Pesan Salsabila dan Jovano dalam mengawal Implementasi Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 di Unsrat

  • Bagikan
Foto bersama setelah diskusi

actadiurna.id – Dalam mengulas pembahasan terkait kepeduliaan kampus terhadap penerapan Permendikbud-Ristek no 30 tahun 2021 dalam ruang lingkup Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).

Dugaan kasus kekerasan seksual yang belum lama ini terjadi di lingkungan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) menyita perhatian khalayak, terutama mahasiswa Unsrat itu sendiri.

Berbagai hal disoroti sebagai faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus tersebut, salah satunya perihal implementasi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang menjadi acuan diskusi yang dilaksanakan Badan Tadzkir (BT) Unsrat yang bertajuk “Ngopi: Ngobrol Pintar” di kafe Kopico, Manado.

Salsabila Ratu, salah seorang alumni BT Fispol Unsrat angkatan 2018 yang juga hadir sebagai narasumber menyebutkan bahwa tindakan dasar yang dapat kita lakukan adalah dengan memahami poin-poin yang tertera pada Permendikbud-Ristek no.30 Tahun 2021 di lingkungan Unsrat.

“Kita terlebih dulu harus memahami apa saja isi yang terkandung dalam Permendikbud-Ristek no. 30 tahun 2021 tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi. Selebihnya ketika kita sendiri sudah bisa memahami. Tahap selanjutnya kita sudah bisa memetakkan langkah apa yang akan kita ambil untuk mendorong kampus agar tidak menutup mata dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, setidaknya dari langkah-langkah yang sudah disebutkan tadi, “Kita sudah bisa melihat apa-apa saja nanti tantangan yang akan kita dapati ketika kita mengawal kasus ini agar diproses sesuai Permendikbud-Ristek no. 30 tahun 2021 tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi,” jelasnya.

Dalam hal ini, mahasiswa Ilmu Pemerintahan yang kerap disapa Fey tersebut menjabarkan bahwa Permen ini merupakan jaminan adanya mekanisme jelas untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus.

“Hadirnya Permendikbud-Ristek no. 30 tahun 2021 ini sudah menjadi jawaban atas kekosongan untuk menciptakan ruang yang lebih aman dari kekerasan seksual bagi seluruh pihak di kampus atau perguruan tinggi,” imbuhnya.

Fey berharap, kiranya implementasi Permendikbud-Ristek no. 30 tahun 2021 ini dapat dijalankan sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam permendikbud tersebut, “Agar kita sebagai mahasiswa juga bisa sedikit lega setidaknya kampus ada tindakan pasti dalam menikdaklanjuti kasus-kasus yang terjadi di lingkungan kampus tersebut,” tandasnya.

Sementara, Nakeysa Aurelia yang merupakan anggota BT Fispol Unsrat sekaligus moderator kegiatan ini turut berharap kiranya Permendikbud ini dapat berjalan efektif.

“Saya harap adanya aturan Permendikbud-Ristek no. 30 tahun 2021, dapat menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan di lingkungan kampus dan dapat menjadi tonggak untuk para korban pelecehan agar mereka berani berbicara dan memperjuangkan hak-hak mereka yang direnggut oleh pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus,” ujar mahasiswa Ilmu Komunikasi 2020 itu.

Selaras dengan Salsabila Ratu, Jovano Apituley, mahasiswa Lembaga Advokasi Mahasiswa (LAM) Fakultas Hukum (FH) Unsrat selaku narasumber mengungkapkan bahwa latar belakang lahirnya Permendikbud-Ristek no. 30 tahun 2021 yakni disebabkan oleh maraknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkup kampus.

Ia menuturkan, berdasarkan survei Kemendikudristek pada tahun 2019 juga menunjukan hal sama, “Survei tersebut menyebutkan bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual 15 persen, setelah jalanan 33 persen dan transportasi umum 19 persen. Kemendibud-Ristek menunjukkan sekitar 77 persen dosen mengaku ada kekerasan seksual di kampus,” bebernya.

“Sebanyak 63 persen korbannya tidak melaporkan kasusnya pada pihak pengelola universitas. Kebanyakan korban kekerasan seksual adalah perempuan. Tidak adanya Produk Hukum Indonesia yang bisa memberikan kepastian hukum terlebih kepada perlindungan hak-hak Korban. (tidak bisa memenuhi unsur-unsur yang dalam KUHP),” ungkapnya.

Jovano berharap bahwasanya Unsrat dapat segera menindaklanjuti perihal Satuan PPKS.

“UNSRAT, segera tepati janji revisi SK Rektor Nomor 404/UN12/HL/2022 tentang tim Satgas PPKS! Transparansi publik terhadap penanganan kasus kekerasan seksual di Unsrat dan meminta pihak rektorat mengadakan sosialisasi mengenai Permendikbud-Ristek no. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dalam pembahasan ini ada poin-poin penting yang akan diulas yakni :

Implementasi Regulasi berdasarkan prinsip Memprioritaskan Hak Korban (Pasal 3A).

•Ada 21 Bentuk, dan dapat dikategorikan menjadi 4 (UMUM, FISIK, VERBAL, MENTAL, DIGITAL (Pasal 5).

• Sanksi bukan berorientasi pada pelaku (Pasal 14 Sanksi ringan, sedang, berat).

• Pembentukan Pansel & Satgas mekanismenya: Seleksi Ponsel-Ponsel-Seleksi Satgas-Satgas (Pasal 23-29).

• Sanksi Administratif Kampus (Pasal 19).

• Pencegahan, Pendampingan, Perlindungan, Pemulihan (Pasal 10-12).

– Pencegahan: Satgas, Jam Operasional, Media Pelayananan Laporan.

– Pendampingan: Konseling, Layanan Kesehatan, Advokasi.

– Perlindungan: Perlindungan atas kerahasiaan identitas, Rumah Aman, Pendidikan

– Pemulihan: Tindakan Medis, Terapi Fisik, Psikologis, Bimbingan Sosial dan Rohani,” imbuhnya.

Diketahui, diskusi berlangsung di Cafe Kopico Manado, Sabtu (16/04/2022) lalu.

(Reza Syamsir)

  • Bagikan