 1 dikutip kembali dalam buku Edie O.S Hiariej, “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” Yogyakarta: Cahaya Pustaka, hal 20-21

0 Poerdaminto,2003, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.48

R.Soesilo,1995, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor,hlm. 245.

Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 34.

JURNAL

Viva Rahmawati Wijaya, Wartiningsih, “Urgens perlindungan korban tindakm pidana dalam memperoleh jaminam social kesehatan”,jurnal, 2019.

INTERNET

https://info-hukum.com/2019/04/20/teori-pertanggungjawaban-pidana/

https://sulut.inews.id/berita/perempuan-korban-panah-wayer-di-manado-ternyata-salah-sasaran-ini-tampang-3-pelaku.

https://heylawedu.id/blog/mengenal-lebih-dekat-dengan-kesengajaan-dan-kealpaan,

http://smartplusconsulting.com/2013/09/pengertian-rumah-sakit-menurut-keputusan-menteri-kesehatan-ri/

https://news.detik.com/kolom/d-4591940/korban-tindak-pidana-tidak-ditanggung-bpjs

https://nasional.sindonews.com/read/206022/15/mencari-solusi-layanan-kesehatan-bagi-korban-tindak-pidana

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

 

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UU Nomor .2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan

 

  • Bagikan