Menelaah Gagasan Penundaan Pemilu di Indonesia Dari Kacamata Negara Demokrasi Konstitusional

  • Bagikan
Jovano Apituley (foto MLSC)

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara dimana warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan, dan kekuasaan yang dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara. Karena itu rakyat berhak untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan baik secara langsung misalnya melalui ruang publik (public sphere) maupun melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur dalam sistem pemilihan yang bebas.Dengan pemerintahan yang dijalankan berkedaulatan rakyat, sehingga tercipta sistem pemerintahan sebagaimana yang dikatakan Abraham Lincoln pada tahun 1863 yaitu pemerintahan yang berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk kepentingan rakyat (from the people, by the people, to the people), Sesuai dengan bunyi Konstitusi Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang dasar”.

Mengingat Demokrasi adalah anak kandung yang dilahirkan dari Perjuangan Reformasi dalam menumpas Rezim Otoriter Orde Baru, sehingga Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi Konstitusional (constitutional democracy) dikarenakan terdapatnya korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan dengan kedaulatan yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Negara Demokrasi Konstitusional mengandung arti bahwa Demokrasi di Indonesia diatur dan dibatasi oleh aturan hukum yang ada, sedangan isi/substansi hukum itu sendiri dibuat dan ditentukan dengan cara-cara demokratis berdasarkan Konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land), hal ini cukup jelas menggambarkan Negara Indonesia sudah seharusnya memelihara, menjaga keberlangsungan Demokrasi yang berlandaskan Konstitusi ini.

Pemilihan Umum (general election) adalah instrumen yang tidak akan terpisahkan dari Indonesia sebagai Negara Demokrasi Konstitusional apalagi sebagaimana yang ada dalam Konferensi Bangkok Tahun 1965 International Commission of Jurist yang menyebutkan salah satu syarat dasar terselenggaranya Negara Demokratis yaitu: Pemilihan Umum yang bebas. Pemilu berfungsi menjamin Kedaulatan Rakyat dalam menentukan corak dan cara pemerintahan agar bisa menjaga stabilitas pemerintah dan sebagai sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil, secara nyata dapat dilihat lewat sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) pada praktiknya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menjalankan Kedaulatan Rakyat itu adalah wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen dan bertindak atas nama rakyat, agar wakil-wakil rakyat memang benar bekerja mengatasnamakan rakyat maka mereka harus ditentukan sendiri juga oleh rakyat melalui general election dikarenakan pemilu adalah instrumen yang penting dalam kelangsungan Negara Demokrasi Konstitusional maka hal itu diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 22E, dan diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Maka mengenai Gagasan penundaan pemilu 2024 diungkapkan oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia, dan didukung dengan pernyataan oleh beberapa petinggi-petinggi PARTAI POLITIK seperti Muhaimin Iskandar Selaku Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Airlangga Hartarto Selaku Ketua Umum Partai Golkar, dan Zulkifli Hasan selaku Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), diperlukan kajian yang lebih dalam mengenai Implikasi-nya terhadap Sistem Negara Hukum yang demokratis (constitutional state).

Perkembangan Demokrasi melalui Sistem Pemilu di Negara Indonesia

Penegakkan Demokrasi dalam Negara Indonesia melalui Pelaksanaan pemilihan umum (general election) di Indonesia harus melalui jalan panjang nan terjal pada rezim pemerintahan yang otoritarian ataupun demokratis, cita-cita terselenggaranya pemilihan umum Indonesia yang pertama kali, muncul segera setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemilu pertama direncanakan akan digelar pada tahun 1946, hal ini dicantumkan dalam Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta pada Tahun 1945, maklumat ini menyebutkan pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Namun pada faktanya Pemilu yang direncanakan ini gagal digelar disebabkan kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.

Faktor dalam negeri disebabkan oleh ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu. Salah satunya karena belum terbentuknya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu. Pada saat yang bersamaan kondisi keamanan dalam negeri juga belum stabil, akibat konflik internal antar kekuatan politik yang ada pada waktu itu, dan yang tidak kalah pentingnya, penyebab dari dalam itu adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi) kekuasaan secara teratur dan kompetitif.

Memasukki awal Tahun 1955 mulai timbul gejala ketidakpuasan dari rakyat, yang disusul dengan berbagai tuntutan agar segera diadakannya Pemilu, dikarenakan pemilu adalah salah satu sarana realisasi Kedaulatan Rakyat, maka Indonesia-pun akhirnya menentukan langkah untuk menyelenggarakan Pemilu dengan melaksanakannya dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih 260 anggota DPR dan tahap kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih 520 anggota Konstituante yang salah satu tugasnya adalah merumuskan konstitusi negara, waktu itu Indonesia menggunakan Sistem pemilu perwakilan berimbang (proportional representation).

Idealnya pemilu kedua dilaksanakan pada kurun waktu 5 (lima) tahun setelah pemilu pertama dilaksanakan. Namun, ternyata pemilu kedua yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 1960 tidak terlaksana sehingga kesuksesan pemilu pertama tidak bisa dilanjutkan pada periode selanjutnya walaupun sebenarnya Presiden Soekarno telah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia II pada tahun 1958. Namun, dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan bahwa Konstituante dibubarkan dan pernyataan kembali ke UUD 1945, maka pemilu yang akan dilaksanakan tersebut akhirnya dibatalkan, sampai pada akhirnya tahun 1967 melalui sidang istimewa dengan ketetapan MPRS XXXIII/MPRS/1967, MPRS memberhentikan Soekarno sebagai Presiden, selain memuat pencabutan kekuasaan dari Presiden Soekarno, TAP MPRS itu juga memberikan mandat kepada Soeharto untuk mengemban amanat sebagai pejabat presiden sampai dilaksanakannya Pemilihan umum selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968, seperti yang tercantum dalam TAP MPRS XI/MPRS/1966 pasal 1, walaupun TAP MPRS telah melewati batas waktu, pemilu yang demokratis belum juga berhasil diselenggarakan.

Pada praktik-nya barulah pada Tahun 1971 saat rezim Orde Baru berkuasa Pemilu Kedua baru bisa digelar. Saat era Orde Baru berkuasa dengan cita-cita memimpin berdasarkan kemurnian Pancasila & UUD 1945. Pemilu tidak hanya diselenggarakan sekali tapi beberapa kali yaitu pada tahun: 1971, 1977, 1987, 1992, dan 1997. Pada masa Orde Baru ini telah dilaksanakan pemilu secara berkala setiap 5 (lima) tahun sekali kecuali pada pemilu ketiga yang dilaksanakan setelah enam tahun sejak pemilu kedua dilaksanakan.

Walaupun rezim Orde Baru berhasil beberapa kali melaksanakan pemilu hal ini tidak bisa dijadikan tolak ukur dan jaminan bahwa Kedaulatan Rakyat melalui Demokrasi berhasil ditegakkan, karena pada kenyataannya terdapat banyak Rekayasa bahkan Kecurangan yang terjadi saat itu antara lain: ABRI, PGRI, PNS diperalat untuk mobilisasi pencoblosan bagi Golongan Karya sebagai Partai Adidaya saat itu, selanjutnya seperti yang sudah diketahui oleh masyarakat saat ini yaitu adanya Penekanan & Pembatasan bagi rakyat yang memiliki pandangan yang berbeda dan ingin menyuarakannya, dan juga selama Pemilu dilangsungkan saat rezim Orde Baru berkuasa tidak pernah dilaksanakannya pemilu Presiden & Wakil Presiden yang mana abuse of power oleh Rezim Orde Baru dibawah Kepemimimpinan Presiden Soeharto saat itu membuat hilangnya nuansa Demokrasi dan menggantinya dengan nuansa Politisasi.

Setelah Indonesia berhasil terlepas dari belenggu Kekuasaan Orde Baru saat Soeharto menyatakan mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie yang saat itu menjabat wakil presiden pada 21 Mei 1998 melalui pergerakan perjuangan Reformasi Mahasiswa yang merupakan suara hati rakyat Indonesia terhadap tinta hitam Demokrasi saat Orde Baru berkuasa.

Reformasi adalah susunan tatanan perikehidupan lama diganti dengan tatanan perikehidupan baru secara hukum menuju perbaikan. Dengan demikian gerakan reformasi di Indonesia tahun 1998 adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaruan dan perubahan terutama dalam bidang Hukm, Politik, Sosial dan Ekonomi (Waridah dkk 2003:68). Akhirnya Demokrasi yang merupakan bunga-bunga perjuangan reformasi bisa kembali mekar salah satu perwujudannya melalui pelaksanaan Pemilu yang Demokratis pada Tahun 1999 dan 2004 dengan sistem yang masih sama yaitu Sistem Perwakilan Berimbang pemilu juga bisa digelar karena desakkan masyarakat untuk membersihkan sampah-sampah produk orde baru dan Indonesia ingin memperoleh lagi kepercayaan dunia internasional.

Pastinya dalam pelaksanaan pemilu menggunakan sistem yang mendukung efektivitas agar bisa menghasilkan pemilu yang Demokratis, adapun sistem-sistem pemilu yang dianut di Indonesia yaitu:

1. Sistem Perwakilan Berimbang (proportional representation)

Menurut Arend Lijphart bahwa sistem Proportional Representation atau perwakilan berimbang merupakan sistem pemilihan yang paling banyak dipergunakan oleh negara–negara yang pemilihan umumnya berlangsung secara demokratik dan kompetitif. Sistem ini memperlihatkan gejala yang menarik dimana proporsi kursi yang dimenangkan oleh sebuah partai politik dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. Dalam mengimplementasikan sistem general election ini pasti mempunyai Kelebihan antara lain: Dianggap lebih representative karena persentase perolehan suara setiap partai sesuai dengan persentase perolehan kursinya di parlemen. Tidak ada distorsi antara perolehan suara dan perolehan kursi. Dan Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Karena itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada sitem ini. Dan mempunyai Kelemahan, antara lain: Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituennya, tetapi lebih erat dengan partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya, system ini member kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya di parlemen melaluin Stelsel daftar (List System). Dan Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai mayoritas di parlemen. Dalam system pemerintahan parlementer, hal ini mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena harus mendasarkan diri pada koalisi.

2. Sistem Distrik (Plurality System)

Sistem ini disebut juga sebagai Plurality and Majority System atau Single Member Constituency. Menurut Encyclopedia Britannica, sistem ini adalah cara paling sederhana untuk menentukan hasil Pemilu. Sistem distrik dilaksanakan berbasis tempat daerah pemilihan, hal ini dimaksudkan dengan tidak mendasarkan pada kuantitas penduduk, melainkan pada lokasi yang telah ditetapkan. Setiap distrik memiliki satu wakil dalam parlemen kecuali pada varian block vote dan party block vote. Untuk melaksanakan sistem distrik, maka suatu wilayah negara dibagi dalam sejumlah distrik. Kandidat dalam distrik yang meraih suara tertinggi akan menjadi pemenang. Bagi suarasuara yang diperuntukkan pada calon yang tidak mencapai suara tertinggi akan dianggap hilang dan tidak diperhitungkan walaupun selisih suaranya tipis. Dalam praktiknya pasti sistem pemilu ini memiliki Kelebihan, antara lain: Kalangan pemilih akan dekat dengan calon yang mewakili mereka karena calon-calon tersebut berasal dari lingkungan mereka sendiri. Pemilih dapat menentukan siapa diantara para calon tersebut yang dapat diandalkan dan berkualitas serta mampu memperjuangkan nasib mereka, dan Peranan partai menjadi sangat terbatas, partai hanya menjadi fasilitator dan sama sekali tidak menentukan apakah mampu meyakinkan para pemilih di distriknya untuk memilihnya. Dengan demikian konflik internal partai seperti yang sering kita amati di Indonesia tidak akan terjadi. Dan mempunyai Kelemahan, antara lain: sistem ini dianggap kurang representatif atau mewakili suara dari kelompok-kelompok minoritas karena tidak memiliki wakil yang diakibatkan berlakunya prinsip the winner takes all tersebut. Kandidat terpilih juga dikhawatirkan hanya mementingkan kepentingan rakyat di distriknya untuk mengamankan dalam mendulang suara dalam pemilihan berikutnya, sehingga harapan agar wakil rakyat dapat mementingkan kepentingan rakyat di distrik lain semakin kecil.

Implikasi Penundaan Pemilu terhadap Negara Demokrasi Konstitusional

Demokrasi yang mekar karena hasil dari perjuangan Reformasi waktu menumpas rezim oligarki saat Orde baru berkuasa. Sudah menjadi kewajiban utama bagi bangsa Indonesia untuk Demokrasi dalam hal ini salah satu perwujudan dari Demokrasi yaitu Pemilu karena sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 4:“Pengaturan Penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk:

a.memperkuat sistem ketatanegaraan yang     demokratis;

b.mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;

c.menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;

d.memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu; dan

e.mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.”

         Diselenggarakan secara: Langsung, umum, bebas, rahasia jujur, dan adil. Lalu dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, yaitu: Mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efesien.

Dengan Gagasan Penundaan general election dengan dalil Pemulihan Stabilitas Ekonomi & Pandemi dalam Negara Indonesia hal ini merupakan pengkhianatan terhadap Spirit Reformasi yang membawa nilai-nilai Demokrasi, dan terlebih kejam lagi Pembangkangan terhadap Konstitusi (constitution disobedience) bangsa Indonesia sebagai Negara Demokrasi Konstitusional. Karena apabila Penundaan Pemilu terealisasi akan menciderai UUD NRI 1945 khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) menegaskan: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.”

Saat Pemilu berhasil ditunda implikasi-nya bisa memperpanjang masa Kepemimpinan Presiden menjadi 3 Periode yang mana hal ini merupakan tindakan Inkonstitusionalitas karena tidak sesuai dengan UUD NRI 1945 terkhususnya pada Pasal 7 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”Selain itu kedua hal diatas juga akan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dan Menganulir status kedudukan Badan Eksekutif dan Legislatif atau dikatakan illegal karena pada dasarnya tidak sesuai dengan isi dari Hukum tertinggi negara ini dan berlawanan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD (UU MD3) yang menegaskan bahwa masa jabatan keempat lembaga Negara tersebut adalah 5 tahun. Sebagai Pemimpin atau Masyarakat Indonesia pasti paham betul bahwa Indonesia Sebagai Negara Hukum (rechtsstaat) sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 setiap penyelenggaraan Negara dan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada Hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).

Penundaan Pemilu berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada akhir Desember 2021 menunjukkan mayoritas publik (67,2%) setuju pemilu tetap digelar pada 2024. Sebanyak 58% publik juga tak setuju masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.Hal mendukung bahwa memang Penundaan Pemilu ini terkesan sangat dipaksakan dan dapat tercium bahwa gagasan sebenarnya ini sarat kepentingan, jika dilihat dari berbagai alasan serta justifikasi yang coba dikemukakan para pengusul penundaan pemilu, tidak ada pijakan hukum (legal basis) yang tersedia baik secara teoritik maupun regulasi konstitusi. Usulan-usulan yang hadir tidak berangkat dari alasan yang memadai karena bukan didasarkan pada dalil yang secara konstitusional yang dapat diterima. Misalnya secara objektif negara dalam keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa atau timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; atau gangguan keamanan yang berdampak holistik, berdasarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya sehingga presiden sebagai kepala negara dapat menetapkan sebuah kebijakan dan kebutuhan hukum sesuai prinsip hukum yang berlaku dalam hal ini Pembentukan Perppu, untuk Hal pembentukan Perppu dengan tujuan untuk kepentingan Presiden dan kroninya atau hanya untuk kepentingan segelintirgolongan saja memang bisa terjadi, sebab sebagaimana dikatakan oleh Imran Juhaefah, dalam ketentuan UUD 1945 perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai suatu keadaan darurat negara (state of emergency) tidak ditemukan landasan hukumnya yang tepat. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara konstitusional berkenaan hak Presiden untuk memberlakukan keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, apakah yang dimaksud dengan keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa dan dalam keadaan bagaimana sehingga suatu keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa dapat dikualifisir sebagai keadaan darurat negara?, jawabannya pertanyaan itu tidak ditemukan dalam rumusan pasal-pasal dalam UUD NRI 1945.

Apabila nanti jalan satu-satunya untuk merealisasikan Penundaan Pemilu harus melalui mekanisme Amandemen UUD NRI 1945, hal ini akan membawa lagi Indonesia kembali pada era krisis Demokrasi dengan cara licik yang mana hanya mencerminkan bahwa Kekuasaan pemerintah tidak dibatasi oleh Konstitusi, kepentingan politik lebih tinggi dari Supremasi Hukum itu sendiri karena telah membunuh Demokrasi yang telah dipelihara dari hasil reformasi, dan akan juga berimplikasi pada tumbuhnya ketidakpercayaan rakyat terhadap para pemangku kebijakan, hal tersebut bisa membuat ketidakstabilan negara bukan hanya dalam sektor hukum dan politik, tapi juga akan mempengaruhi sektor ekonomi dan sosial.

Gagasan Penundaan Pemilu jika berhasil direalisasi mencerminkan bagaiamana gagalnya Indonesia sebagai Negara Hukum (rehctstaat) yang menganut sistem Demokrasi Konstitusional sekaligus juga membunuh kehidupan Demokrasi berkedaulatan rakyat yang merupakan bunga reformasi dan amanat konstitusi sebagai Hukum Tertinggi, juga mencerminkan terbukanya keran Oligarki dalam negara demokrasi dengan politik hukum yang elitis, oleh karena itu Tidak ada alasan berdasar bagi Negara Indonesia secara Logis, Teoritis bahkan Konstitusional untuk realisasi Penundaan Pemilu.

Indonesia sebagai Negara yang menempatkan Konstitusi sebagai Hukum Tertinggi, pada hakekatnya pejabat negara dan masyarakat harus melaksanakan semua perbuatan kehidupan berbangsa dan bernegara berpedoman pada UUD NRI Tahun 1945 dan menempatkan Konstitusi sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang timbul, agar tidak mengkhianati spirit Konstitusionalisme bangsa ini.

Saran

  1. Pemerintah harus memperhatikan setiap penyelenggaraan urusan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Legalitas dan Legitimasi.
  2. Pemerintah harus melaksanakan mengetahui hal prioritas apa yang perlu dilakukan semata-mata hanya untuk kepentingan umum (bestuurzorg)
  3. Penyelenggaraan pemerintah harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, untuk kepentingan rakyat (from the people, by the people, to the people).*

 

 

 

  • Bagikan