Putusan Hakim VS. Opini Publik: Drama Proses Peradilan Pembunuhan Brigadir J

  • Bagikan
Ferdy Sambo (sumber: Google https://images.app.goo.gl/qGVmr7ApB9TmsTRCA)

A. PENDAHULUAN

            Selama tiga bulan terakhir berita nasional sibuk mempersoalkan Drama pembunuhan polisi oleh polisi yang menyita perhatian bukan kalangan internal saja melainkan juga dari pihak eksternal domestik dan pers negara lain. Setelah melalui proses penyelidikan-penyidikan oleh Aparat Penegak Hukum,  Kasus Ferdy Sambo alias FS diduga merupakan tindak pidana pembunuhan, direncanakan (Pasal 340 KUHP) atau tidak direncanakan (Psl 338 KUHP); dan dalam proses penuntutan Jaksa Penuntut Umum-pun mendakwa FS dkk dengan Pasal 340 KUHP dakwaan primair dan Pasal 338 KUHP, dengan dakwaan Subsider disertai Pasal 55 ayat ke 1 sub 1 KUHP, mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan. Setelah melalui proses peradilan yang alot akhirnya sampailah kita dalam putusan hakim, yang mana para terdakwa mendapat vonis ultra petita atau melebihi tuntutan jaksa penuntut  umum, FS yang dituntut seumur hidup oleh JPU akhirnya divonis hukuman mati, istri FS Putri Candrawathi (PC) yang dituntut pidana penjara 8 tahun akhirnya divonis pidana penjara 20 tahun, sama halnya dengan terdakwa Ricky Rizal (RR) dituntut pidana penjara 8 tahun akhirnya divonis pidana penjara 13 tahun, dan demikian jugan dengan terdakwa Kuat Ma’ruf yang dituntut 8 tahun pidana penjara malah divonis hakim 15 tahun penjara, sedangkan bagi Richard Eliezer yang merupakan eksekutor dalam rangkaian tindak pidana yang juga sekaligus orang yang mengajukan diri sebagai justice collaborator awalnya di tuntut pidana penjara 12 tahun, malah divonis hakim jauh dari angka tersebut yaitu 1 tahun 6 bulan.

Hasil putusan hakim diakhir tingkat pertama drama persidangan polisi membunuh polisi ini mendapatkan pro-kontra dari masyarakat Indonesia, khususnya putusan bagi FS dan RE, ada yang beranggapan bahwa FS seharusnya cukup dihukum pidana penjara seumur hidup, dan ada yang beranggapan bahwa hukuman bagi RE seharusnya pantas dihargai lebih berat daripada putusan hakim, selanjutnya tak berhenti sampai disitu sempat juga hangat perdebatan mengenai anggapan bahwa Majelis Hakim dalam perkara ini tidak independen dengan terpengaruh giringan-giringan opini publik sehingga hanya memvonis ringan RE, contohnya komentar yang dilontarkan oleh Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun ia beranggapan bahwa: ”vonis terhadap RE ini janggal dan kontroversial”. Gayus khawatir putusan hakim dipengaruhi opini publik.  Gayus mengatakan bahwa putusan yang diberikan kepada RE termasuk putusan yang janggal dan kontroversial. “Hukum menyangkut putusan ini memang agak janggal. Kita cari tahu persoalan janggalnya di mana. Kenapa ada keragu-raguan, ada putusan yang agak kontroversial begini,” tutur Gayus.  Selain tekanan yang diterima oleh hakim. Salah satunya, pernah adanya surat yang dilayangkan kepada hakim ketua yang meminta RE dihukum ringan. “Kemungkinan mudah-mudahan tidak ya. Hakim harus mandiri,” tambah Gayus. Selain itu, kejadian mengenai adanya video pertemuan hakim ketua yang membicarakan mengenai putusan vonis yang sempat beredar di jagat maya.

Hal Pro-kontra diatas-lah yang perlu dijawab dan dijelaskan sehingga bisa memberi penerangan dalam kalang masyarakat awam terkait putusan hakim ini, sehingga bisa keresahan dalam rasa penasaran masyarakat bisa terjawab.

 

B. LEGAL JUSTICE VS. SOCIAL JUSTICE

Belakangan ini negara indonesia telah dihadapkan dengan persoalan keputusan hakim terhadap Richard elizer pudihang lumiu (RE) yang mulanya dituntut oleh jaksa penuntut umum penjara 12 tahun hingga akhirnya di jatuhi putusan oleh Majelis hakim 1 Tahun 6 bulan penjara hal tersebut mendapat perhatian khusus terutama bagi para pemerhati hukum yang sudah mengikuti alur dari kasus tersebut selain itu, kontroversi putusan tersebut juga menarik perhatian masyarakat karena pada dasarnya masih banyak dari mereka yang tidak percaya dan kontra terhadap putusan 1 tahun 6 bulan penjara tersebut. Mengacu pada reaksi masyarakat tersebut ternyata sebagiannya menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim, bahkan tak sedikit dari masyarakat menerima dengan hati yang tulus (pro) terhadap vonis yang telah dijatuhkan oleh hakim. Karena pada dasarnya dalam persidangan walaupun Richard elizer termasuk salah satu pelaku pembunuhan berencana, ia telah berdiri dimuka persidangan dengan upaya mempermudah jalannya persidangan dengan membantu hakim dan memberikan bukti beserta keterangan yang benar tanpa adanya indikasi kebohongan (Juctice Collabolator). Namun ketidakpuasan lahir dari masyarakat karena pada dasarnya tindakan pembunuhan berencana yang dilakukan terdakwa tidaklah relevan dengan hukuman yang diberikan hakim, terlepas dari dia bukanlah pelaku utama serta telah membantu jalannya persidangan dengan memberikan keterangan yang benar.

Secara prinsipal peran Hakim sebagai penegak keadilan haruslah dihormati hal tersebut dapat dilakukan dengan menghargai  atas keputusan yang dibuat, tidak hanya itu dalam negara hukum (Rechstaat) kapabilitas, kredibelitas dan integritas Hakim haruslah di barengi dengan mengakomodir nilai-nilai moral pada masyarakat. Hal ini sangat di perlukan agar terkorelasinya tujuan hukum yang bertumpu pada keadilan, kepastian dan kemanfaatan, namun bila mana kita berkaca pada hukum yang tak hanya bersifat mengikat dan mengikuti perkembangan zaman (dinamis) akan lahir perbedaan persepsi terhadap kebijakan dan keputusan yang diberikan.

Nyatanya bila kita melihat dakwaan serta tuntutan yang diberikan Jaksa penuntut umum terhadap RE tidak ditemukannya satu persepsi secara keseluruhan yang hadir dimasyarakat namun lebih dari itu artiannya perbedaan pendapat berimplikasi terhadap eksistensi keadilan yang sebenar-benarnya. Hal ini yang kemudian membuat Hakim dilema dan terjebak dalam keharusan untuk memilih manakah yang relevan diterapkan apakah keadilan hukum (legal juctice) atau keadilan sosial (Social juctice). Sehingga dengan lahirnya putusan Hakim masih saja didapati ketidakpuasan dalam menyikapi keputusan yang diberikan hingga menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, karena pada umumnya ada sebagian masyarakat lebih memilih keadilan sosial (Social Juctice) yang patutlah dikedepankan namun ada juga yang berpatokan kepada keadilan hukum (Legal juctice) yang sangatlah relevan untuk di kedepankan. Hal inilah yang hingga akhirnya menyebabkan independensi Hakim sebagai penjunjung asas keadilan seolah disalahkan. Namun berkaitan dengan hal tersebut harus ada keputusan yang patutlah dihormati dan dihargai sebagai representasi dari keadilan itu sendiri hal ini akan terupaya dengan putusan Hakim di pengadilan, untuk itu terlepas dari suatu tindak pidana yang membuat keresahan di tengah masyarakat. Adil tidak adil putusan yang diberikan sebenarnya tergantung dari persepsi mana kita melihat serta gagasan berfikir mana yang dipakai.

Dalam konteks realitas hukum, secara normatif prinsip persamaan dimuka hukum (Equality before the law) secara tidak langsung telah mengedepankan keadilan, hanya saja menurut hemat penulis tolak ukur keadilan begitu abstrak dan sangatlah relatif intinya selama tidak merugikan masyarakat umum dan mengedepankan kesamaan dan tanpa tebang pilih adalah hal yang patut diapresiasi. Hans kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya. Intinya selama hukum dapat mengandung nilai-nilai sosial serta moral pada masyarakat  esensi keadilan akan nampak dengan sendirinya.

Beranjak dari realita keadilan, Dalam ilmu hukum terdapat keadilan hukum (Legal juctice) dan keadilan sosial (Social juctice). Secara prinsip sebagai sarana untuk menjamin keadilan Hakim patut memberi keputusan yang merepresentasikan atau mengakomodir kedua hal tersebut. Sebagai contoh apakah hasil dari putusan yang diberikan sudah sesuai prosedural ketentuan perundang-undangan yang berlaku ataukah bertolak belakakang, adapun untuk keadilan hukum sendiri diartikan keadilan berdasarkan undang-undang  yang dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Sedangkan keadilan sosial merupakan suatu keputusan yang dapat menjamin serta mengakomodir kesejahteraan dalam masyarakat. Berkaca pada vonis yang diberikan Jaksa penuntut umum terhadap RE tuntutan 12 tahun penjara merepresentasikan keadilan hukum (Legal juctice) sebagai suatu hal yang patut dihormati, namun dengan adanya perbedaan paradigma yang lahir dipengadilan nyatanya putusan hakim 1 tahun 6 bulan juga patutlah dihargai karena disini hakim lebih memilih mengedepankan keadilan sosial (Sosial juctice) sebagai suatu keputusan yang bijak. Sehingga implikasi yang didapat dari hasil keputusan terhadap RE nampak seperti dua sisi koin yang saling berbenturan dan tidak menonjol satu sama lain.

Menurut hemat penulis social justice seyogyanya tak kalah penting dengan Legal juctice untuk dijadikan patokan hakim dalam memberi putusan, Selain itu dua makna keadilan ini mengandung gaps yang sering dimaknai sebagai ketidakadilan oleh masyarakat. Untuk mempersempit gaps tersebut, esensi keadilan dapat dikembalikan pada pancasila. Apakah keadilan yang dimaksud oleh pancasila adalah keadilan hukum positif ataukah keadilan sosial? Berdasarkan semantika hukum, maka keadilan yang seharusnya disajikan lembaga peradilan adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, jadi bukanlah legal juctice.

C. MEMOSISIKAN HUBUNGAN OPINI PUBLIK TERHADAP KEYAKINAN HAKIM

Pada saat berjalannya suatu proses peradilan perkara pidana, apalagi suatu perkara yang menjadi atensi utama publik seperti Drama polisi menembak polisi, terjangan Opini publik tak bisa dielakkan. Sebab harus diakui, bahwa opini publik yang mewarnai suatu perkara merupakan cerminan daya kritis publik terhadap hukum. Daya kritis dan hak berpendapat publik terhadap putusan pengadilan tak boleh dibunuh. Pertanyaan yang sering terlontar dari mulut masyarakat pasca putusan hakim terhadap para terdakwa di Drama FS ini, yaitu apakah dalam putusan pemidanaan para terdakwa khususnya yang menjadi sorotan yaitu terdakwa Ferdy Sambo alias FS, dan Richard Eliezer alias RE, yang mana hampir seluruh masyarakat membela RE dan malah mendiskreditkan FS cs dalam kasus ini (trial by the press) dapat terpengaruh oleh giringan opini publik?

Pada dasarnya dalam proses Hakim membuat serta mengeluarkan Putusan terhadap suatu Perkara Pidana mempunyai syarat mutlak (conditio sine qua non) yaitu harus Independen dan Imparsial yang merupakan manifestasi dari Pasal 24 UUD dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman serta dapat menggali nilai-nilai keadilan di tengah-tengah masyarakat. Lantas bagaiamana Hakim dapat menyeimbangkan antara rasa keadilan masyarakat (social justice) yang digambarkan lewat opini publik dan keadilan materiil (legal justice). Jika mengacu dari prinsip sistem Pembuktian di dalam Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dalam hal ini sebagaimana yang tertera dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa beserta Keyakinan Hakim terhadap eksistensi alat bukti (negatief wettelijke bewijs theorie). Konsep keyakinan hakim yang berdasarkan doktrin Teori Pembuktian terbagi 2, yaitu: Keyakinan Hakim yang timbul dari hati nurani dan kebijaksanaan (conviction intime) serta Keyakinan Hakim yang timbul dari Rasionalisasi (conviction rasionee). Menurut penulis pintu masuk Hakim terpengaruh oleh Opini Publik yaitu melalui conviction intime, karena tak bisa dipungkiri bahwa seorang Hakim tetaplah mahluk sosial yang tak bisa menutup diri secara total atau menjauhkan diri dari interaksi sosial, apalagi jika melihat atensi serta opini publik yang merupakan terhadap para terdakwa di kasus FS ini yang dianggap sebagai social justice, sehingga pasti utamanya mempengaruhi sisi kebatinan Majelis Hakim dalam hal memutus hukuman bagi para terdakwa di Drama FS ini, pada akhirnya saat Hakim telah mengeluarkan putusan terhadap para terdakwa khususnya di perkara ini, putusan itu harus dianggap benar (res judicata proveritate habetur) yang tidak bisa dipersalahkan, kecuali lewat upaya hukum yang dimungkinkan menurut undang-undang di tingkat banding, kasasi dan Peninjauan Kembali. Artinya berbagai ketidakprofesionalitasan suatu putusan hakim hanya dapat dinilai oleh pengadilan tingkat di atasnya bukan pihak lain, tapi Jika terdapat indikasi hakim dalam memutus perkara sarat muatan korupsi, kolusi dan nepotisme termasuk adanya tendensi putusan dipengaruhi oleh hal-hal yang mengganggu independensi seorang hakim, ini yang dinamakan salah satu pelanggaran kode etik perilaku hakim yang menjadi tugas dan tanggung jawab Lembaga Negara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk memeriksa serta memberi sanksi terhadap hakim tersebut. Akan tetapi, terhadap putusan yang sudah diucapkan bukan berarti menjadikan “batal demi hukum”, yang berwenang “menganulir” putusan tersebut hanyalah melalui upaya hukum banding, kasasi atau Peninjauan Kembali

Pertanyaan selanjutnya manakah yang pantas dikatakan Hakim yang baik, apakah Hakim yang mengutamakan opini publik yang dianggap sebagai Social Justice atau Hakim yang mengutamakan Legal Justice? Karena ada kalanya dalam tataran praktik Social Justice sering bertentangan dengan Legal Justice. Rasa Dilema ini-pun pasti menghampiri para Majelis Hakim dalam memutus Perkara Drama FS ini. Sebenarnya kalau berbicara mengenai mana Hakim yang baik, menurut Bagir Manan ialah Hakim yang memutus suatu perkara berdasarkan tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat, alasan-alasan, dan pertimbangan-pertimbangan, baik hukum maupun non-hukum, yang juga kuat untuk memuaskan para pencari keadilan, pernyataan itulah yang membuat penulis berpendapat bahwa sederhananya Hakim yang baik yaitu hakim yang mampu menyeimbangkan Legal Justice serta Social Justice untuk mencapai Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan tanpa lari dari koridor aturan, teori, doktrin serta fakta persidangan yang ada.

Terlepas dari pro-kontra para pihak mengenai putusan Majelis Hakim terhadap para terdakwa, penulis mengapresiasi putusan-putusan oleh daripada Majelis Hakim bagi para terdakwa di Perkara ini, karena dengan usaha keras telah mempertimbangkan dengan baik unsur keyakinan kebatinan serta rasionalisasi terhadap Alat-alat bukti serta fakta persidangan yang ada, sehingga dengan boleh lahirnya putusan yang progresif-responsif denga mencoba menyeimbangkan antara social justice dan legal justice.

 D. KESIMPULAN

            Berangkat dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebenarnya hakim yang terikat dalam objektifitas untuk memutus juga terikat dalam elemen subjektiftas yaitu keyakinan hakim itu sendiri, jadi Opini Publik secara tidak langsung dapat mempengaruhi Keyakinan Hakim yang mana berpengaruh pula dalam hakim bermusyawarah membuat putusan, dan itu merupakan hal sah-sah saja karena dalam proses peradilan apalagi dalam hal memut, karena pada akhirnya saat Hakim telah mengeluarkan putusan terhadap para terdakwa khususnya di perkara ini, putusan itu harus dianggap benar (res judicata proveritate habetur) yang tidak bisa dipersalahkan, kecuali lewat upaya hukum yang dimungkinkan menurut undang-undang di tingkat banding, kasasi dan Peninjauan Kembali. Artinya berbagai ketidakprofesionalitasan suatu putusan hakim hanya dapat dinilai oleh pengadilan tingkat di atasnya bukan pihak lain, kecuali Jika terdapat indikasi hakim telah melakukan praktik kecurangan.

Karena keyakinan hakim secara tidak langsung dapat dipengaruhi opini publik yang dikatakan sebgau social justice, dapat disimpulkan juga Hakim dalam memutus perkara harus mampu adil, independen dan imparsial dengan menyeimbangkan Legal justice dan Social justice, karena sudah menjaditm tugas hakim untuk menegakkan hukum (undang-undang) tak lupa juga menggali nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat sehingga boleh tercapainya tujuan hukum yaitu: keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

 

Oleh : Jovano Apituley, Muhammad Farhan Umar, dan Vitto Manusu

 

  • Bagikan