Ironi Kekerasan Seksual: Ketidakberdayaan dan Irasionalitas Kuasa atas Tubuh

  • Bagikan
Liana Regina Kei Mongdong (foto ist)

Penulis : Liana Regina Kei Mongdong

Kebanyakan dari masyarakat Indonesia terutama kaum remaja mengenal kekerasan seksual hanya berupa pelecehan seksual dan pemerkosaan. Buktinya bukan hanya itu. Komnas perempuan menyebutkan ada 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun, yakni sejak 1978-2013.

Bentuk kekerasan seksual yang terdata adalah perkosaan, intimidasi seksual, termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, permaksaan perkawinan termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, dan pemaksaan aborsi. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, penyiksaan seksual, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitan dan agama.

Semua yang telah disebutkan dilakukan dengan adanya pemaksaan atau ketidaksetujuan untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan seksualitas, merasa ketidaknyamanan saat fisik dan identitas dikatai, dihina, dan direndahkan. Sebut saja pelecehan seksual, dimana pelecehan seksual tidak hanya pelecehan fisik saja, tetapi juga melecehkan seseorang dengan siulan di jalan dan merendahkan seksualitas seseorang dapat digolongkan sebagai pelecehan seksual.

Pemaksaan atau ketidaksetujuan untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan seksualitas tidak hanya pemerkosaan, ada banyak yang jarang didengar masyarakat. Contohnya saja pemaksaan perceraian, pemaksaan kehamilan, dan pemaksaan aborsi. Semua dilakukan dengan adanya pemaksaan dan ketidaknyamanan yang mengakibatkan trauma hebat kepada korban.

Setelah penjelasan mengenai kekerasan seksual, saya ingin meluruskan berbagai stigma yang menyesatkan fakta tentang kekerasan seksual.

Pertama, laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Dilansir dari kumparan.com, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan korban laki-laki pada kasus kekerasan seksual sebanyak 3,6% di wilayah perkotaan untuk kategori seksual kontak dan 5,6% untuk kategori seksual non kontak pada tahun 2018. Lebih parah lagi, korban yang mengalami kekerasan seksual laki-laki berusia di bawah 18 tahun.

Jika selama ini laki-laki banyak menjadi korban seksual, kenapa jarang diberitakan kekerasan seksual terhadap laki-laki? Itu dikarenakan kekhawatiran akan pandangan masyarakat terhadap maskulinitas korban. laki-laki di nilai sebagai sosok yang tangguh, kuat, dan jantan. Kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki merupakan hal yang tidak masuk akal bagi masyarakat umum karna laki-laki biasanya keras, dikenal dengan hobi baku hantam, serta tegas dengan hal yang menurutnya tidak nyaman atau tidak disukai.

Kedua, cara berpakaian bukanlah faktor utama kekerasan seksual terhadap perempuan. “Salah dia pakai pakaian yang terbuka!”. Kata-kata seperti itu dilontarkan oleh orang-orang yang tidak tahu kebenaran bahwa mayoritas kerban pelecehan tidak mengenakan baju terbuka saat mengalami pelecehan seksual.

Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilaksanakan secara nasional pada akhir tahun 2018 selama 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) pernah menyoal cara berpakaian korban yang sering dijadikan kambing hitam. Dari analisis data survei yang diikuti oleh lebih dari 62,000 orang, korban pelecehan seksual memakai celana/rok panjang (18%), hijab (17%) , dan baju lengan Panjang (16%).

Ketiga, kekuasaan bukanlah segalanya. Hanya karena memiliki kekuasaan dan wewenang bukan berarti korban tidak bisa melawan dan menindaklanjuti pelaku kekerasan seksual. Dalam beberapa kasus yang ditemukan, korban pelecehan seksual tidak berani bersuara kepada pihak berwajib karena merasa lebih terancam saat mengatakannya dan memilih untuk diam. Korban terancam dengan ancaman yang akan diberikan oleh pelaku kekerasan seksual.

Contohnya saja, para mahasiswi kampus yang dilecehkan secara verbal dan fisik oleh dosen. Mereka enggan melawan. Melapor kepada pihak kampus tidak berani, ragu tidak ada yang akan memberi dukungan. Baru-baru pada bulan Februari yang lalu di Manado diberitakan kasus pelecehan seksual di Universitas Sam Ratulangi. Ironis nya pelaku-pelaku yang melakukannya ialah seorang dosen dari fakultas hukum dan fakultas ilmu sosial dan politik.

Kedua dosen tersebut tiada henti diperbincangkan masyarakat kampus, akan tetapi hanya dosen dari fakultas hukum yang berhasil dituntut. Dosen memiliki berbagai trik untuk mendekati mahasiswi lugu yang tidak tau cara melawan. Dengan adanya kuasa para ‘pendidik’, mereka tidak kenal takut dengan hukum yang berlaku.

Keempat, saya ingin menyadarkan teman-teman pembaca, bahwa kekerasan seksual ada di sekitar kita bahkan lingkungan terdekat kita. Lingkungan terdekat mana kalau bukan keluarga. Keluarga adalah rumah tempat untuk berpulang segala resah, untuk berlindung, tempat menabur kasih, dan sebagainnya.

Cukup dengan kata harmonis, keluarga tidak seindah yang kita pikirkan, KDRT dan berbagai konflik lain nya sering merusak fondasi rumah.

Kembali pada cerita, dalam proses penulisan opini ini, saya teringat curhatan teman mengenai dirinya yang pernah dilecehkan oleh saudara nya sewaktu masa beranjak remaja. Setiap kali ia melapor tindakan yang dilakukan oleh adiknya, yang ia dapati hanya nasehat dari ibu nya untuk jangan terlalu ambil hati setiap tindakan adiknya itu. “Tidak usah dipikir-pikir, dia masih anak-anak, mungkin hanya penasaran”.

Masih anak-anak, penasaran, apakah kata-kata itu akan terus dilontarkan hingga dewasa dan membentuk pola pikir baru bahwa menindas dan ‘menyentuh’ kakak perempunan nya merupakan hal yang wajar.

Lucunya ditambah lagi dengan informasi yang baru saya dapati bahwa minggu lalu di Semarang telah terjadi pemerkosaan yang dilakukukan seorang ayah kepada anaknya. Aksi pemerkosaan tersebut dilakukan hingga sang anak tewas. Maaf jika teman-teman memandang penulis ini tidak ada perasaan, mengatai kasus pemerkosaan sebagai lelucon.

Jujur sementara mengetik ocehan pikiran, hati terombang ambing dengan ketidakjelasan kehidupan. Manusia yang diberikan nalar malah membuang nya dan berubah menjadi suatu ciptaan yang patut dikasihani. Seorang ibu yang seharusnya menasehati sang adik untuk menjadi lelaki yang baik dikemudian hari dan seorang ayah yang seharusnya melindungi anak perempuannya dari segala ancaman.

Teman-teman baik laki-laki dan perempuan, berjaga-jagalah dan berani. Jangan biarkan diri kalian diperbukan oleh siapa pun. Diperbudak oleh kuasa, oleh budaya, oleh stigma, dan oleh cinta belaka. Ingat jika kalian merasa diri kalian terancam, jangan lari dari rasa takut! Lawan rasa takut itu, dan pegang erat-erat jiwa kebebasan.*

  • Bagikan