Penundaan Pemilu Gerbang Hancurnya Demokrasi di Indonesia

  • Bagikan
Sathyanandha Arya Atmika (foto istimewa)

Penulis : Sathyanandha Arya Atmika

-Anggota Pusat Studi Kepemiluan Fispol Unsrat

-Kepala biro organisasi PD KMHDI Sulut

Indonesia adalah negara yang menganut paham Demokrasi, dimana rakyat diberi hak dan kebebasan penuh untuk ikut terlibat dalam urusan negara maupun politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu tolak ukur keberhasilan sebuah negara melaksanakan demokrasi ialah terlaksananya Pemilihan Umum (Pemilu). Secara konstitusi, Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Agenda Pemilu ini sendiri ialah tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Wakil-Wakil Rakyat/Anggota Legislatif yang dilaksanakan secara periodik dalam kurun waktu 5 tahun sekali.

Pada beberapa waktu lalu KPU telah merilis tanggal pelaksanaan Pemilu 2024 yakni pada tanggal 14 Februari 2024, bertepatan dengan hari kasih sayang (Hari Valentine). Pengumuman ini pun menjadi antusias bagi masyarakat mengingat sudah banyak tokok-tokoh besar yang sepertinya akan turun bertarung dalam kontestasi Pilpres 2024. Nama-nama seperti Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Anies Baswedan dan beberapa tokok petinggi partai seperti Muhaimin Iskandar dan Airlangga Hartarto sontak terdengar gerakan tuk maju sebagai capres di kontestasi pilpres 2024.

Namun, ditengah euforia diumumkannya kapan pemilu 2024 akan dilaksanakam muncul beberapa isu yang seperti ingin mencederai demokrasi kita seperti isu penambahan masa jabatan presiden, Jokowi 3 periode, dan yang terbaru ialah isu penundaan pemilu. Isu ini pertama kali muncul lewat Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang mengusulkan pelaksanaan pemilu ditunda paling lama 2 tahun dengan dalil perbaikan kondisi ekonomi sehabis diterpa Pandemi Covid-19. Isu ini juga pernah dilontarkan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahaladia pada Januari 2022. Ia mengklaim, para pengusaha menginginkan agar pemilu ditunda. Stabilitas politik dijadikan alasan untuk kembali menumbuhkan ekonomi yang babak belur karena pandemi. Sejumlah partai politik menolak usulan ini. Mereka di antaranya PDI Perjuangan, Partai NasDem, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara, selain PKB yang secara tegas setuju menunda Pemilu adalah Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sementara Gerindra masih abu-abu. Yang terbaru ialah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Pandjaitan yang mengklaim punya Big Data sebanyak 110 juta penduduk Indonesia menyatakan setuju pemilu ditunda.

Apa yang dilontarkan para elit ini dinilai sebagai hal yang kontradiktif atau berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi di lapangan dimana saat ini Indonesia sudah memasuki masa transisi dari pandemi ke endemi, sektor perekonomian pun sudah mulai membaik. Lantas apa yang menjadi alasan sebenarnya diusulkannya penundaan pemilu ini? Dan siapakah yang nantinya bakal memetik keuntungan jika wacana ini bisa terealisasikan? Jawabannya bisa kita dapat dari siapa yang pertama kali mengemukakan wacana tersebut yakni para elit politik dan para pengusaha yang tentunya masih ingin berkuasa dan memetik keuntungan lebih lama lagi. Hal ini membuktikan bahwa oligarki masih tumbuh subur bahkan selalu diberi pupuk di negara kita.

Dalam buku “How Democracies Die” Levitsky dan Ziblatt mengatakan demokrasi mati karena kegagalan negara dalam mencegah para demagog masuk dan menduduki kursi pemerintahan. Para autokrat masuk ke dalam kekuasaan dan membajak demokrasi melalui cara-cara dan jalur yang legal. Pemilu sering kali dinilai sebagai salah satu jalur legal untuk menumbangkan demokrasi, karena pemilu dipandang sebagai mekanisme sirkulasi elit politik dan instrumen legitimasi politik oleh pemilih (voters).

Wacana penundaan pemilu ini bisa kita lihat sebagai percobaan untuk menghancurkan gerbang demokrasi Indonesia, para penguasa dan oligarki mulai menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan kenikmatan yang sementara mereka cicipi. Maka untuk itu sudah menjadi tugas kita bersama sebagai rakyat Indonesia untuk tetap mengawal agar demokrasi dan konstitusi di negara kita tetap berjalan seperti semestinya.

  • Bagikan