Sudah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa aspekpolitik sangat berpengaruh dalam banyak lini kehidupan manusia, Miriam Budiardjo dalam bukunya dasar-dasar ilmu politik mengatakan bahwa politik secara umum dapat dipandang sebagai suatu usaha dalam mewujudkan hidup yang lebih baik.
Dalam pandangan Teologis yang bersandar pada Alkitab sebagai sumber primer umat Kristen, menyatakan bahwa orang Kristen tidak pernah dilarang untuk ikut terlibat dalam berbagai kegiatan politis, banyak cerita Alkitab yang menceritakan terkait bagaimana beberapa tokoh dalam Alkitab lantas terlibat dalam usaha pensejahteraan rakyat lewat tindakan-tindakan politik, baik dalam hal pengambilan keputusan atau penentuan kebijakan, serta tindakan-tindakan yang berkaitan dengan usaha-usaha penyelesaian masalah kenegaraan (lih. Kel 18:25-26, 1 Raj 3:9, 2 Raj 22 – 2 Raj 23:30, Est 8:1-17) Hanya saja dalam pandangan politik secara praktis banyak tindakan-tindakan politik yang dipandang mencederai banyak nilai-nilai moral, khususnya nilai-nilai moral Kristen. Contoh nilai-nilai moral yang dicederai seperti halnya nilai-nilai kejujuran dan kesetiaan.
Dewasa ini kita mengenal suatu fenomena sosial yang disebut dengan istilah “politik identitas”. Politik identitas secara umum dapat diartikan sebagai kegiatan politik yang berdasarkan pada identitas individu baik dari etnis, ras, suku, hingga agama. Bagi sebagian besar orang Kristen, tentu sudah tidak asing lagi jikalau kita mendengar bahkan melihat banyak orang Kristen, khususnya mereka yang hidup ditengah daerah mayoritas Kristen, kemudian mejadikan gereja sebagai suatu instrument politik demi menggait hati para pendukung Kristen.
Tentu saja orang Kristen dituntut agar tidak malu mengakui identitasnya sebagai pengikut Kristus (lih. Mar 8:38) namun masalahnya seperti yang telah disinggung sebelum, bahwa banyak orang Kristen yang mengatas namakan Tuhan untuk mencapai suatu agenda politik tertentu, lebih parahnya jika kepentingan politik yang ingin diraih adalah untuk memperoleh suatu kepentingan bagi dirinya sendiri. Filipi 2:2-4 telah menegaskan bahwa orang Kristen janganlah mencari kepentingan untuk dirinya sendiri melainkan haruslah mereka memperhatikan kepentingan orang lain juga.
Dalam menulis tulisan ini, penulis teringat akan satu sosok dalam Alkitab yang biasanya dicirikan sebagai sosok antagonis bagi rata-rata orang Kristen. Sosok yang dimaksud ialah Yudas Iskariot. Salah satu tindakan tercela yang dilakukan oleh Yudas Iskariot adalah ketika ia menjual Yesus. Jika kita mengaitkan praktik politik identitas kristen dengan tidakan Yudas Iskariot, maka dapatlah dilihat suatu persamaan, yaitu para pelaku praktik ini seakan telah menjual Yesus bagi suksesnya agenda politik yang ingin ia lakukan. Yaitu dengan mengatas namakan Tuhan demi pencapaian tujuannya.
Politik identitas juga kerap menyebabkan konflik yang dapat berujung pada masalah perpecahan ditengah kehidupan masyarakat yang berakar dari tindakan penghinaan atau praktik diskriminasi. Tentu masalah-masalah seperti ini merupakan masalah serius yang harus disikapi secara bijak apalagi dalam konteks negara Indonesia yang begitu majemuk. Inilah sebabnya mengapa orang Kristen sebaiknya menjauhi praktik politik identitas dalam kehidupannya sebagai warga negara. Jika memang seorang Kristen memiliki keinginan atau tuntutan untuk masuk lebih jauh dalam ruang lingkup politik praktis, penulis menganjurkan sebaiknya seorang Kristen menggunakan praktik politik adu gagasan demi mencapai suatu agenda politik (dengan catatan agenda politik tersebut bertujuan untuk mensejahterakan publik).
Menjadi pertanyaan, kenapa harus politik adu gagasan? Itu dikarenakan, jika kita memandang praktik politik adu gagasan dari sudut pandang etis teleologis (berfokus pada tujuan) maka dapat dilihat bahwa praktik politik seperti ini jauh dari pada tujuan-tujuan mengadu domba dan mendiskriminasi, namun lebih identik dengan maksud pensejahteraan publik lewat konsep penyusunan program atau gagasan. Orang-orang Kristen tentu tidak diperbolehkan untuk menebarkan kebencian antar satu dengan yang lain, apalagi menebarkan kebencian ditengah kehidupan bemasyarakat ditengah negara yang ia diami sehingga dapat berujung pada timbulnya permusuhan antar individu maupun kelompok (lih Yer.29:7), sedangkan politik identitas kerap memiliki tujuan dalam hal pendiskriminasian dan pengadudombaan antar kelompok dalam kehidupan masyarakat.
Oleh: Erlangga C. G. Paath, S.H