Penulis: Andini Choirunnisa (Pemimpin Redaksi Persma Acta Diurna 2021-2022)
Berangkat dari perjanjian mengenai hak politik perempuan, perjanjian penghapusan diskriminasi terhadap perempuan serta dengan eksisnya Undang-Undang Pemilihan Umum 2004 yang membuka jalan agar para perempuan dipertimbangkan menduduki 30% kursi wakil rakyat, artinya kedudukan perempuan di Indonesia sudah cukup kuat dikarenakan banyak ketentuan dalam undang-undang serta perlindungan yuridis padanya.
Di sisi lain, stereotip pada perempuan masih terasa kental di kalangan masyarakat. Pandangan-pandangan bahwa kemampuan kognitif laki-laki berada di atas perempuan hingga pembatasan ruang untuk perempuan berekspresi adalah bentuk diskriminasi tersirat yang masih melekat dalam pola pikir masyarakat Indonesia. Tentu, hal ini bersifat kontradiktif dengan pemenuhan hak asasi perempuan dalam hukum dan undang-undang terkait perjanjian penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Atas hal-hal yang menjadi pertimbangan di atas, maka disimpulkan bahwa kedudukan perempuan di Indonesia secara de jure memiliki perbandingan yang cukup kontras dengan kedudukannya secara de facto.
Berbicara tentang kedudukan perempuan, dalam bidang sosial, politik, ranah publik maupun domestik, perjuangan kedudukan dan pencapaian hak-hak perempuan tidak akan lepas dari gerakan feminisme.
Feminisme kerap disalah-artikan sebagai gerakan memisahkan diri dari lelaki dan hanya mengurusi tentang maskulinitas toksik saja. Nyatanya, yang diperjuangkan feminis bukanlah sebatas mengurusi maskulinitas toksik saja, hal itu terlalu partikular untuk gerakan feminis yang sifatnya luas. Mulai dari mendobrak struktur budaya misogini lewat pena seperti Christine de Pizan, hingga feminisme kontemporer yang menghasilkan banyak Social Justice Warrior (SJW) yang responsif mengawal isu sosial lewat media.
Feminisme bukanlah ideologi yang mengajarkan tindakan supremasi perempuan habis-habisan dan menjatuhkan laki-laki, bukan juga ajaran yang menganjurkan menjauhi laki-laki, menjadi aromantis atau menjadi lesbian. Itu semua hanya stereotip sebagai kalimat defensif untuk melindungi maskulinitas rapuh para manusia yang krisis jati diri. Padahal, ketidaksetaraan intelektual tidak disebabkan oleh faktor bawaan, melainkan karena faktor pendidikan atau pengasuhan.
Di Indonesia, tombak perjuangan feminisme bersifat pragmatis dan pendekatannya lebih realistis, tidak semata-mata memperjuangkan hal-hal teoretis yang struktural. Tuntutan yang digaungkan feminisme Indonesia bersifat moderat; hal-hal yang diperjuangkan lebih kepada penyeimbangan status sosial dan penyamarataan hak dimana tidak ada lagi stigma yang mengorganisir pergerakan perempuan hanya sebatas di dapur, kasur dan sumur.
Perjuangan feminisme di Indonesia juga tidak terlepas dari keinginan besar untuk dihapuskannya pola pikir menginjak surga bagi perempuan yang menetap di titik subordinat dan harus taat dan tunduk pada suami. Sayangnya, banyak orang yang sudah terhipnotis akan ajaran-ajaran pengkhotbah yang misogini seperti itu. Bermodalkan retorika dan nada tinggi, orang-orang polos dengan mudah mengamini ajaran “mengeksploitasi perempuan” untuk memenangkan maskulinitas rapuh dan ketidakberdayaan kontrol seksualnya.
Hal ini bukanlah tanpa dasar. Sejak dulu, entah kaum penguasa profan maupun religius, mereka berpoligami dengan berbagai alasan. Maka perempuan yang masih terikat oleh aturan tersirat budaya patriarki, akan di-dewitololkan suaminya dan akhirnya menjadi ‘burung dalam sangkar’ yang tunduk akan ketertindasan. Merekalah korban dari patriarki itu.
Ada pula kasus Herry Irawan yang melakukan tindak kekerasan seksual pada belasan santriwati. Memanfaatkan penggunaan simbol agama dan lembaga pendidikan sebagai alat untuk memanipulasi perbuatannya, hingga korban pun terperdaya.
Namun, berbicara tentang kekerasan seksual, tentu hal ini tidak bisa kita gambarkan bahwa hanya laki-laki yang menjadi pelaku. Kekerasan seksual bisa saja terjadi pada perempuan, laki-laki, bahkan queer. Orang-orang dengan maskulinitas rapuh cenderung menolak bahwa faktanya, ada laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan dan pelakunya adalah perempuan. Teori “fenomena gunung es” tidak hanya berlaku pada kasus kekerasan seksual pada perempuan saja, namun pada korban laki-laki juga. Budaya patriarki yang menekankan posisi laki-laki harus superior dan perempuan adalah inferior, malah menjadi beban pula bagi para lelaki yang menganutnya. Mereka ditekan dengan kalimat seperti “laki-laki tidak boleh menangis”, “laki-laki harus bekerja keras”, “laki-laki harus tangguh dan berani”. Justru, mereka pula yang menjadi korban akan ketertindasan struktural ini.
Sementara, perempuan tidak perawan, berpakaian pendek, dan yang merokok, dalam pola pikir budaya patriarki di Indonesia adalah perempuan bercela. Perempuan janda karena diselingkuhi suami, artinya si perempuan yang gagal menata rumah tangga, tidak menjaga penampilan hingga gagal menjaga suaminya. Kembali lagi, mereka adalah korban dari budaya patriarki itu.
Seharusnya kita tidak membedakan manusia secara komprehensif hanya berdasarkan stereotip saja. Tolok ukur apakah seseorang gagal menjadi manusia atau berhasil itu tidak dilihat dari identitas seks mereka melainkan dilihat dari esensinya sebagai manusia dan tindakannya dalam memperlakukan manusia lain.*