Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP)

  • Bagikan
Jonathan M Ramisan (foto mlsc)

Oleh : Jonathan M Ramisan

korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.

Tujuan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan sering terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa suatu badan hukum maupun bukan memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktvitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan memunculkan korban yang menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin meluas dan sulit dikontrol. Dengan mudahnya korporasi menghilangkan bukti-bukti kejahatannya terhadaap masyarakat termasuk juga mengintervensi para aparat penegak hukum. Kasus kejahatan korporasi di Indonesia yang pernah mencuat ke-permukaan adalah kasus biskuit beracun pada tahun 1989 yang mengakibatkan sekitar 13 orang meninggal, pelangaran oleh korporasi berkaitan dengan pelanggaran batas maksimal pemberian kredit bagi kelompok usaha dibidang perbankan, pencemaran lingkungan, iklan yang menyesatkan, mark up, merupakan bagian dari bisnis sehari-hari

Korporasi sebagai subjek hukum memang bukanlah hal yang baru dalam hukum pidana. Di Inggris, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah dikenal melalui kasus Birmingham & Glocester Railway Co. pada tahun 1842.Di Belanda, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana secara tegas sudah diakui semenjak berlakunya Wet Economische Delicten (W.E.D) pada tahun 1950, meski terbatas untuk delik-delik yang diatur dalam W.E.D. Pengakuan ini kemudian semakin dipertegas pada perubahan Wetboek van Straftrecht (W.v.S) pada tahun 1976 yang mengakui kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana umum (commune strafrecht).

Secara prinsip setiap tindak pidana harus dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Meski demikian, perlu disadari bahwa dalam konteks hukum khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diakui dan diatur secara tegas mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat KUHP yang saat ini berlaku masih menganut asas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non potest” yang menyatakan bahwa korporasi (badan hukum) tidak dapat melakukan tindak pidana dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana pula.

Di Indonesia kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana saat ini secara khusus baru diakui dalam Undang-Undang yang mengatur tindak pidana di luar KUHP. Hal ini dikarenakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia masih menganut pandangan societas delinquere non potest sehingga belum mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Adapun beberapa Undang-Undang yang sudah mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Berbeda dengan KUHP yang belum mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) sudah mengakomodir kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 48 R-KUHP yang mengatur “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”.

Terlebih lagi kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana,Khususnya dalam

R-KUHP harus di jabarkan secara terperinci/mendalam.Dikarenakan sudah jelas bahwa ada perbedaan yang mendasar antara korporasi dan manusia yang merupakan natuurlijk persoon atau sebagai subjek hukum pidana. Seringkali perbedaan tersebut berdampak pada beberapa konsep dasar seperti penentuan kesalahan, pembuat tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dari korporasi itu sendiri, dan masih banyak hal lainnya.

Selain masalah mengenai unsur kesalahan pada korporasi sebagai subjek hukum, sebenarnya terhadap korporasi sebagai subjek hukum juga muncul permasalahan dalam hal menentukan siapa pembuatnya. Barda Nawawi Arif mengemukakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana, maka harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.Dalam hal ini maka perlu ditentukan terlebih dahulu siapa pembuat tindak pidana tersebut. Menentukan pembuat dalam suatu tindak pidana tidaklah semudah itu. Apalagi tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Meski berkedudukan sebagai subjek hukum, korporasi dalam melakukan perbuatannya tetap dilakukan oleh pengurus.Implikasi dari pandangan seperti itu adalah korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan, melainkan pengurus yang melakukan perbuatan tersebut. Dengan demikian hanya pengurus yang dapat diancam pidana dan dipidana.Menentukan pengurus mana yang bertanggungjawab juga sulit, mengingat kompleksnya bentuk kepengurusan dalam suatu korporasi. Karenanya timbul keraguan mengenai kemungkinan korporasi untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana dan dipidana.

Berdasarkan latar belakang yang di uraikan di atas, maka dapat di rumuskan beberapa masalah di dalam

1. Bagaimanakah pengaturan kejahatan korporasi dalam R-KUHP?

2. Bagaimana pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi menurut Hukum Positif?

Berdasarkan metode penelitian hukum, maka penulisan Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) menggunakan metode yuridis normatif. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mengumpulkan data adalah melalui studi kepustakaan (library research) dan pencarian data melalui internet (online research). Dalam penulisan ini, sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari: (1) Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan- perundang-undangan, (2) Bahan hukum sekunder diambil dari buku-buku literatur, jurnal, artikel, maupun informasi lain yang diperoleh dari media massa.

1) Pengaturan kejahatan korporasi menurut R-KUHP

Kejahatan Korporasi adalah perbuatan korporasi yang direpresentasikan oleh orang yang mewakili korporasi sepanjang dilakukan bertindak atas nama serta untuk kepentingan korporasi, dimana perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dimintakan tanggungjawab secara pidana.

R-KUHP telah mengatur terkait kejahatan korporasi yang dalam hal ini di pasal 45 ayat (2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer, atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.’’pasal ini menjelaskan apa yang di maksut dengan korporasi iru sendiri dan apa yang tergolong dalam Korporasi.

Pada pasal 46 R-KUHP “Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.’’Pasal ini menjelaskan bahwa Ketika unsur-unsur yang tergolong di atas melakukan tindak pidana hal tersebut termasuk dalam tindak pidana korporasi. Pengaturan pasal ini lebih mengarah ke pelaku korporasi itu sendiri/siapa yang bisa menjadi pelaku.

Melihat pasal 47 R-KUHP bahwa “Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.’’Pasal ini lebih mengarah ke pihak penguasa korporasi di luar struktur kepengurusan suatu korporasi.Contohnya Ketika kejahatan korporasi tersebut di lakukan oleh orang yang menginvestasikan dana ke pihak perusahaan/pihak korporasi.

Di pasal 48 R-KUHP mengatakan “Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 dapat dipertanggungjawabkan, jika :

a. termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam

anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi

b. menguntungkan Korporasi secara melawan hukum

c. diterima sebagai kebijakan Korporasi.

Dalam pasal ini menjelaskan terkait pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hal ini Tindakan-tindakan apa yang bisa di kategorikan sebagai tindak pidana korporasi.

Sementara dalam pasal 49 R-KUHP “Pertanggungjawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikenakan terhadap Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi.’’Pasal tersebut kemudian menjawab terkait pertanggungjawaban terhadap kejahatan pidana yang di lakukan oleh korporasi maupun,orang dan pengurus yang terlibat di dalam korporasi tersebut.

Ada pun bentuk kejahatan korporasi secara umum yang dapat di kenakan sanksi

pidana korporasi menurut R-KUHP yaitu kejahatan yang di lakukan oleh pengurus organisasi/korporasi tersebut dan kejahatan perseorangan yang mengatasnamakan korporasi,pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan dibidang perpajakan dengan skala dan ruang lingkup korban yang sangat luas yaitu konsumen, masyarakat dan negara.Kasus-kasus ini kerap kali di temui di Indonesia sering berjalannya waktu maka di buatlah R-KUHP guna mengatur terkait kejahatan-kejahatan tersebut.

Melihat contoh-contoh kasus kejahatan korporasi di atas penjelasannya sudah di atur dan di jelaskan secara pasal per pasal terkait hal-hal apasajakah yang dpat di kategorikan sebagai kejahatan pidana korporasi dan unsur-unsur apasajakah yang dapat di kenakan sanksi pidana dalam R-KUHP

2) Pembuktian dan Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Menurut

Hukum Positif

A.Pembuktian Pidana Korporasi Menurut Hukum Positif

Pembuktian mempunyai dua arti yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas. Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum ntara penggugat dan tergugat adalah benar. Untuk itu pembuktian dalam arti yang luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti terbatas pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat Apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.

Sistem Pembuktian Menurut KUHAP yang sekarang berlaku menganut sistem “negatief wettelijke” yakni sistem menurut undang-undang sampai suatu batas yang tersebut dalam pasal 183, yang berbunyi :

”hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya

Dalam Pasal 183 KUHAP telah diatur syarat-syarat hakim untuk menghukum terdakwa yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah yang ditetapkan oleh undang-undang disertai keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Kata-kata sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, memberikan limit dari bukti yang minimum yang harus digunakan dalam membuktikan suatu tindak pidana.

Alat bukti yang sah terdapat dalam Pasal 184 KUHAP adalah :Keterangan saksi,keterangan ahli,surat petunjuk,keterangan terdakwa

Di Indonesia ada 2 contoh putusan pengadilan terkait dengan pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi yakni Putusan PT GJW dan Putusan PT CND. Dalam kedua putusan itu, kesalahan (mens rea) korporasi dinyatakan terbukti sehingga dikenai pertanggungjawaban pidana. Jika berfokus pada cara pembuktian kesalahan korporasi dalam tindak pidana korupsi menggunakan metode penelitian normatif dengan dua pendekatan yang bisa di pakai yakni pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, dalam menentukan kesalahan korporasi, menitikberatkan pada kesalahan yang dilakukan oleh pengurus korporasi, seperti direktur. Sehingga kesalahan direktur adalah juga sebagai kesalahan korporasi. Kedua, bila dikaitkan dengan teori pertanggungjawaban pidana korporasi maka majelis hakim pada dua perkara korupsi tersebut telah mengadopsi teori identifikasi. Ketiga, perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dan dilakukan oleh direktur sebagai pengurus dianggap sama dengan yang dilakukan oleh korporasi. Keempat, mengenai sanksi pidana pokok, dalam dua putusan a quo adalah sama yakni pidana denda. Kelima, dalam putusan PT GJW selain pidana pokok, korporasi juga masih dikenai pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan. Sedangkan dalam putusan PT CND tidak ada sama sekali sanksi pidana tambahan yang dikenakan kepada terdakwa. Keenam, kedua putusan tersebut, tidak memuat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, padahal sebagaimana diketahui bahwa salah satu cara memulihkan kerugian keuangan negara adalah melalui pidana pembayaran uang pengganti.

Pembuktian pidana korporasi bisa di lihat pembuktikan yang mana Ketika ada pelanggaran yang di lakukan oleh pihak korporasi lalu di adili di pengadilan dan di jatuhkan pidana sebagaimana dalam pasal 23 ayat 1,2,3 R-KUHP ber-isi:

(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi

dan Pengurus.

(2) Hakim menjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada

masing-masing undang-undang yang mengatur ancaman pidana terhadap Korporasi

dan/atau Pengurus.

(3) Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan/atau Pengurus sebagaimana dimaksud

ayat (1) tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang

berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.

Pembuktian dalam Pidana korporasi tergolong menjadi dua bagian,yang pertama bisa di buktikan lewat per-seorangan/pengurus yang melakukan kejahatan korporasi dalam korporasi/organisasi tersebut dan juga dari korporasi itu sendiri.

Perseorangan/pengurus yang di maksud adalah menurut pasal 49 R-KUHP “pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi’’ dan pada PERMA No 13 pasal 1 ayat (10) Tahun 2016.“Pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan pengurusan korporasi sesuai anggaran dasar atau undang-undang yang berwenang mewakili korporasi, termasuk mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, namun dalam kenyataannya dapat mengendalikan atau turut mempengaruhi kebijakan korporasi atau turut memutuskan kebijakan dalam korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.”Dan pembuktianya Ketika seseorang yang berstatus sebagai pengurus korporasi melakukan tidakan pidana korupsi dan mengatas namakan korporasi dengan maksud memperkaya diri sendiri/individual ,Tindakan tersebut bisa tergolong dalam Tindakan pidana korupsi hal ini dapat di kategorikan sebagai Tindakan kejahatan korporasi dan dapat di buktikan “Actus Reus” dan “Mens Rea” nya timbul dari per-seorangan atau Individual.

Pembuktian dari korporasi/perusahaan itu sendiri bisa di lihat dari contoh khasus PT.Lapindo yang melakukan kesalahan prosedur dalam kegiatan pengeboran.dari khasus ini dampak dari lumpur Lapindo memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Dan sampai saat ini warga terdampak penyebab lumpur Lapindo masih terus berbenah memulihkan kondisi hidupnya.Terkait contoh masalah tersebut bisa menjadi pembuktian untuk menjadi landasan Tindakan kejahatan pidana korporasi dan bisa di mintakan pertanggungjawaban pidana pada PerMa no 13 tahun 2016 pasal 4 ayat (1) dan ayat (2)..

(1) Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan

pidana Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi.

(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan

Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:

a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut

atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;

b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau

c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan

pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan

terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak

pidana.

Intinya adalah pembuktian terkait tindakan pidana korporasi bisa di lihat dari tindakan pengadilan yang dalam hal ini ketika pengadilan berhasil membuktikan suatu tindakan pidana korporasi berdasarkan bukti yang ada dan hakim dapat menjatuhkan putusan terkait perbuatan yang di lakukan terdakwa.

B.Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan hukuman terhadap pembuat karena perbuatan yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan hukuman yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan hukuman yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasarkan pada kesalahan pembuat dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana. Dengan demikian kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.

Dalam model pertanggungjawaban pidana korporasi, dikenal adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability), yaitu apabila korporasi melakukan tindak pidana maka penguruslah yang bertanggungjawab. Keberadaan pertanggungjawaban pengganti pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan apakah terhadap seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tidak pidana yang dilakukan oleh orang lain. Dengan perkataan lain apakah perbuatan dan kesalahan seseorang itu bisa dimintakan pertanggungjawabannya kepada orang lain. Pertanyaan ini muncul karena pada dasarnya pertanggung jawaban merupakan hal pribadi.

Teori pertanggungjawaban pengganti dalam hukum pidana juga berkembang dengan pola yang sama seperti yang terjadi dalam lapangan hukum perdata dengan doktrin respondeat superior, dimana pada awalnya korporasi bisa dimintai tanggungjawab pidana atas perbuatan orang yang berada di dalamnya sepanjang tindakan itu tidak dianjurkan atau diperintahkan. Dengan demikian, semula pertanggungjawaban pengganti ini hanya diterapkan pada kasus-kasus dimana seorang bawahan melakukan suatu delik yang terjadi dalam lingkup pekerjaannya, dengan sepengetahuan majikannya yang dilakukan untuk kepentingan korporasi.

Pada awalnya pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan teori pertanggungjawaban pengganti hanya akan bisa dimintakan apabila terjadi dua hal, dan bila tidak satupun tercakup didalamnya, maka korporasi dimaksud hanya bertanggungjawab secara perdata. Kedua hal tersebut adalah: a. Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang itu adalah tindak pidana yang sama seperti dianjurkan oleh korporasi; b. Apabila tindak pidana yang dilakukan seseorang itu merupakan suatu tindak pidana yang lain dari yang dianjurkan, akan tetapi tindak pidana yang terjadi itu merupakan konsekwensi logis dari perbuatan yang dimintakan dilakukannya. Kemudian doktrin ini berkembang, sehingga tanpa kesalahan atau sepengatahuan majikan, maka majikan atau atasan itu bisa dibebani pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan bawahannya berdasarkan prinsip pendelegasian. Dalam hal ini, pergesaran yang terjadi sangat signifikan, dari semula mensyaratkan pengetahuan atas tindakan orang-orang yang berada di dalamnya, hingga kemudian kepada mesti tidak adanya pengetahuan korporasi atas tindak pidana sampai kemudian mesti tidak ada pengetahuan itu tetapi masih bisa dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi.

Seiring dengan perkembangan masyarakat, dirasa sangat perlu untuk menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana agar dapat dibebani pertanggungjawaban pidana apabila melakukan kejahatan, sehingga korporasi dalam menjalankan usahanya tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan hukum dan merugikan masyarakat umum. Hukuman atas segala kejahatan korporasi adalah sebuah persoalan politis. Yang terjadi dalam peristiwa politis adalah tawar-menawar yang mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara. Dalam hitungan hak dan kewajiban, korporasi dibolehkan menikmati hak-hak yang sangat luas dan menciutkan kewajibankewajiban mereka.

Kerugian akibat kejahatan korporasi sering sulit dihitung karena akibat yang ditimbulkannya berlipat-lipat, sementara hukuman atau denda pengadilan acap kali tidak mencerminkan tingkat kejahatan mereka Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan—tidak seperti manusia—tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya.

Contoh dari kejahatan korporasi bisa di lihat dari kasus PT.DGI yang telah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE),”pada khasus ini PT.DGI menjadi tersangka tindak pidana korporasi dalam pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2010. Dalam perkara pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana itu diduga terdapat penyimpangan.Pertama rekayasa dalam penyusunan Harga Perkiraan Sementara (HPS), Kedua rekayasa dalam proses tender dengan mengkondisikan PT DGI sebagai pemenang tender,Ketiga, aliran dana dari PT DGI kepada perusahaan lain dan dari perusahaan Nazaruddin (mantan Bendara Umum Partai Demokrat) pada PPK dan panitia.

Melihat contoh khasus di atas sebagaimana pasal 49 Rancangan-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) terdapat beberapa subjek yang dapat di kenakan pidana korporasi antara lain: pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi.Dan pertanggujawaban pidana korporasi dalam R-KUHP di tuangkan dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) Dalam R-KUHP, sebanyak tujuh pasal mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi enam pasal tersebut yaitu Pasal.(45) sampai Pasal (50) .

Menurut Mudzakkir selaku anggota tim perumus R-KUHP. Sebagai subjek hukum korporasi dapat bertindak penuh dalam tindak pidana. Sehingga korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, tidak hanya pengurus korporasi.

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan dan juga subjek hukum korporasi bersifat abstrak oleh karena itu hukuman yang dikenakan mulai pidana denda, pengambilalihan korporasi hingga pembubaran korporasi.

Pengambilalihan, misalnya ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka korporasi yang bersangkutan di-take over oleh negara meski korporasi tetap beroperasi namun aset perusahaan disita dan operasionalnya dikendalikan oleh negara.Tapi kalau tidak dapat dilakukan maka korporasi bisa dibubarkan,Meski demikian korporasi tak dapat dipidana penjara melainkan hanya pidana denda tetapi jika terdapat keterlibatan pengurus yang menyalahgunakan korporasi maka dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana untuk dan atas nama korporasi.

Pidana terhadap pengurus korporasi dapat dikenakan kurungan badan Pasal 49 menyatakan, jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Salah satu yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional pada umumnya, terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:

a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh

kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional dan

sistem organisasi yang kompleks.

b. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan dengan

kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah yang

ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang

serta berjalan bertahun-tahun.

c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas

akibat kompleksitas organisasi.

d. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimazation)

e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution) sebagai

profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku

kejahatan.

f. Peraturan yang tidak jelas (ambigution law) yang sering menimbulkan kerugian dalam

penegakan hukum.

g. Sikap mendua status pelaku pidana. Harus diakui bahwa pelaku kejahatan korporasi

pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi apa yang

dilakukan memang merupakan perbuatan ilegal.

Indonesia sendiri, dalam pengaturannya mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, memiliki tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro dalam makalahnya mengemukakan model pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai berikut.

1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang

bertanggungjawab

2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab

3) Korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggungjawab.

Model pertanggungjawaban Pidana korporasi ini sebenarnya berkaitan dengan tahapan-tahapan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro.

Dalam hal ini R-KUHP menjadi landasan yang mengatur terkait tindakan Pidana Korporasi dan juga pertanggungjawaban pidana atas tindakan Pidana Korporasi tersebut sehingga menjadi penyeimbang hukum karena yang kita tahu bersama bahwa di anggap tidak adil jika korporasi tidak di kenakan hak dan kewajiban sama halnya denga manusia dikarenakan Korporasi juga dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability),lewat hal inilah yang memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana.

Dari hasil penelitian terkait “Pertanggung Jawaban Tindak Pidana Korporasi dalam RKUP”dapat di simpulkan bahwa pentingnya aturan khusus yang mengatur terkait tindak Pidana Korporasi ini, Korporasi dilakukan guna memenuhi kepentingan yang tidak dapat dipenuhi oleh individu manusia. Sudah menjadi kodrat dari manusia bahwa setiap manusia pasti memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan yang harus dipenuhi ini yang kemudian menjadi dasar dari naluri manusia untuk bertahan hidup. Akan tetapi ada kalanya kebutuhan tersebut tidak terpenuhi sehingga manusia melakukan usaha usaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut.

R-KUHP mengatur terkait tindakan Pidana Korporasi dan juga pertanggungjawaban pidana atas tindakan Pidana Korporasi tersebut sehingga menjadi penyeimbang hukum karena yang kita tahu bersama bahwa di anggap tidak adil jika korporasi tidak di kenakan hak dan kewajiban sama halnya dengan manusia,dikarenakan Korporasi juga dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability),lewat hal inilah yang memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana.

Maka dari itu R-KUHP telah mengatur terkait tindak Pidana Korporasi tersebut dikarenakan belum di atur secara jelas tentang tindak Pidana Korporasi serta pertanggungjawaban pidanannya dalam KUHP.

 

1) Perlu adanya sosialisasi guna menjelaskan gambaran terkait R-KUHP ini sebelum

disahkan .

2)Perihal pertanggungjawaban tindakan Pidana Korporasinya hendaklah di berikan

kepada segala pihak yang melanggar tanpa ada pengecualian agar efektifitas dari R-

KUHP tersebut tetap ada.

Daftar Pustaka

 

Buku:

Prof.Dr.D.Shaffmeister,Prof.Dr.N.Keijoer,Mr E.PH Sutorius “Hukum

Pidana”Yokyakarta;liberty 2011.

W.E.D, J.M. van Bemmelen, “Hukum Pidana 1”,Bandung: Binacipta, 1987

Prof.Dr.Muladi,Prof.Dr.Dwidja Priyanto

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”Jakarta kencana 2010.

Prof.MR.Roeslan Saleh “Perbuatan pidana dan Pertanggungjawaban pidana”Aksara baru , Jakarta 1983

Dr.M. Natsir Said “Hukum Perusahaan di indonesia” Bandung , Alumni 1987

Jan Remmelink, “Hukum Pidana”, Cet 1.PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta, 2003

Mahrus Ali, “Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi”, Jakarta 2015

R. Supomo , Taufiqul Hulam, 2002

 

Makalah/Jurnal

Paulus Aluk Fajar Dwi Santo, Dalam jurnalnya “Tinjauan tentang SUBJEK HUKUM KORPORASI DAN FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN DALAM TINDAK PIDANA” Jln. Kemanggisan Ilir III No. 45,Jakarta Barat

Mardjono Reksodiputro, makalahnya “Pertangungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi”, Semarang: FH-UNDIP, 1989

E Evatrianta, Jurnal “Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana” 2019

Muhamad .M S.Wijaksana , Jurnal “Pengaturan korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana” (EKSISTENSI & PROSPEKNYA), Jakarta 2020

Hariman Satria , Jurnal ,”Kesalahan Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi”Universitas Muhammadiyah Kendari ,november 2015

Hasbullah f.sjawie, “Pertanggungjawaban pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: prenada media, 2015

 

PERATURAN

Peraturan Makhama Agung Republik Indonesia ,No 13 Tahun 2016 pasal 1 ayat (10

Peraturan Makhama Agung Republik Indonesia ,No 13 Tahun 2016 pasal 4 ayat (1) dan (2)

 

Internet/Media

Hukum.online.com, Pertanggungjawaban pidana korporasi menurut Mudzakkir , lewat wawancaranya

https://www.hukumonline.com/berita/a/pertanggungjawaban-pidana-korporasi-dalam-rkuhp-lt51722dac4e7a7/ (di akses pada 08 maret 2022)

Hukum.online.com Teori Pertanggungjawaban pidana,di akses dari

https://info-hukum.com/2019/04/20/teori-pertanggungjawaban-pidana/ (di akses pada 08 maret 2022)

 

 

  • Bagikan