Menepis Stigma : Perempuan Bukan Mesin Penghasil Keturunan

  • Bagikan
Vannessa Sual (foto istimewa)

Penulis : Vannessa Sual

Ada hal yang perlu menjadi perhatian kita bersama, dimana saya cukup resah dengan mindset atau logika berpikir masyarakat pada umumnya. Pola berpikir masyarakat begitu sangat sempit, bahwasannya ketika perempuan ingin sekolah tinggi seolah lahir stigma yang mencoba membatasi niat dari perempuan tersebut. Logikanya sekalipun menjadi seorang ibu haruslah menjadi cerdas, guru bangsa tetbaik adalah Seorang Ibu. Bagaimana mungkin mengajarkan moral dan pengetahuan kepada generasi kita jika guru pertamanya adalah mereka yang tidak mengetahui tentang pengetahuan. Yang mana pendidikan tentu tidak saja hanya berlaku bagi dirinya sendiri tetapi bagi anaknya kelak, kita tidak bisa menggeneralisir semua perempuan harus cerdas untuk anaknya.

Yang dimana kita ketahui masih banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa role perempuan hanya untuk menjadi seorang ibu saja. Masyarakat kita masih terjebak pada kerangka berpikir patriarki. Yang mana banyak sekali yang hanya melihat perempuan sebagai Mesin penghasil keturunan. Sangat disayangkan banyak perempuan yang masih berkompromi dengan konsep patriarki tersebut yang seolah-olah hal itu adalah hal yang normal-normal saja. Disebabkan sedari kecil hidup di dalam sistem tersebut dan beranggapan tidak ada yang salah dengan hal tersebut.

“PEREMPUAN SEBAGAI ALAT PENGHASIL KETURUNAN”. Padahal whatever her reasons untuk tidak mempunyai anak itu hak dan kebebasan sebagai individu yang merdeka, tetapi jika dilihat dalam perspektif masyarakat pada umumnya seolah jika perempuan tidak ingin mempunyai anak, akan dijustifikasi tidak baik dan itu sangat melanggar nilai-nilai norma dalam lingkup sosial. Bahkan di zaman sekarang saya melihat kebanyakan orang-orang menikah dengan tujuan hanya ingin memiliki keturunan, bahkan sampai melupakan tujuan yang lain Dalam pernikahan seperti ingin menghabiskan waktu bersama dengan seseorang yang dicintai, dan ketenangan jiwa. Kita harus mengubah pola pikir “bahwa menikah tujuannya hanya untuk memiliki anak, dan banyak anak pasti banyak rezeki” bagaimana jika seorang istri tidak bisa mempunyai anak atau mandul, tentunya akan bercerai dan marah kepada pasangan bukan?

Tidak jarang di dalam rumah tangga, seorang istri baru saja selesai melahirkan seorang anak, suami langsung menanyakan program mempunyai anak lagi. Sebenarnya hal ini kembali kepada individu yang bersangkutan, terkait kesepakatan yang mereka sepakati. Akan tetapi kembali lagi ditinjau dari Perspektif Hak asasi dan hak atas Tubuh seseorang setidaknya hal tersebut merugikan pihak perempuan itu sendiri.

Dapat dibayangkan betapa kejam lingkungan sosial yang mengekang dan merenggut hak atas kebebasan seseorang. Tidak dapat dipungkiri begitu berat untuk mengubah mindset atau cara berpikir masyarakat pada Umumnya. Feminisme meminta kami (Perempuan) Agar dihormati dan dihargai, tidak hanya dipandang sebagai objek seksual dan Mesin penghasil keturunan.

  • Bagikan