Penulis: Pascal W.Y.Toloh (Mahasiswa Magister Hukum FH UGM)
Tren negatif praktik ketatanegaraan kembali terjadi pada Kasus pemberhentian Hakim Aswanto oleh DPR RI pada Sidang Paripurna Kamis, 29 September 2022. Disebutkan oleh Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul bahwa pemberhentian Aswanto terkait dengan kinerjanya yang mengecewakan DPR RI, dikarenakan setiap hasil legislasi DPR kerap dianulir oleh hakim MK, dan salah satu yang kerap menganulir produk hukum DPR adalah Hakim Konstitusi Aswanto. Narasi yang dibangun oleh DPR ialah karena Aswanto merupakan hakim MK yang diusulkan DPR, maka seharusnya setiap hakim MK yang dipilih oleh DPR memiliki komitmen terhadap produk hukum yang dibuat DPR. Sehingga, DPR mengambil keputusan politik memberhentikan Aswanto dan mengangkat Guntur Hamzah yang kini menjabat sebagai Sekjen MK. Landasan hukum yang digunakan DPR sendiri ialah tindak lanjut dari surat MK yang isinya pemberitahuan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tentang Uji Materi Pasal 87 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK). Padahal, redaksi surat MK tersebut bukan meminta untuk penggantian hakim, namun hanya mengkonfirmasi kepada Lembaga-lembaga yang berwenang mengenai masa jabatan Hakim MK.
Independensi Peradilan dan Demokrasi Konstitusional
Konsep negara hukum yang demokratis merupakan konsekuensi apabila prinsip demokrasi dan nomokrasi dianut secara bersama-sama. Konsepsi tersebut bersumber dari prinsip kedaulatan yang dianut UUD NRI 1945 yakni kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum. Secara eksplisit prinsip tersebut termaktub dalam alinea 4 UUD NRI 1945, “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susuan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…” serta ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum sehingga secara sederhana disebut sebagai negara demokrasi konstitusional. Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam hal ini adalah tatanan norma yang sesuai dan berpuncak pada Konstitusi UUD NRI 1945.
Janedjri M. Gaffar mengemukakan bahwa dalam konteks penyelenggaraan negara setidaknya ada tiga aspek utama yang merupakan pelaksanaan konsep negara demokrasi konstitusional, yakni penataan hubungan antarlembaga negara, proses legislasi, dan judicial review. Mekanisme judicial review merupakan instrumen untuk mengawal dan menjamin manifestasi demokrasi konstitusional dan merupakan mekanisme untuk menyangga supremasi konstitusi sebagai syarat utama konsepsi negara yang berbasis demokrasi konstitusional. Pemikiran adanya negara demokrasi yang berdasarkan hukum (democratische reschtstaat) dijalankan melalui mekanisme judicial review yang secara mutlak melahirkan lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung, yang berwenang menjalankan mekanisme judicial review.
Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, secara historis Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan semangat independensi peradilan (independent judiciary), eksistensi kekuasaan kehakiman pada UUD 1945 sebelum amandemen secara substantif-teoritis melekat prinsip bebas dan merdeka seperti yang dicantumkan pada Pasal 24 UUD 1945 beserta penjelasannya. Kemudian ketika reformasi UUD 1945, keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman dilandaskan pada Pasal 24 ayat (2). Sebagai mana yang termaktub pada Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Penegasan norma Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 tidak dapat dilepaskan dari makna hakiki kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah syarat mutlak bagi negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democratic state). Oleh karena itu sejak awal pemikiran tentang negara hukum, yang dalam perjalanannya berkembangan ajaran pemisahan kekuasaan yang oleh Montesquieu disebut trias politica bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen diberi penekanan tersendiri.
Masih pada pemikiran Montesquieu yang menekankan, pentingnya kekuasaan kehakiman yang merdeka, terbebas dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya karena cabang kekuasaan kehakiman merupakan titik konfrontasi paling langsung antara pemerintah, hukum dan individu atau orang perorangan dank arena itu cabang kekuasaan yudikatif adalah bekerja sebagai pembendung utama tindakan pemerintah yang mengabaikan hukum. Sejalan dengan itu, ide dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi harus diberikan jaminan kemerdekaan dan bebas dari intervensi kekuasaan lain karena kewenangan Mahkamah Konstitusi yang bersentuhan langsung dengan proses dan hasil-kerja lembaga politik. Sehingga karena sangat bersentuhan kental dengan proses politik, maka dalam penalaran yang wajar Mahkamah Konstitusi disebut sebagai ‘Mahkamah Politik’ atau “Political Court”.
Independensi peradilan merupakan salah satu ciri negara hukum moderen, oleh “The International Commission of Jurist” pada konferensi Bangkok Tahun 1965, prinsip-prinsip Negara Hukum selain yang dikembangkan oleh Julius Stahl dan A.V. Dicey ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The International Commission of Jurists itu adalah Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati hak-hak individu dan Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Menurut Oemar Seno Adji Suatu pengadilan yang bebas dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia “subordinated”, terikat pada hukum.”Ide dasar yang berkembang secara universal perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak, “freedom and impartial judiciary” yang menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai gagasan yang bersifat “universal”.
Eksistensi Independensi Peradilan dan Intervensi Politik
Sebagai prinsip universal dan telah diadopsi dalam konstitusi Indonesia, tidak membuat lembaga legislatif seperti DPR untuk patuh dan taat, melainkan melakukan tindakan constitutional disobedience atau pembangkangan konstitusi dengan memberhentikan hakim konstitusi Aswanto serta mengangkat Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah sebagai penggantinya secara sepihak, bahwa ketua argumen dari ketua komisi III pun menyatakan hal tersebut merupakan keputusan politik lantaran hakim Aswanto kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR.
Dari aspek konstitusional, pengisian jabatan hakim MK melalui mekanisme pengajuan oleh tiga cabang kekuasaan Presiden, DPR dan Mahkamah Agung sesuai Pasal 24C ayat (3) tidak dimaknai untuk mewakili kepentingan masing-masing institusi, sebab menurut Jimly Ashidiqqie dengan tafsir gramatikal Pasal 24C ayat (3)…sembilan orang hakim yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh…” frasa “diajukan” dan “oleh” dimaknai bahwa pengusul hakim konstitusi tidak serta merta dapat mengontrol hakim konstitusi yang diajukan, kecuali frasa yang digunakan adalah “dari atau berasal’ maka dapat dimaknai lembaga pengusul memiliki legitimasi untuk mengontrol tugas dan fungsi hakim yang diajukan.
Kemudian Secara yuridis tindakan tersebut jauh dari keabsahan yang dikehendaki oleh hukum dalam hal ini Undang-Undang Mahkamah konstitusi, Ketentuan dala Pasal 23 ayat 4 UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa pemberhentian hakim MK hanya dapat dilakukan melalui Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi, dengan alasan yang ditetapkan sesuai Pasal 23 ayat 1 dan 2 UU MK. Pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan diantaranya karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani. Adapun pemberhentian secara tidak hormat dilakukan apabila hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan inkracht pengadilan, melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat MK memberi putusan, rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, serta melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Selain itu tindakan sepihak DPR tesebut tidak sesuai dengan persyaratan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 20 bahwa dipersyaratkan adanya (i) transparansi, dan (ii) partisipasi (maksudnya partisipasi publik) dalam proses pencalonan, dan adanya (iii) objektifitas, dan (iv) akuntabilitas dalam proses pemilihan hakim konstitusi.
Tindakan pelanggaran atas hukum oleh DPR dapat juga dikonfirmasi dengan ketentuan dalam Pasal 87 UU MK perubahan terkahir yang menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi, hal ini juga menunjukan bahwa DPR sebagai lembaga legislatif tidak paham dengan produk hukum yang dibuat sendiri.
Tindakan inkonstitusional dan jauh dari legalitas ini merefleksikan bahwa terjadi ancaman terhadap pemerintahan yang konstitusional karena melecehkan prinsip peradilan yang independen. Prinsip universal ini ditegaskan pada Pasal 1 General Assembly Resolution 40/146 yang menuliskan bahwa “sudah menjadi kewajiban bagi seluruh institusi pemerintahan untuk menghormati serta menjamin independensi peradilan”. Selain itu pemberhentian hakim konstitusi Aswanto tidak sejalan doktrin judicial independence yang menurut Kristy Richardson pilar penting independensi peradilan yakni kejelasan pemberhentian (removal from office) dan kejelasan proses pengangkatan (appointment). Kemudian Shimon Shetreet membagi dua jenis independensi peradilan yakni substantive independence mengacu pada kebebasan hakim untuk melaksanakan fungsinya secara independen. Sementara karakteristik personal independence termasuk perlindungan terhadap jabatan dan masa kerja, serta remunerasi dan pensiun yang memadai.
Prinsip umum pemberhentian hakim pada dasarnya dilakukan dengan alasan melakukan tindak pidana atau karena mengabaikan tugasnya berulang kali atau karena ketidakmampuan fisik atau mental yang menunjukkan dirinya secara nyata tidak layak untuk menjabat sebagai hakim (a criminal manifestly unfit to hold the position of judge) dan karena ketidakmampuan atau berkelakuan buruk yang secara jelas membuat mereka tidak layak untuk melaksanakan tugas sebagai hakim (incapacity or misbehaviour that clearly renders them unfit to discharge their duties). Oleh karena itu tindakan politis DPR dalam pemberhentian hakim Aswanto sangat jauh dari prinsip umum hukum yang seharusnya dipedomani.
Keputusan DPR demikian demikian membuat publik patut menduga bahwa ke depan MK atau Hakim MK yang dipilih DPR sangat kental dengan muatan kepentingan politik tertentu dan hanya akan menjadi alat pelindung bagi regulasi predatoris ciptaan DPR RI dari upaya pengujian oleh publik, dampak kebijakan ini mengakibatkan terjadi regresi atas demokrasi dan nomokrasi.
Lebih daripada problematik independensi peradilan, Kebijakan politis DPR tersebut menunjukan adanya sebab-akibat dari dugaan relasi politik transaksional antar lembaga DPR dan MK selama ini melalui beberapa produk legislasi kontroversial DPR seperti revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba dan perubahan UU MK yang semuanya dimuluskan oleh MK melalui judicial review kecuali UU Cipta Kerja yang diputuskan inkonstitusional bersyarat. Oleh para pengamat menilai tindakan DPR tersebut disebabkan oleh karena adanya perbedaan pendapat dalam putusan (dissenting opinion) pada internal hakim konstitusi dalam beberapa perkara yang tidak sejalan dengan tujuan politis jangka pendek DPR.
Praktik kewenang-wenangan mengambarkan adanya gejala Autocratic Legalism yang oleh Bivitri Susanti mendefinisikan Autocratic Legalism ialah cara pandang yang mengedepankan legalisme (segala sesuatu berlandaskan hukum negara) namun dengan karakter otokratisme. Praktik serupa pernah terjadi pada Hakim-hakim Mahkamah Agung Pakistan yang diberhentikan bahkan terkena tahanan rumah setelah menolak bersumpah di bawah konstitusi sementara yang diterbitkan Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf. Praktik Autocratic Legalism sangat bertentangan dengan konsepsi negara hukum yang demokratis sebagaimana yang dianut konstitusi dengan cita-cita ideal produk hukum yang sesuai dengan kehendak rakyat bukan sekelompok orang atau elit tertentu.
Praktik penyalahunaan kekuasaan (abuse of power) DPR tersebut I Gede Palguna berpendapat bahwa jika tindakan penyerangan terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman oleh DPR tetap dibiarkan maka akan berujung pada the end of history the constitutional democratic state.
Referensi:
Elliot Bulmer, Judicial Tenure, Removal, Immunity and Accountability, Stockholm: International IDEA, 2014.
I.D.G. Palguna, Mahkamah Konstitusi & Dinamika Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2020.
Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional : Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setalah Perubahan UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Saldi Isra, Lembaga Negara: Konsep, Sejarah, Wewenang, dan Dinamika Konstitusional, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2020
Saldi Isra, Hak Menguji Materil Mahkamah Agung Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Yustisia, No.5, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.1997.
Oemar Seno Adji,Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga,1987.
Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015.
Kristy Richardson, “A Definition of Judicial Independence” University of New England Law Journal (UNELawJ) 3; (2005) 2(1).
Shimon Shetreet, “The Normative Cycle of Shaping Judicial Independence in Domestic and International Law: The Mutual Impact of National and International Jurisprudence and Contemporary Practical and Conceptual Challenges”, Chicago Journal of International Law, Vol. 10, No. 1, 2009.
International Commission of Jurist, The International Bar Association’s Minimum Standards of Judicial Independence
General Assembly Resolution 40/146, 1985.
Diakses dari, https://bantuanhukum.or.id/pemberhentian-hakim-mk-aswanto-oleh-dpr-melanggar-hukum-dan-mengacaukan-konsep-ketatanegaraan/, pada tanggal 15 Oktober 2022.
Diakses dari, https://www.hukumonline.com/berita/a/3-indikator-autocratic-legalism-dalam-kebijakan-negara-, pada tanggal 26 Oktober 2022.
Diakses dari, https://dunia.tempo.co/read/110833/hakim-hakim-pakistan-kena-tahanan-rumah, pada tanggal 26 Oktober 2022