Penulis : Akiela Polii
Belakang ini isu kekerasan seksual menjadi hangat diperbincangkan di ruang publik khususnya di instansi lahirnya para pemikir-pemikir hebat dalam hal ini lingkungan kampus. Kekerasan seksual sendiri merupakan bentuk yang tidak terpuji dan melanggar nilai-nilai moral kemanusiaan karena tidak terjadi kesepakatan antara dua lawan jenis baik itu perempuan atau laki-laki itu sendiri.
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (KEMENDIKBUD RISTEK) secara harafiah kekerasan seksual dimaksudkan setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa, dan atau gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan atau fisik termasuk yang menggangu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Berdasarkan yang digambarkan Kemendikbudristek sangat jelas bahwa kekerasan seksual menciderai nilai-nilai moral dari manusia itu sendiri sebab manusia tidak boleh mengintervensi kebebasan manusia lain.
Di Indonesia pelecehan seksual atau kekerasan seksual diatur dalam pasal 294 ayat (2) KUHP Indonesia, juga diatur pada pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yaitu UU No. 13 Th. 2003. Di lingkungan kampus Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi resmi telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang dalam hal ini mengatur mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi pada 3 September 2021 kemarin.
Kekerasan seksual sendiri berdasarkan jenisnya digolongkan menjadi 4 bagian yaitu, kekerasan seksual secara verbal, kekerasan seksual secara non fisik, kekerasan seksual secara fisik dan kekerasan seksual melalui informasi dan teknologi.
Faktor terbesar yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan dunia pekerjaan adalah ketimpangan relasi kuasa dimana dosen memiliki kekuasaan untuk menentukan proses studi mahasiswanya sedangkan mahasiswa tidak memiliki otoritas kekuasaan seperti yang dimiliki oleh dosen. Akibat relasi kekuasaan inilah yang menyebabkan banyak terjadinya kasus kekerasan seksual yang melibatkan mahasiswa dan dosen.
Sayangnya ada beberapa pandangan oleh beberapa orang yang hari ini pemikirannya masih sangat terkebelakang yang mengamini faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah cara berpakaian. Mereka berangkat dari pandangan yang disajikan oleh agama tanpa disadari pandangan tersebut sebenarnya pandangan yang sangat kolot, pandangan agama yang cenderung skriptualistik dimana menafsirkan kitab suci dimana penafsiran atasnya tidak dibarengi dengan penggunaan nalar dan memperhatikan konteks kekinian.
Seolah-olah karena pakaian, seorang perempuan berhak untuk dilecehkan. Paradigma yang beranggapan bahwa mayoritas pelecehan seksual terjadi karena pakaian terbuka atau mengundang hawa napsu, perempuan yang berjalan sendirian di tempat sepi, perempuan yang tidak dapat melawan karena dianggap mau, dan kekerasan seksual yang terjadi pada malam hari. Namun apakah paradigma dan mitos ini benar?
Sebenarnya semua tergantung kepada cara berpikir seseorang. Sangat disayangkan mayoritas masyarakat Indonesia masih belum mampu memahami makna dan nilai moral sehingga masih terjebak satu pemikiran yang praktis demi memenuhi kepenuhan hawa napsu artinya cara berpikir masyarakat Indonesia yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan masih sangat terkebelakang.
Cara berpakaian adalah kebebasan individu seseorang, tidak boleh ada aturan manapun yang mengatur tentang kebebasan tersebut, apalagi hanya sebatas asumsi atau paradigma yang dibangun dimasyarakat yang kemudian menjustifikasi cara berpakaian seseorang yang kemudian dikaitkan dengan sebab dari kekerasan seksual. Paradigma seperti ini sejatinya paradigma patriarki yang harus ditepis.
Maka dengan ini saya hendak menyadarkan perspektif masyarakat bahwa terjadi bias pandangan agama yang ada di masyarakat.
Pertama bahwa cara berpakaian bukanlah faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual, pola pikir masyarakatlah yang harus diubah, yang seyogyanya tanpa disadari mereka telah mendiskriminasi perempuan atas label agama dan cara berpakaian.
Kedua, di lingkungan instansi baik itu instansi pendidikan maupun instansi dunia pekerjaan faktor penyebab terbesarnya adalah Relasi Kuasa, maka yang harus dibenahi adalah sistemnya dan perlindungan Hukum terhadap mereka yang rentan menjadi korban.
Ketiga, berhentilah membawa stigma tentang agama dalam hal ini karena akan menyebabkan rasa skeptis terhadap agama itu sendiri bahkan akan menciderai agama itu sendiri yang sejatinya agama adalah sumber nilai moral dan nilai-nilai keadilan serta kebenaran.