APAKAH LAKI-LAKI BOLEH MENANGIS?

  • Bagikan
Juan Kawuwung (foto ist)

actadiurna.id – Pada bulan Juli 2022 yang lalu seorang petarung UFC menjadi viral di internet karena penghormatan pasca pertandingan yang ia berikan kepada temannya yang bunuh diri. Paddy Pimblet, atau lebih dikenal sebagai “Paddy the Baddy”, menceritakan dengan ekspresi yang emosional bahwa dia mendapatkan kabar bahwa temannya, Ricky, telah meninggal karena bunuh diri karena depresi berat sehari sebelum pertandingan yang ia menangkan. “Ada stigma di dunia ini bahwa pria tidak bisa bicara,” kata Pimblet.

Isu kesehatan mental dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang status sosial, keadaan ekonomi, maupun gender. Di Sulawesi Utara sendiri berdasarkan data yang diperoleh Tribun Manado dari Polresta Manado sepanjang tahun 2022 ada tujuh kasus bunuh diri yang terjadi, dan lima diantaranya adalah laki-laki.

Dalam kasus temannya Paddy Pimblet, depresi berat yang mengarahkan Ricky untuk bunuh diri adalah contoh realitas menyedihkan dari isu ini. Salah satu bentuk penanganan yang sebenarnya dapat dilakukan adalah dengan membagikan pengalaman atau penderitaan yang dialami dengan bercerita pada profesional, atau sekurang-kurangnya pada orang terdekat. Akan tetapi, jalan ini sering menjadi halangan khususnya bagi laki-laki yang mengalami isu kesehatan mental. Mengapa?

Kita kembali ke pertanyaan yang menjadi judul dari tulisan ini: apakah laki-laki boleh menangis? Dari sudut pandang biologis dan psikologis tentu saja laki-laki dapat menangis akibat pengalaman atau realitas sehari-hari yang dialami, terkecuali dia memiliki gangguan tertentu yang membuatnya tidak dapat menangis. Sekarang mari kita tinjau dari sudut pandang sosial. Laki-laki—khususnya di lingkungan sosial yang menganut sistem budaya patriarki—dipandang sebagai sosok yang dominan, berkuasa, mampu memimpin, tegas, mandiri, tidak cengeng, kuat, dan sifat-sifat lainnya yang mana menampilkan gambaran maskulinitas. Sedari kecil laki-laki dibentuk oleh orangtuanya untuk menjadi sosok yang demikian, berbeda dengan sosok perempuan. Laki-laki nimbole cengeng; laki-laki musti berani; musti kuat, laki-laki koman!; ah Cuma bagitu le ngana pe lebay rupa bencong; itu adalah beberapa contoh ungkapan-ungkapan yang akan sering kita temui pada orangtua dan lingkungan tempat seorang anak laki-laki tumbuh dan berkembang. Pola asuh inilah yang menjadi salah satu faktor kunci pembentuk mental laki-laki untuk selalu terlihat maskulin sebagaimana diingikan oleh masyarakatnya. Tekanan untuk selalu menjadi maskulin menjadi salah satu sumber depresi yang terjadi pada laki-laki. Fenomena ini dinamakan Toxic Masculinity.

Apa itu toxic masculinity? Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Al Faiz Alif Yudhistira dan Muhamad Afdhel Darmawan dalam “Toxic Masculinity Dalam Globalisasi Kontemporer: Studi Kasus Toxic Masculinity Di Indonesia”, toxic masculinity adalah suatu konsep psikologis yang ada didalam budaya tradisional suatu masyarakat tertentu dimana peran dan karakteristik laki-laki yang telah terkonstruksi dalam masyarakat memberikan dampak yang buruk terhadap laki-laki. Toxic masculinity dilihat dari adanya ketaatan terhadap peran gender tradisional laki-laki yang melarang laki-laki memiliki perasaan (emotion) yang sekiranya bersifat feminim—termasuk juga dengan memberikan laki-laki ekspektasi-ekspektasi tertentu seperti salah satunya—laki-laki merupakan insan yang dominan dan selalu mencari cara untuk menjadi dominan dalam masyarakat.

Menjadi laki-laki yang maskulin adalah satu tujuan yang harus selalu diusahakan oleh seorang laki-laki dalam menjalankan perannya di masyarakat.  Akan tetapi kembali kita garis bawahi, isu kesehatan mental dapat terjadi pada siapa saja. Pola pikir pada laki laki yang mengagung-agungkan maskulinitas di atas kesehatan mental sendiri adalah toxic maskulinity yang perlu disadari dan dihindari. Carl Jung, seorang tokoh Psikologi yang terkenal dalam bidangnya, menyampaikan bahwa gambaran pribadi yang ideal adalah seseorang yang mampu menyeimbangkan diri feminim serta maskulin yang ada dalam dirinya. Setiap orang memiliki sisi diri yang maskulin maupun feminim. Dalam pertumbuhannya, lingkungan membentuk dirinya untuk menampilkan satu sisi saja dan menyembunyikan yang lain. Akan tetapi untuk menjadi pribadi yang yang ideal dan sehat

dia harus belajar untuk mengenal kedua sisi yang ada dalam dirinya dan senantiasa menyeimbangkan kedua sisi itu beriringan dengan menjalankan peran-peran yang dituntut oleh masyarakat tempat dimana dia tinggal, entah dia sebagai laki-laki maupun perempuan.

Ada lagi hal menarik yang dikatakan oleh Paddy Pimblet dalam pidato kemenangannya di hari itu yang menjadi pedoman bagi kita semua dalam menghadapi toxic masculinity, “Dengar, jika kamu seorang pria dan kamu memiliki beban di pundakmu, dan kamu pikir satu-satunya cara untuk menyelesaikannya adalah dengan bunuh diri, tolong bicara dengan seseorang! Bicaralah dengan siapapun! Orang-orang lebih suka—saya tahu saya lebih suka—teman saya menangis di bahu saya dari pada pergi ke pemakamannya minggu depan. Jadi tolong, mari kita singkirkan stigma ini. Dan laki-laki, mulailah berbicara!,” ucapnya. Jika Anda adalah seorang laki-laki dan memiliki masalah yang berat dan benar-benar membutuhkan pertolongan, carilah pertolongan kepada orang lain. Carilah profesional yang tentu saja dapat menolong Anda atau sekurang-kurangnya carilah seseorang yang dapat diandalkan. Membutuhkan pertolongan dan menceritakan masalah pada orang lain tidak semata-mata menghilangkan maskulinitas pada seorang laki-laki, tapi merupakan tindakan yang menunjukkan keberanian untuk menerima diri sendiri, menerima feminitas yang ada dalam diri semua laki-laki.

Salam Body, Mind, and Spiritual.

 

Penulis : Juan Kawuwung

  • Bagikan