INDONESIA merupakan negara kesatuan yang menganut sistem demokrasi dalam pemerintahannya, maksudnya adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Indonesia sudah semakin dewasa dalam melakukan pemilihan umum dan hebat dalam mengembangkan sistem yang dapat membuat Pemilu sesuai pada prinsipnya, seperti sistem elektronik yang siap digunakan jelang Pemilu 2024.
Untuk membahas perkembangan Sistem Pemilu yang ada sekarang kita perlu meniti sejarah Pemilu di Indonesia.
Sejarah Pemilihan Umum di Indonesia
Indonesia telah melakukan pemilihan umum sejak tahun 1955. Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang berhasil dilaksanakan secara demokratis walaupun masih dengan cara tradisional seperti yang dilakukan di Athena (Pemilu di Zaman Yunani Kuno), pemilihan umum itu dilaksanakan sebagai sarana politik yang berasal dari, oleh, dan untuk rakyat dan menjadi pedoman bagi pelaksanaan Pemilu selanjutnya.
Sedikit membuka kembali catatan sejarah Pemilu, pemilihan umum 1955 merupakan Pemilu yang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang digelar secara nasional.
Waktu itu Republik Indonesia berusia 10 tahun. Dan sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah waktu itu sudah menyatakan keinginannya untuk bisa menyelenggarakan Pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945.
Maklumat tersebut menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR, dan akan diselenggarakan bulan Januari 1946. Kemudian ternyata Pemilu pertama tersebut baru terselenggara hampir sepuluh tahun,
Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Yang terjadi pada tahun 1955 sudah tidak lagi seperti apa yang tercantum dalam Maklumat Wakil Presiden, Mohammad Hatta. Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, bukan yang dilanjutkan untuk memilih dewan Konstituante, (melansir laman Wikipedia; “Konstituante Republik Indonesia adalah sebuah dewan perwakilan yang bertugas untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstituante dipilih dalam sebuah pemilihan umum pada bulan Desember 1955.”)
Menurut saya, keterlambatan dan “penyimpangan” tersebut bukan tanpa sebab. Ada kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari faktor luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam, antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan Pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan Pemilu, yang seperti saat ini kita berpegang pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maupun akibat rendahnya stabilitas keamanan negara, hingga penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan. Tapi dengan segala kekurangan yang ada, Pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur dan adil serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.
Pemilu Terakhir di Indonesia
Pemilihan umum terakhir yang dilakukan di Indonesia adalah Pemilu serentak pada 17 April 2019 berlangsung relatif lancar, aman, dan damai. Sebagai sebuah kompetisi demokratis, secara umum proses pemilu serentak yang baru pertama kali diselenggarakan tersebut dapat dikatakan berlangsung secara relatif bebas, demokratis, fair, dan jujur. Mengacu pada standar internasional penyelenggaraan Pemilu, Pemilu Serentak 2019 dapat dikatakan memenuhi hampir semua standar yang diperlukan untuk terselenggaranya Pemilu yang sempurna.
Pada Pemilu 2019 yang mana perkembangan teknologi sudah tidak dapat diragukan lagi, sehingga para kontestan mampu membuat kewalahan Bawaslu untuk mengawasi jalannya Pemilu di tahun itu. Teknikalitas penyelenggaraan kampanye pada pemilu serentak tahun 2019 perlu diberikan catatan khusus dimana ada alat peraga kampanye yang difasilitasi pengadaannya oleh KPU dan partai politik hanya memasangnya ditempat-tempat yang telah ditentukan tetapi yang tidak diduga adalah permainan kampanye uang dilakukan secara online melalui media sosial. Permasalahan lapangan yang muncul lebih banyak terkait kampanye di media sosial dan munculnya pertarungan politik identitas.
Dalam kampanye di media sosial, metode yang digunakan dapat berupa E-mail, Website, Podcast, Twitter, Facebook, Instagram, hingga Tiktok membuat elektabilitas calon bisa panas-dingin.
Keberagaman metode kekinian ini, memunculkan tantangan tersendiri dalam meregulasikannya maupun untuk mengawasi penggunaannya.
Momentum kampanye yang idealnya diisi dengan hal-hal substansi maupun pertarungan ide dan gagasan antar kandidat serta timnya, untuk mencerdaskan warga negara dalam menentukan pilihan yang tepat. Namun faktanya dalam masa kampanye yang panjang ini, para kandidat maupun tim kampanye menggunakan berbagai cara untuk kampanye. Hal inilah yang menyebabkan kampanye sangat beragam praktiknya.
Persiapan Lembaga Penyelenggara Pemilu Menuju Pemilu 2024
Pada tanggal tulisan ini diterbitkan, tersisa 1 tahun, 365 hari, 8.766 jam, 525.960 menit, 31.557.600 detik hingga hari yang dinanti-nantikan seluruh masyarakat Indonesia tiba. Masyarakat Indonesia selalu melekat dengan namanya Politik, karena masyarakat Indonesia pada sejarahnya sudah diperhadapkan dengan kondisi; ‘kolonialisasi’. Pelajaran sejarah yang didapati sejak kelas satu SMP pradigma masyarakat Indonesia selalu berpikir tentang kondisi negaranya, dan intisari dari kata “Politik” ialah pengetahuan kenegaraan.
Manusia selalu mencari apa yang ia inginkan. Dalam dunia biologi-psikologis pun mengatakan bahwa manusia pada saat bayi menangis untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Dan dengan teknologi yang berkembang pesat seperti sekarang, akan memudahkan manusia untuk melakukan hingga mendapatkan apa yang ia inginkan.
Badan Pengawasan Pemilihan Pemilu (Bawaslu) telah mengeluarkan IKR atau Indeks Kerawanan Pemilu untuk menakar situasi Pemilu di tahun 2024. Dari pihak akademisi pun banyak melakukan kajian untuk memitigasi kerawanan Pemilu yang akan terjadi.
Bawaslu perlu melakukan langkah mitigasi yang difokuskan ke badan Ad-Hoc Bawaslu yaitu Panwaslu Kecamatan & Kelurahan hingga partisipasi masyarakat karena yang akan menjadi ujung tombak pengawasan Pemilu 2024. Bawaslu juga perlu melakukan pelatihan-pelatihan masyarakat untuk mengedukasi dan memberikan ilmu pengawasan Pemilu seperti kutipan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi yang aktif mengkaji kepemiluan, Dr. Ferry Daud Liando dalam giat; Pelatihan Mitigasi Kerawanan Pemilu Untuk Penguatan Pengawasan Partisipatif di Provinsi Sulawesi Utara yang selenggarakan Bawaslu Provinsi Sulawesi Utara pada tanggal 13 September 2022 mengatakan; “Kita tidak bisa menghentikan bencana alam, tapi kita bisa mengurangi dampak yang akan terjadi. Itulah gunanya langkah mitigasi.”
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memaksimalkan tahapan Pemilu dengan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Beberapa sistem elektronik yang dikembangkan KPU untuk menunjang kerja-kerja KPU dalam mensukseskan Pemilu 2024:
- Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) yang digunakan untuk proses pendaftaran partai politik di Pemilu 2024;
- Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) yang berguna untuk proses kampanye;
- Sistem Informasi Daerah Pemilihan (Sidapil), yang kini masih dalam masa pengembangan dan maksimalisasi;
- Sistem Informasi Pencalonan (Silon), untuk digunakan pada tahan pencalonan mendatang;
- Sistem Rekapitulasi Elektronik (Sirekap), untuk proses rekapitulasi selama pemilu berlangsung;
- Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Ad-Hoc (Siakba) untuk seluruh jajaran KPU Pusat, KPU Daerah, KPU Kabupaten/Kota hingga badan ad-hoc KPU;
- Sistem Informasi Logistik dan Distribusi Pemilu (Silog) untuk pencatatan distribusi logistik Pemilu;
- Sistem Data Pemilih (Sidalih) yang digunakan untuk melakukan pengecekan data pemilih;
- dan yang terakhir adalah Aplikasi e-Coklit, untuk melakukan tahapan Pencocokan dan Penelitian yang akan digunakan Pantarlih dalam pemutakhiran data pemilih.
Perkembangan teknologi yang dimanfaatkan dan dimaksimalkan oleh penyelenggara pemilu sudah sangat luar biasa. Tapi perlu menjadi perhatian, bahwa aktivitas online pasti akan meninggalkan jejak digital atau yang namanya mono-data (data terkecil yang pasti tertinggal dalam sebuah sistem online) dan ketika data itu bisa diretas oleh peretas maka tentulah Pemilu 2024 sudah tidak lagi berada pada azas Pemilu, khususnya azas rahasia.
Tapi jika sistem perlindungan KPU atau yang dikenal dengan ‘Firewall’ untuk menjaga data rahasia berhasil dimaksimalkan hingga tidak ada yang bisa meretas, mungkinkah e-voting akan terjadi?
Ayo sukseskan Pemilu 2024 dengan turut memberi diri dalam setiap tahapan Pemilu yang sedang dan akan dilakukan.
Oleh: Jeremiah F. Kaligis