Oleh: Prayer Paruntu
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fispol Unsrat
NARASI tentang pemekaran daerah akhir-akhir ini sering diperbincangkan di beberapa platform sosial media oleh warganet. Meski pemerintah pusat telah melakukan moratorium terhadap pemekaran daerah, tapi saat ini wacana pemekaran daerah, khususnya provinsi baru masih terus diusulkan oleh berbagai pihak. Meskipun sudah dibantah, sebelumnya beredar wacana pengusulan sembilan provinsi baru di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Tangerang Raya dengan Ibu Kota Tangerang, Provinsi Bogor Raya atau Pakuan Bagasasi berpusat di kota Bogor.
Selanjutnya, Provinsi Cirebon dengan Ibu Kota Cirebon, Provinsi Banyumasan dengan Ibu Kota Purwokerto, Daerah Istimewa Surakarta dengan Ibu Kota Surakarta, Provinsi Madura dengan Ibu Kota Pamekasan, Provinsi Mataraman atau Jawa Selatan dengan Ibu Kota Kediri, Provinsi Muria Raya atau Jawa Utara dengan Ibu Kota Kudus, Provinsi Blambangan berpusat di kota Jember. Dan di Sulawesi Utara sendiri wacana Provinsi Bolaang Mongondouw Raya dengan Ibu Kota Kota Kotamobagu, Provinsi Nusa Utara dengan Ibu Kota Tahuna, Kabupaten Minahasa Barat dengan Ibu Kota Langowan terus berhembus dari masyarakat.
Wacana-wacana pemekaran sejak lama dimaknai sebagai wacana kepentingan pembangunan daerah yang dianggap punya faktor politik. Dalam konteks pemilu misalnya, terdapat potensi politisasi data pemilu bila Daerah Otonomi Baru (DOB) berlangsung sebelum pemilu dilaksanakan. Dalih pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), selalu menilai bahwa pemekaran daerah masih mempertimbangkan kondisi anggaran pemerintah. Sebab, situasi nasional sekarang dianggap masih kurang memungkinkan.
Lantas, seperti apa memahami fenomena politik pemekaran daerah ini?
Meraba Dinamika Pemekaran Daerah
Melihat narasi pemekaran daerah secara kronologis, fenomena ini dapat kita lacak sejak pemerintahan Presiden B.J. Habibie, di mana tercatat 45 DOB yang muncul. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati yaitu periode rentang tahun 2000 hingga 2004, terdapat 103 DOB. Dan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terdapat 57 DOB.
Hal ini menunjukkan bahwa semangat pemekaran dari era ke era pemerintahan pasca reformasi semakin tinggi. Namun, sayangnya berbagai pihak menilai kebijakan itu tak mempertimbangkan secara serius dampak negatif yang menyertainya, seperti pemekaran daerah sering menjadi instrumen politik pemerintah daerah.
Peneliti senior ilmu politik Siti Zuhro memberikan analisis, bahwa dalam konteks politik terdapat beberapa faktor penting penyebab pemekaran daerah. Pertama, instrumen peraturan perundang-undangan yang terlalu longgar.
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum terbaru untuk pemekaran daerah di Indonesia tertuang pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Kedua, pertimbangan politis cenderung lebih dominan ketimbang aspek teknis pemerintahan, seperti ketersediaan aparat pemerintahan, legislatif, dan kapasitas manajemen pemerintah. Demikian juga dengan aspek sarana dan prasarana pemerintahan, serta pembelajaran tata kelola pemerintahan yang tampaknya masih sangat lemah.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa proses persetujuan pemekaran daerah sering kali dilakukan dengan menggunakan “lobi-lobi politik”. Lobi-lobi politik ini membuat aspek studi kelayakan tidak diberikan ruang yang cukup. Akibatnya, kajian tersebut tak dapat memprediksi apakah sebuah daerah dapat dimekarkan atau tidak.
Ketiga, terbatasnya kapasitas pemerintah dalam melakukan pembinaan terhadap DOB. Sementara itu, proses pendampingan tidak hadir untuk mengantarkan DOB menuju daerah mandiri dan mampu melakukan pemerintahannya. Adanya proses “pembiaran” ini menyebabkan sebagian besar DOB bermasalah dan gagal memenuhi syarat dari tujuan utama maksud didirikannya pemerintahan daerah baru.
Tujuan utama dari pemekaran daerah adalah untuk memperpendek rentang kendali (span of control) antara pengambil kebijakan dan masyarakat. Kemudian untuk menciptakan pemerataan pembangunan, konsentrasi kegiatan dan pertumbuhan pembangunan yang selama ini belum merata.
Konsep span of control diambil istilah ilmu manajemen yang dipopulerkan oleh Stephen P. Robbins dan Mary Coulter. Dalam konteks pemekaran wilayah, diandaikan bahwa semakin kecil suatu wilayah atau semakin kecil rentang kendali suatu pemerintahan, maka akan semakin mudah dalam mengelola wilayah tersebut. Oleh karena itu, upaya bagi-bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal semestinya tidak mendominasi alasan pemekaran yang oleh kalangan tertentu disebut sebagai “aspirasi rakyat”, tapi juga harus memperhitungkan keberhasilan pemekaran baru nantinya.
Maraknya pemekaran daerah di era otonomi daerah telah menimbulkan sejumlah pertanyaan, mengapa itu bisa terjadi dan motif apa yang mendasari dari adanya pemekaran daerah tersebut? Bank Dunia menyimpulkan bahwa ada 4 faktor utama pendorong pemekaran daerah :
1. Motif untuk efektifitas administrasi pemerintahan mengingat wilayah daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan adanya ketertinggalan dalam pembangunan
2. Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban rural, tingkat pendapatan). Beberapa pemekaran daerah lebih didasari motif ingin lepas dari himpitan “penindasan” kelompok lain atas dasar etnis, agama, dan lain. Lain Contoh nyata pada level ini adalah pembentukan Propinsi Banten, Maluku Utara, Gorontalo, dan Bangka Belitung nuansa etnik sangat kuat sekali yangmana mereka ingin membebaskan diri dari orang Bandung, Ambon, Manado dan Palembang
3. Adanya kemanjaan fiskal yang dijamin UU dengan disediakannya DAU, DAK, Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam dan disediakannya sumbersumber pendapatan daerah
4. Motif pemburu rente dari para elite Pemekaran daerah banyak didasari motif karena inin menjabat di Birokrasi Lokal dan DPRD. Selain itu, pemekaran daerah juga didasari motif untuk membangun kembali sejarah dan kekuasaan aristokrasi lama yang pernah pudar di masa lalu.
Pertanyaan selanjunya, bagaimana sebenarnya prosedur pemekaran daerah? apakah cukup mudah sehingga pemekaran daerah melonjak cukup drastis?
Secara normatif, pemekaran daerah berdasarkan pasal 16 PP 129 tahun 2000 mencakup tahapan kegiatan berikut :
1. Ada kemauan politik dari pemerintah daerah dan masyarakat yang bersangkutan
2. Pembentukan daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah
3. Usulan pembentukan Kabupaten / Kota disampaikan kepada Pemerintah / Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten / Kota serta persetujuan Propinsi yang dituangkan dalam Keputusan DPRD Propinsi
4. Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
5. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut
6. Apabila berdasarkan keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan daerah tersebut beserta Rancangan Undang-Undangan Pembentukan Daerah kepada Presiden
7. Apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan UndangUndang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan. Bila dilihat dari aturan normatif di atas, memang sangat mudah bagi daerah untuk mengajukan usulan pemekaran daerah, karena cukup memerlukan persetujuan dari DPRD dan tidak memerlukan persetujuan atau hasil keputusan dari masyarakat bawah. Jika hanya ditentukan dari persetujuan di tingkat elit, maka sering dilakukan manipulasi data dan informasi yang dibutuhkan untuk mendukung dan memaksa bagi pemekaran wilayah.
Lantas, seperti apa implikasi politik yang diberikan dari polemik pemekaran daerah ini?
Pemekaran Daerah Sebuah Solusi?
Adies Saputra dalam tulisannya Pemekaran Daerah dan Implikasinya Pada Pembangunan, mengatakan, berdasarkan studi empiris menunjukkan bahwa pemekaran tidak berkorelasi positif terhadap kemajuan ekonomi dan tidak mampu mendorong pembangunan daerah otonom baru. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi daerah menunjukkan dengan jelas, bahwa untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, tidak harus dijawab dengan pemekaran daerah.
Pemekaran daerah secara sosio-politik melahirkan sebuah konsekuensi pembentukan institusi baru, pengisian jabatan politik baru, yang dalam praktiknya sering memunculkan pertentangan horizontal maupun vertikal. Oleh karenanya, dalam upaya pemekaran daerah perlu juga diperhitungkan analisis tentang potensi konflik setelah pemekaran.
Evaluasi yang dilakukan beberapa lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, menunjukkan bahwa pemekaran cenderung berdampak negatif ketimbang positif.Beberapa dampak negatif tersebut antara lain.
Pertama, pemekaran menciptakan perluasan struktur yang mengakibatkan beban berat pembiayaan. Kedua, kesamaan karakteristik sosial budaya dan historis masyarakat merupakan komitmen mayoritas warga. Aspek politik antara warga mulai dikedepankan dibanding aspek budaya. Di sini potensi konflik horizontal itu dapat muncul.
Ketiga, rendahnya kapasitas fiskal yang menyebabkan pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan dengan berbagai cara yang justru merugikan masyarakat dan berakibat terhadap munculnya kesenjangan. Keempat, penambahan jumlah pemerintah daerah secara simultan meningkatkan belanja dalam APBN, dan ini membebani pemerintah pusat.
Dampak sosiologis dan juga ekonomi yang menghampiri narasi pemekaran daerah di atas, mengajak kita untuk memikirkan bagaimana solusi agar tetap menjaga otonomi daerah tetap berlangsung dengan tidak menjadikan pemekaran sebagai pilihan utama.
Dengan kata lain, pemekaran daerah bisa dikonversi dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memberikan insentif bagi daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau. Langkah lain menjadi alternatif untuk mengatasi buruknya pelayanan publik di daerah-daerah terpencil dan terisolasi.
Sebagai penutup, terlepas dari polemik pemekaran daerah yang tak terelakkan, permasalahan yang dihadapi sebagian besar daerah otonom baru perlu dicarikan solusinya dengan cara membenahi proses dan mekanisme pemekaran, sehingga nantinya DOB tak akan membebani belanja daerah dalam APBN. (*)