Cacat Prosedur Pembentukan MPM, Demokrasi Unsrat kini di Ambang Kehancuran?

  • Bagikan
Akiela Polii, Mahasiswi Fispol Unsrat (foto ist)

actadiurna.id – Beredar isu terjadinya ketidaksesuaian prosedur dalam Pembentukan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado yang dilaksanakan di Narwastu Hills, kota Tomohon Jumat (20/5/2022) kemarin.

Kepada Acta Diurna, seorang mahasiswi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fispol) Unsrat, Akiela Polii memaparkan hal-hal yang tidak seharusnya terjadi beserta argumentasinya dalam pemilihan MPM kemarin yang dia susun menjadi lima poin.

“Kongres ini merupakan Pemilihan berkedok Healing. Berikut beberapa keganjalan dan ketidaksesuaian kongres sesuai dengan mekanisme yang seharusnya,” tutur Akiela yang juga menjadi Jendril angkatan 2019 Fispol Unsrat itu.

Akiela menjelaskan bahwa kegiatan ini cacat prosedur. Ketua definitif MPM seharusnya dipilih melalui Kongres Umum Mahasiswa (KUM).

“Pemilihan MPM Unsrat cacat prosedur. Pertama, pemilihan ketua definitif MPM seharusnya melalui Kongres Umum Mahasiswa, tapi nyatanya hari ini hanya melalui surat undangan dengan agenda pembentukan pengurus MPM Unsrat,” ungkap Akiela.

Akiela melanjutkan, “kalaupun itu diklaim sebagai Kongres Umum Mahasiswa, berarti terjadi kecacatan dalam regulasi,” tekannya.

Ia turut menyinggung Wakil Rektor 3 (WR3) Unsrat yang memimpin kongres tersebut.

“Kedua, tidak seharusnya WR3 memimpin persidangan. Sedangkan dalam pemilihan, WR3 dengan percaya diri memimpin kongres tersebut,” tuturnya.

Hal ketiga yang disampaikannya yaitu terkait kecacatan regulasi. Akiela menjelaskan beberapa argumentasinya terhadap hal ini, mulai dari peserta yang seharusnya hanya mahasiswa, tidak adanya konsideran serta palu sidang, hingga tidak adanya AD/ART yang harusnya menjadi acuan pembentukan MPM.

“Ketiga, cacat secara regulasi. Peserta sidang seharusnya hanya mahasiswa, tapi nyatanya mahasiswa didampingi oleh para WD3 (Wakil Dekan 3, red) dari beberapa fakultas yang juga ikut bersama-sama di dalam ruangan,” tekannya.

Akiela juga menyinggung tentang “tidak adanya konsideran yang melegitimasi kesepakatan bersama. Selanjutnya palu sidang, bendera merah putih, bendera Unsrat dan bendera MPM Unsrat itu tidak ada,” tutur Polii.

Akiela yang akrab disapa Echa ini pun menyoroti terkait Pemilihan Ketua MPM pada kongres kali ini tanpa adanya acuan landasan organisasi yaitu AD/ART.

“Karena pada Kongres Umum Mahasiswa tahun sebelumnya tidak ditetapkan AD/ART sebagai acuan atau landasan organisasi. Namun pada kongres kali ini pun agenda sidang tentang pembahasan dan penetapan AD/ART tidak ada. Hanya saja agenda kongres kali ini hanya pemilihan ketua umum saja,” jelasnya.

Kini ia menyoroti Peraturan Rektor Unsrat Nomor 6 Tahun 2019, “dengan mengacu pada Peraturan Rektor Universitas Sam Ratulangi No. 06 Tahun 2019, didalamnya hanya membahas tentang penunjukan plh/plt bukan melaksanakan kongres tanpa adanya AD/ART,” tegasnya.

Ia menambahkan poin ke empat terkait ketidaktahuan delegasi akan mekanisme persidangan.

“Keempat, ketidaktahuan delegasi akan mekanisme persidangan dan AD/ART sehingga pelaksanaan kongres berjalan mengikuti alur WR3 yang merepresentasikan diri sebagai pimpinan sidang,” jelasnya.

Hal ke lima yang ia nyatakan yaitu pertanyaannya tentang apa urgensi kongres yang dilaksanakan di luar kampus sedangkan kampus mempunyai fasilitas yang cukup untuk melaksanakan kongres?

“Hal ini terkesan sebagai upaya untuk lari dari kritisisme mahasiswa,” lanjutnya sarkas.

Adapun pesan yang disampaikan Akiela, “jangan selalu buat diskusi tentang demokrasi dan pemilu, jika pada implementasinya masih mengamini pola main politik praktis dan menodai atau menciderai nilai-nilai demokrasi Kampus!” tandasnya. (*)

Editor : Andini Choirunnisa

  • Bagikan