Fenomena Akun Glorifikasi dan Problematikanya di Area Kampus

  • Bagikan
Rachel Koraag (foto ist)

Penulis: Rachel Koraag (Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi, Wakil Ketua Bidang Kesarinahan, DPK GMNI “Tulipa” Faperta UNSRAT)

Fenomena umum yang sering kita jumpai dalam lingkungan kampus yaitu dengan hadirnya akun “kampus cantik. Dengan membawa nama institusi, deretan akun-akun tersebut menyajikan foto-foto mahasiswa yang dianggap cantik, yang disajikan oleh sekelompok orang dan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah standar kepopuleran seorang mahasiswa.

Di sisi lain, fenomena ini masih dianggap sebagai hal yang lumrah di kalangan mahasiswa dan menjadi sebuah hiburan, dan dijadikan validasi serta standar eksistensi seorang mahasiswa. Namun, di sisi lain, fenomena ini seolah menodai citra mahasiswa. Seakan standarisasi dalam menjadi mahasiswa favorit kampus dilihat dari rekam jejak pada akun-akun “glorifikasi”. Faktanya, eksistensi akun-akun “glorifikasi” ini sangat tidak relevan dalam lingkup dunia akademik di perguruan tinggi. Dan kehadiran akun-akun “glorifikasi” menjadi ladang eksploitasi yang menjadi fenomena yang problematik.

Kehadiran akun-akun berdalih glorifikasi ini menjadi acuan serta objektifikasi dan menjadi ladang seksisme di kalangan mahasiswa. Akun kampus cantik menjadikan individu yang dikenal “pasung” (Bahasa manado Cantik/Indah) sebagai “komoditi” yang setiap saat dapat dinikmati. Tak jarang, komentar yang ditinggalkan pada akun tersebut mengandung unsur yang melecehkan. Bahkan kehadiran akun-akun ini menjadi “Galeri Menu” para predator kejahatan seksual dan menjustifikasi seseorang sebagai “fantasi”. Ini juga menjadi pijakan utama berkembangnya kasus-kasus kejahatan seksual dan penggunaan publikasi pribadi tanpa seijin, atau consent dari pemilik demi kepentingan pribadi. Bahkan, tidak jarang ada yang mendapat “keuntungan pribadi” berkaitan dengan akun-akun glorifikasi yang bisa mengundang hingga puluhan ribu pengikut ini.

Selain itu, fenomena akun-akun glorifikasi ini menimbulkan stereotip baru serta mengakarkan budaya “Toxic Beauty Standards” yang sangat merendahkan individu. Dimana seseorang hanya dilihat dari keelokan wajah, dan juga paras yang menarik. Dan menjadikan hal ini sebagai eksploitasi yang menitikberatkan kecenderungan khalayak media yang hanya melihat individu dari fitur tubuh tertentu. Yang menjadi sebuah stigma yang masih membudaya sampai sekarang dimana seseorang diarahkan untuk mengejar kesempurnaan struktur fisik sebagai sebuah tujuan. Validasi ini muncul bukan dari diri sendiri, melainkan muncul dari validasi khalayak media.

Seharusnya, mengapresiasi dan menghargai seseorang bukan dilihat dari seberapa menarik struktur fisik dan juga penampilan seseorang tapi bagaimana pengaruh seseorang dalam menaikkan citra diri sendiri, bahkan citra institusi yang dituangkan lewat karya, pengabdian serta ide-ide cemerlang bagi institusi serta masyarakat. Semoga fenomena-fenomena yang menjadi fenomena menakutkan dan memalukan ini tidak terjadi di lingkungan kampus Tumou Tou. Walaupun sangat disayangkan, akun glorifikasi ini masih ada dan berkembang bukan hanya di kanal instagram, juga merembes sampai ke kanal lainnya seperti Tiktok, Facebook dan lain sebagainya. Ketika kita mengaungkan dan menaikan isu pelecehan seksual yang terjadi dalam area kampus, seharusnya dimulai dari “di banned-nya” akun-akun glorifikasi yang menjadi “sumur” cyber sexual assault.(*)

Referensi

1. https://ussfeed.com/akun-kampus-cantik-dan-probematika-pelanggaran-privasi/editorial/

2. https://milenialis.id/menggugat-eksistensi-akun-kampus-cantik/?amp

3.https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/luthfiyahmalik/62aa7834f5f3290911039bb2/problematika-akun-instagram-kampus-cantik-sebuah-produk-patriarki

  • Bagikan