Penulis : Salsabila Alya Ratu
Disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) adalah satu bentuk konkretisasi yang mana telah mendasarkan norma kesusilaan sebagai dasar dalam penanganan perbuatan asusila di Indonesia. Pengaturan delik kesusilaan dalam UU Pornografi ini difokuskan kepada larangan dan pembatasan perbuatan seseorang yang mana berkaitan dengan hal pornografi yang tujuannya menimbulkan hawa nafsu seseorang lainnya.
Dalam frasa menggambarkan ketelanjangan dijelaskan artinya sebagai suatu keadaan dimana seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih memperlihatkan alat kelamin secara eksplisit atau jelas.
Alih-alih tujuannya melindungi jika terjadi tindakan asusila di muka umum khususnya kepada perempuan. Namun isi pasal tersebut malah memicu adanya multitafsir dalam penilaian masyarakat kepada perempuan terhadap cara berpakaiannya di muka umum. Di mana dengan cara berpakaian perempuan yang terlihat lebih terbuka di muka umum langsung dinilai tidak baik dan telah merusak nilai kesusilaan yang ada dan diklasifikasikan ke dalam definisi, Menampilkan atau menggambarkan kesan telanjang sebagaimana yang termuat dalam Pasal 10 UU Pornografi tersebut. Ini jelas mengingkari adanya penegakan hukum Indonesia yang mana berlandaskan pada tiga perwujudan utamanya yakni adanya keadilan, kepastian hukum, dan kebermanfaatan.
Sementara itu UU Pornografi sendiri pun, perumusannya tidak dijelaskan secara tegas tentang apakah yang memang disebut sebagai norma kesusilaan. Maka dari itu, sampai saat ini justru telah menyebabkan perbedaan standar yang digunakan dalam menentukan tata cara berpakaian perempuan dimuka umum sebagai perbuatan yang mengandung unsur pornografi. Mengingat setiap orang dalam menjadikan suatu ukuran batasan berpakaian melanggar atau tidaknya terhadap norma kesusilaan yang hidup itu tidaklah sama satu sama lain.
Kedudukan hak perempuan dalam kebebasan mengekspresikan berpakaiannya dikemukakan dalam DUHAM meliputi hak pengakuan dimuka umum dimanapun berada (Pasal 6 DUHAM), hak perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi (Pasal 7 DUHAM), dan hak kebebasan berekspresi tanpa gangguan (Pasal 19 DUHAM). Dalam pelaksanaan pengawasannya sistem hak asasi manusia, Komite PBB menyusun rancangan regulasi untuk merumuskan perjanjian yang memberi jaminan hak asasi manusia secara spesifik yaitu konvensi terkait Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
Negara indonesia sendiri masih kental akan budaya patriarki yang mana sering menganggap bahwa perempuan selalu menjadi nomor dua dalam segala hal, karena banyak yang berpandangan bahwa perempuan adalah sosok yang lemah lembut, emosional, dan tergantung pada laki-laki. Maka dari itu, dianggap bahwa tempat terbaik untuk lingkungan perempuan adalah di rumah, sebaliknya laki-laki lebih cocok ditempatkan dilingkungan publik. Pola pikir masyarakat yang selalu memberikan sorotan tentang setiap tingkah laku perempuan, membuat perempuan menjustifikasi dirinya bahwasannya perempuan hanya bisa di dapur, sumur dan kasur. Hingga perempuan pun ikut menormalisasi diskriminasi yang terjadi pada dirinya.
Dampak dengan melekatnya budaya patriarki di Indonesia juga diakibatkan oleh sistem negara yang berlangsung tidak sesuai dengan harapan yang diyakini. Banyak yang tidak sesuai bahkan tidak mencerminkan adanya nilai keadilan, kepastian hukum, dan juga kebermanfaatan. Dengan demikian, sistem penegakan hukum di Indonesia justru menempatkan perempuan untuk tunduk pada kehidupan yang bersifat patriarki dan juga membiarkan kasus ini berlangsung secara berkelanjutan sampai detik ini. Seharusnya seperti yang diungkapkan oleh Jan Remmelink mengenai suatu hubungan antara norma dan sanksi di dalam hukum pidana, yakni ialah setiap penjatuhan sanksi pidana itu harus didasarkan pada pemahaman dan terbuktinya pelanggaran dari suatu perbuatan terhadap norma hukum dan bukan pada norma yang lain.
Mengutip dari pernyataan Rotua Valentina Sagala yang merupakan aktivis Perempuan dan pengiat hukum serta Hak asasi manusia bahwa, adanya frasa “mempertontonkan diri di muka umum yang mengesankan ketelanjangan” itu memang tak dapat dipungkiri tentu akan selalu cenderung menyasar kepada tubuh perempuan. Sehingga keberadaan Pasal 10 UU Pornografi justru seolah-olah meneguhkan adanya eksistensi budaya patriarki yang menganggap tubuh perempuan adalah arena yang harus dikontrol dan diatur oleh negara.