Penulis: Priska Manopo
Saya sedikit menodai secarik kertas putih dengan tinta hitam untuk melukis kembali ingatan sejarah bangsa kita tentang perempuan yang hari ini termarjinalkan oleh dominasi sistem dan cengkaraman patriarki.
Perempuan sejatinya telah melalui segala bentuk dinamika peradaban, sebagai subjek yang paling dirugikan dalam catatan peradaban, padahal sejatinya perempuan adalah aktor utama atas lahirnya sebuah peradaban dunia, manusia lahir dari selangkangan perempuan, maka tidak ada yang paling berarti dari sebuah esensi atas tubuh Kecuali selangkangan perempuan itu sendiri.
Terkadang selalu terpikirkan dalam benak seorang perempuan mengapa pola pikir yang seperti ini harus ada dalam objek pemikiran masyarakat pola pikir yang seakan akan melecehkan dan tidak menghargai perempuan, selalu dan seakan akan pergerakan perempuan di batasi dan terus terusan di dominasi, apakah mereka tidak sadar bahwa peradaban baru lahir dari seorang perempuan.
Masalahnya adalah corak perspektif paradigma berpikir masyarakat masih terbawa arus patriarki, kemiskinan dan ke tidak berpendidikan masih menjadi sumber utama atas matinya nalar kritis dalam mengilhami peradaban tentang perempuan, mereka mengamini budaya patriarki, bahkan tidak jarang nilai tersebut justru lahir dari kultur budaya suatu suku dan bahkan lahir dari sumber pembenaran atas keadilan dan pedoman hidup manusia yaitu agama.
Namun bagaimanakah kita bisa terlepas dari budaya itu sendiri jika kita saja takut untuk membuat suatu perubahan, jangan terus menerus terbawa arus budaya masa lalu sudah saatnya kita keluar dari zona berpikir yang tidak efisien yang terus terusan memandang perempuan di bawah kaca mata buram seakan akan padangan masyarakat memenjarakan perempuan dan tidak membebaskan mereka untuk membuat suatu revolusi baru dan terus terusan terjebak dalam stigma masa lalu.
Mengapa kita tidak berani keluar dari zona terdekat, lingkungan keluarga kita misalnya. Apa yang menjadi ketakutan kita? Penjustifikasian atas kebejatan moral? Penjustifikasian atas pembengkangan nilai keagamaan? Atau apakah takut akan sanksi sosial yang ada dilingkungan kita. Lantas mengapa kita tidak mampu membuat satu revolusi untuk diri sendiri dalam melawan hal tersebut. Sudah layak atau sudah pantaskah kita disebut sebagai seorang perempuan yang benar-benar merdeka?
Saya kembali mengingat catatan sejarah tentang bagaimana Kartini berjuang, begitu gigihnya ia dalam memperjuangkan emansipasi perempuan. Bagaimana ia tidak takut akan sanksi sosial, pada aturan-aturan istana. Belum lagi bentuk kolonialisme pada masa itu. Kenapa perempuan tidak mampu untuk belajar pada sejarah?
Sudah saatnya perempuan masa kini mengemansipasi diri, sebagai Kartini masa kini jangan sampai apa yang telah di perjuangkan oleh kartini menjadi mati, jangan terjebak pada stigma negatif yang tumbuh subur dilingkungan sosial kita. bangkitlah tingkatkan kapasitas dan kualitas diri perempuan, jangan terjebak pada pikiran yang sangat praktis. sudah waktunya berdiri di kaki sendiri.
Terakhir, sorotan mata mungkin tidak akan mampu melukiskan maksudmu kepadanya, saya dengan 1000 niat yang ingin saya sampaikan tidak akan mampu dipahami oleh mereka tentang bagaimana saya merdeka. Sekali lagi bahwa saya adalah perempuan yang benar-benar merdeka.*