Penulis: Jovano Abraham Alfredo Apituley
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan upaya pembaharuan Hukum pidana Indonesia dengan cara rekodifikasi yang mencakup konsolidasi serta sinkronisasi harmonisasi peraturan Hukum pidana. Tetapi dalam perkembangan keberadaannya saat ini masih banyak menimbulkan Polemik/Perdebatan di tengah-tengah masyarakat.
Pengaturan Hukuman Mati dalam RKUHAP
Pasal 98
”Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat.”
Pasal 99
Ayat (1) “Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.”
Ayat (2) “Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan Di Muka Umum.”
Ayat (3) “Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam UndangUndang. (4) Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Pasal 100
Ayat (1) “Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan mempertimbangkan:
a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana; atau
c. ada alasan yang meringankan.”
Ayat (2) “Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.”
Ayat (3) “Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Ayat (4) “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Ayat (5) “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.”
Tujuan hukum pidana secara umum agar tercapainya keamanan dan ketertiban serta melindungi masyarakat khususnya masyarakat yang ada di Indonesia. Selain itu tujuan hukum pidana dapat dilihat dari aspek social defence dan social welfare, sebagaimana diamanatkan dasar negara Indonesia yakni UUD 1945 (Ferawati 2015).
Secara historis, pidana mati salah satu jenis sanksi yang sudah ada sejak jaman dahulu kala diterapkan di dunia, terutama abad pertengahan untuk berbagai jenis delik-delik yang telah dibuktikan diperbuat oleh seseorang, namun pada zaman itu belum spesifik untuk kejahatan tertentu. Terdapat berbagai cara pelaksanaan pidana mati disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya. (Syafa’at 2012) Cara pelaksanaan pidana mati tersebut contohnya antara lain dibakar, dipenggal, digantung, ditembak, dimasukkan ke dalam kamar gas, kursi listrik, dan lain sebagainya.
Hukuman Pidana Mati dari Kacamata Teori Detterence (Special Prevention)
Penerapan pidana mati adalah sesuatu yang mencekam dialami oleh pelaku tindak pidana, mengharukan bagi orang-orang sekelilingnya yang sebetulnya tidak harus dilakukan sepanjang zaman. Di satu sisi mengharukan, namun di sisi lain penderitaan pidana mati menjadi hal yang membahagiakan bagi yang memiliki hati nurani. (Sahetapy 2007), Pidana mati menimbulkan pro dan kontra dalam pelaksanaannya, dikarenakan pidana mati bersifat kejam, paling berat dan menderitakan bagi pelakunya, dalam sejarahnya paling tua dalam kehidupan manusia (Marlina 2011). Diantara Pro-Kontra Hukuman Pidana Mati yang masih berlangsung, dalam Kitab RKUHP pasal Hukuman Pidana Mati masih dicantumkan, namun ada perbedaan konsepsi dengan pasal yang dicantumkan dalam KUHPidana, yaitu gara. Dalam RUU KUHP, pidana mati tidak lagi dimasukkan kedalam pidana pokok seperti dalam KUHP yang berlaku sekarang, artinya bahwa hukuman mati sudah dikesampingkan dari sifat keharusan (imperatif) ketika hakim menjatuhkan suatu vonis terhadap tindak-tindak pidana tertentu, atau delik-delik khusus tertentu. (lihat pasal 98)
Hukuman Pidana Mati dari Kacamata Teori Restorasi
Jika mengacu dalam Teori Restorasi maka sanksi pidana hanya dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan, artinya untuk mencapai tujuan tersebut maka pada dasarnya dapat diganti dengan sarana-sarana lain yang mungkin lebih efisien. Dengan demikian, berdasarkan teori ini maka suatu sanksi pidana termasuk pula sanksi pidana mati yang dapat dipandang sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan pemidanaan, dapat dihapus atau digantikan dengan sarana lainnya yang dipandang lebih efisien atau lebih baik karena pada dasarnya hukum pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas) dalam penanggulangan kejahatan, bukan sebagai primum remedium (senjata utama) untuk mengatasi masalah kriminalitas.