Penulis : Febrianto Arifin
Kita berangkat dengan sebuah kutipan bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, ”Jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai Guru“. Sebuah bentuk filosofi yang sejatinya sebagai sebuah bentuk penekanan bahwa setiap tempat adalah dapat menjadi wadah untuk belajar dan menimpa ilmu, dan setiap orang dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan. Masalahnya adalah Konstitusi negara kita telah jelas menjelaskan tentang kewajiban negara menjamin dan membiayai pendidikan setiap warga negaranya, dan masyarakat berhak mendapat pendidikan. Sebagaimana dijelaskan pada UUD 1945 pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan ayat (2) ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Akan tetapi hal ini tidak sejalan dengan Permendikbud No 25 tahun 2020 tentang Standar satuan Biaya Oprasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Terdapat ketimpangan yang sangat jelas atas dasar hukum tertinggi di Indonesia yaitu UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2) dengan Permendikbud No 25 tahun 2020. Tidak heran angka putus sekolah dan angka putus kuliah di Indonesia begitu sangat tinggi.
Menurut data laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terdapat 75.303 anak putus sekolah pada tahun 2022 dengan akumulasi 44. 516 anak pada Sekolah Dasar (SD). Sedangkan untuk tingkat menengah Pertama atau (SMP) terdapat 15.042 anak, tingkat kejuruan (SMK) sebanyak 13.951 orang, dan tingkat menengah Atas ( SMA) sebanyak 13.879 orang. Hal ini mengindikasikan belum terlaksananya amanat dari UUD tahun 1945. Di sisi lain menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 sebanyak 601.333 dan Sulawesi Utara menjadi yang tertinggi.
Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
Pada umumnya sistem pendidikan kita terbagi atas beberapa sistem, yang pertama adalah sistem pendidikan terbuka, dimana murid dituntut untuk mengukur peforma yang dikehendaki dan dibutuhkan yang bertujuan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi. Yang kedua adalah sistem edukasi beragam dimana terdapat pendidikan formal, nonformal maupun informal. Yang ketiga adalah sistem pendidikan dengan orientasi nilai, sistem ini yang sampai sekarang masih berlaku dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Yang keempat adalah sistem pendidikan edukasi efisien, dan terakhir adalah sistem pendidikan sesuai perubahan Zaman, dari sebelumnya adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) yang berlaku pada tahun 2006 dan terakhir adalah Kurikulum 2013 yang berlaku sejak 2015.
Apa yang menjadi titik lemah dari sistem pendidikan kita? Yang pertama kurikulum masih bersifat teoritis, menekankan pada mode menghapal sebuah rumus, menghapal definisi, tetapi minim praktik di lapangan. Yang kedua adalah esensi atas pendidikan. Kurikulum dan sistem kita menghendaki untuk melek pada dunia kerja setelah lulus, sedangkan esensi atas ilmu pengetahuan tersebut tidak begitu ditekankan baik pada murid ataupun pada mahasiswanya. Sehingga tidak jarang banyak mahasiswa lebih mengedepankan nilai IPK yang tinggi. Tetapi justru gagal dalam memahami esensi atas ilmu pengetahuan yang ia embani, tidak jarang di Indonesia begitu banyak yang berkecimpung tidak pada studi pengetahuan yang ia dapati selama mengenyam pendidikan, sehingga masuk pada ladang pekerjaan yang tidak sesuai dengan ilmu yang ia dapati. Ketiga tenaga pendidikan yang kurang kompoten, sehingga tidak jarang dalam lingkup dunia kampus misalnya ketika dosen dikritik oleh mahasiswanya yang cukup kritis, tenaga pendidik mengamini kultur Feodal dengan menahan proses studi mahasiswa tersebut. Dan yang terakhir adalah kurangnya fasilitasi yang mendukung proses belajar di lingkungan pendidikan.
Di sisi lain proses penyaluran bantuan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa yang tidak tepat sasaran, proses selektif berkas yang masih kurang efisiensi, sehingga tidak mampu menjangkau bagi mereka yang benar-benar kurang mampu, sehingga kuota tersebut justru beralih kepada mereka sejatinya cukup dan mampu. Bahkan praktik nepotisme masih berlaku, para anak pejabat dan petinggi masih banyak yang mendapat beasiswa melalu jalur-jalur yang praktis. Sistem birokrasi pendidikan khususnya di dunia kampus yang terlalu berbelit-belit dan memberatkan mahasiswa yang mengurus Administrasi pendidikan di lingkungan kampus. Masih banyak kampus yang belum mampu menyesuaikan dan memanfaatkan teknologi dalam mengurus administrasi. Contoh paling sederhana dari rumitnya sistem birokrasi kita adalah identitas diri yang sudah dalam Bentuk Elekronik tetapi masih dituntut dan dimintai dalam bentuk Foto Copy. Begitu buramnya wajah pendidikan kita.
Maka tidak heran mengapa kualitas pendidikan Di Indonesia begitu sangat rendah bahkan cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Kualitas kelulusan begitu menyedihkan, dan tragisnya lagi mereka masih menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia. Kemudian yang kedua adalah gaya pendidikan di negara kita yang tunduk terhadap pasar, model pendidikan yang tunduk pada teknokrat. Dari potret buram yang telah digambar, sejatinya negara telah gagal memposisikan diri dalam memenuhi UUD Tahun 1945 alinea keempat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara perlu me-rethinking, mengevaluasi serta merekonstruksi kembali kegagalan Konsep Sistem Pendidikan kita.