actadiurna.id – Dua tahun mendatang, Indonesia akan merayakan pesta demokrasi melalui pemilihan umum (Pemilu). Seluruh individu tentunya diharapkan berkontribusi dalam pemilihan pemimpin baru daerah maupun negara.
Ferry Daud Liando, dosen pemerintahan Fispol Unsrat ini memprediksi pada pemilu mendatang, akan banyak orang atau kelompok yang menolak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu yang dikarenakan perihal kebijakan parlemen yang kebanyakan tidak searah dengan kebutuhan publik.
“Pelaksanaan pemilu 2024 berpotensi akan terjadi golput dalam angka yang bersar. Hal ini dipicu oleh kebiajkan-kebijakan elit-elit politik di parlemen yang cenderung tidak sejalan dengan kepentingan publik,” ungkap Liando.
Keadaan demikian makin memicu ketidak percayaan publik baik terhadap parpol maupun aktor-aktor politik sehingga berpotensi berdampak pada golput.
Liando menyampaikan beberapa peristiwa yang menunjukkan perbedaan arah kebijakan parlemen dan kepentingan masyarakat. Semisal terkait pembahansan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
“Beberapa waktu lalu ada banyak elemen masyarakatat menolak pembahasan RUU cipta kerja. Namun DPR tetap membahas dan mengesahkannnya. Untunglah mahkamah konstitusi (MK) memutuskan untuk menunda pemberlakuannya. MK menilai UU Cipta Kerja melanggar prosedur, tidak sesuai asas dan tidak melibatkan Partispasi publik,” jelasnya.
Menyikapi hal tersebut, kali ini sebagain elit politik di DPR mewacanakan penundaan pelaksanaan pemilu.
“Di DPR saat ini terpolarisasi pada tiga arus tentang wacana ini yaitu arus menyatakan dukungan penudaan yang di sponsori oleh PAN, PKB dan Golkar. Arus kekuatan politik yang masih bersikap pasif. Belum menyatakan sikap apakah menolak atau mendukung,” tuturnya.
Liando melanjutkan, “Kemudian ada arus yang menyatakan menolak seperti PDIP namum sebagian kadernya malah menyatakan dukungan,” jelasnya.
Salah satu arus yang menyatakan dukungan penudaan beralasan bahwa faktor ekonomi belum mendukung pelaksanaan pemilu 2024. Liando menegaskan, dalam konteks tersebut, penundaan pemilu bukanlah jalan keluar yang efektif. Ia menilai bahwa seharusnya yang dilakukan adalah pembenahan perilaku para elit politik.
“Harus diakui bahwa salah satu faktor yang dapat meruntuhkan stabilitas ekonomi adalah pemilu. Pemilu yang kerap dilanda kerusuhan menyebabkan menjauhnya investor berinvestasi di Indonesia. Namun demikian untuk mengatasi kerusuhan bukan berarti pemilunya yang harus ditunda. Justru yang barus dibenahi adalah perilaku para elit politik,” imbuhnya.
Ia memandang bahwa selama ini, “Kerusuhan justru banyak diciptakan para elit-elit politik agar mudah mendapatkan jabatan atau mempertahankan jabatan. Mereka kerap memanfaatkan kelompok-kelompok radikal untuk membuat kerusuhan, memanfaatkan para kreator teknologi untuk menyuburkan Hoax serta cara-cara lain mengacaukan pemilu untuk kepentingan aktor-aktor tertentu,” ungkap Liando.
Ferry melanjutkan, hal-hal tersebut berdampak pada perekonomian nasional, namun menunda pemilu bukanlah jawaban untuk menstabilkan ekonomi.
“Hoax, konflik dan kerusuhan ini mengakibatkan banyak invenstor menarik diri sehingga berdampak pada perekonomian nasional. Menunda pemilu bukan jawaban untuk stabilitas ekonomi,” pungkasnya. (Andini Choirunnisa)