Penulis : Gibran Hairudin, Mahasiswa Sosiologi Fispol Unsrat
Kaleidoskop 2021: Dari Pandemi Jadi Bagian dari Cerita, sebuah event yang diselenggarakan oleh Komunitas Tanpa Nama pada penghujung 2021. Ada beberapa hal yang menjadi rangkaian kegiatan pada waktu itu salah satunya exhibition art (pameran seni) yang menampilkan beberapa lukisan, hasil motret akhir pekan dan kolase.
Ketika masuk dalam pameran seninya, ada beberapa sosok karya yang langsung memberi makna dan informasi kepada pengunjung seperti hasil-hasil foto akhir pekan. ‘Mereka’ gampang berinteraksi. Sedangkan karya-karya seperti lukisan dan kolase memiliki wujud yang sulit untuk diinterpretasi. Perlu dilihat berkali-kali.
Untuk pengalaman, saya baru pertama terlibat dalam sebuah pameran seni, kebetulan bertugas sebagai bagian dokumentasi pada event tersebut. Bagi saya, lukisan dan kolase kurang menarik karena jauh dari makna, absurd dan tidak informatif. Begitulah pandangan saya yang awam dalam dunia seni, sejauh ini saya masih menganggap bahwa seni adalah ledakan seperti yang diyakini oleh Deidara.
Dalam lukisan-kolase yang saya lihat, terdapat aktivitas ‘timbun-menimbun’ elemen seperti garis, bentuk, dan komposisi warna sehingga mengacaukan sosok yang telah jelas terlihat. Dilihat berapa lama pun, sulit untuk ditafsir bentuk-bentuknya, karena sudah saling bertindihan hingga mengaburkan apa yang mau diceritakan atau ditunjukkan dalam karya. Mungkin orang-orang juga akan kebingungan seperti saya, seraya berkata: “sulit dimengerti, semoga harimu Senin terus”.
Namun, belakangan ini saya mengetahui bahwa sebuah karya seni adalah sebuah proses, kata Adorno. Objek seakan-akan mengelak terus, tak henti-henti. Ia tak pernah menjadi satu identitas, jikalau jadi pun, maka ia rapuh, labil dan tak menetap. Sehingga ada semacam penambahan elemen pada suatu objek hingga kelihatan kabur dan beda dari awalnya. Dalam karya Teori Estetiknya, Adorno mengatakan “dalam dirinya (objek seni) terkandung sifat sebuah laku meskipun mereka dipahat di batu”.
Adorno juga memandang bahwa karya seni bahkan mengandung sifat absurd, ia tak mengikuti aturan nalar dan hal yang naratif. Sejalan dengan Adorno, Jackson Pollock, seorang seniman yang membentuk karyanya dengan menumpahkan dan memuncratkan cat di kanvas secara spontan, mengatakan: “Karya seni punya kehidupannya sendiri”. Mereka mempunyai otonomi sendiri, mandiri dari arahan subyek, serta tak mudah diukur norma umum.
Saya teringat dalam adegan film Step up Revolution: The Mob, saat Sean mengajak Emily ke suatu museum seni. Di dalamnya terdapat lukisan-lukisan seperti pameran seni pada umumnya, namun yang mengejutkan adalah anggota the mob telah menempel di dinding dengan pakaian kamuflase menyerupai lukisan-lukisan yang dipajang. Seakan-akan membuat lukisan menjadi hidup, lalu mereka melakukan koreografi yang membuat para pengunjung termasuk Emily terkesima. Mungkin pada adegan itulah, sutradara film step up ingin memvisualisasikan “Karya seni punya kehidupannya sendiri”.
Jauh dari ‘kehidupan seni’ bisa saja yang membuat saya sulit menafsir dan memahami karya-karya pada pameran seni itu. Kesadaran saya dan mungkin orang-orang pada zaman ini telah terbentuk oleh dunia yang hanya mengenal hal-hal yang sudah dikemas, diberi label lalu ditawarkan. Kita pun cenderung memahami seni bukan sebagai proses yang tak pernah selesai. Secara refleks, kita tahu ketika ditunjukkan lukisan ‘Mona Lisa’ akan tetapi banyak kode-kode rahasia di dalam kanvas Da Vinci itu yang kita tak ketahui. Saat ini, pengalaman manusia cenderung direduksi dalam kesadaran, bersamaan dengan datangnya fenomena masyarakat yang mengutamakan hal praktis, yang berguna dan bertujuan jelas.
Berada di pameran seni yang karya-karyanya sulit dimengerti, saya belajar bahwa usaha untuk menafsir sesuatu itu terbatas. Bisa menafsir hingga mendapati sebuah makna atas segala sesuatu adalah ketakaburan yang diwariskan dari zaman pencerahan. Mungkin saya harus memiliki mindset ketika nanti berkunjung dalam sebuah pameran seni; Nikmati saja karya yang ada.
Di masa lalu kata Walter Benjamin, benda seni mengandung “aura” dan disimpan dengan khidmat dalam ruang tersendiri. Ia mempunyai “nilai pemujaan”. Ia bagian dari ritual. Pada akhirnya, saya merasa bahwa ada karya seni yang mampu ‘bercerita’ dan ada yang tidak. Terdapat ambiguitas di dalamnya. Barangkali sudah begitu, pada sesuatu yang ritual, nalar kita selalu gagal menjangkaunya.*