“Pendidikan Tinggi Adalah Kebutuhan Tersier” Wacana Indonesia Emas Kini Menjadi Indonesia Cemas

  • Bagikan
M. Giok Ramadhan

Penentuan besaran biaya kuliah didasarkan pada kemampuan ekonomi mahasiswa, namun masing-masing kampus memiliki ketentuan tersendiri mengenai besaran uang kuliah tunggal (UKT) yang harus dibayar, kata Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi. Selain UKT, ada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia yang mewajibkan mahasiswa membayar uang pangkal pada saat diterima di perguruan tinggi diantaranya, Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, dan beberapa Perguruan Tinggi Negeri lainnya.

Eskalasi dari demonstrasi yang dilakukan oleh banyak mahasiswa di beberapa universitas di Indonesia dipicu karena Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim telah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri atau PTN di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Peraturan baru ini mengganti peraturan sebelumnya, yakni Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020. Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 itu mengatur soal batas maksimal biaya kuliah di seluruh PTN.

Beberapa waktu kemarin Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Tjitjik Tjahjandarie, mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Menanggapi mahalnya UKT di PTN, ia menyebut bahwa kebutuhan kuliah di perguruan tinggi saat ini bersifat tersier. Istilah pendidikan tersier secara teknis merujuk pada pendidikan setelah tingkat menengah. Namun, penggunaannya dalam konteks ini sangatlah tidak tepat. Ketika masyarakat dipusingkan dengan mahalnya biaya pendidikan, menyebut pendidikan tinggi sebagai “tersier” hanya menambah kebingungan dan frustasi.

Akses terhadap pendidikan tinggi adalah hak yang seharusnya dapat diakses dan diberikan kepada semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang mampu membayar dengan biaya besar. Adanya pernyataan bahwasanya pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier sangat mencederai amanat UUD 1945, pada alinea keempat yang mengamanatkan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun, tingginya biaya pendidikan saat ini membuat impian ini sulit terwujud bagi banyak orang.

Fakta sosial di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghargai pendidikan tinggi, memang sangat wajar jika ada pernyataan bahwasanya “pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier” terlebih lagi itu dinyatakan oleh pejabat tinggi Kemendikbudristek pernyataan tersebut menuai banyak kecaman dari masyarakat. Bagi banyak keluarga di Indonesia pendidikan tinggi merupakan hal yang didambakan karena pendidikan tinggi adalah investasi penting untuk masa depan. Melalui pendidikan tinggi, individu berharap dapat memperbaiki kualitas hidup dan keluar dari jerat kemiskinan. Sayangnya, hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa merasakan pendidikan tinggi tanpa beban finansial yang berat.

Kesenjangan akses terhadap pendidikan tinggi masih menjadi masalah utama di Indonesia. Banyak anak-anak bangsa yang berbakat namun, terpaksa mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena kendala ekonomi. Pernyataan dari pejabat tinggi Kemendikbudristek yang menganggap pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang tersier telah menunjukkan kondisi masyarakat yang sebenarnya, hal tersebut sama saja dengan mengatakan akses terhadap pendidikan tinggi adalah sesuatu yang eksklusif, yang mana hanya seseorang dengan taraf ekonomi menengah keatas yang diperbolehkan untuk menentukan pilihan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Ini adalah tantangan besar bagi bangsa Indonesia terutama pada aspek pendidikan, fakta yang sangat memilukan bahwa Indonesia adalah negara yang menempati posisi ke-4 dengan penduduk terbanyak akan tetapi hanya 8,5% penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan hingga pada jenjang perguruan tinggi. Lalu, pejabat tinggi negara menganggap pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier? Selama perguruan tinggi dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif di Indonesia maka menuju Indonesia emas hanya akan menjadi angan belaka, bahkan kini wacana menuju Indonesia emas menjadi Indonesia cemas.

Pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata untuk memastikan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tidak lagi menjadi beban berat bagi masyarakat. Program beasiswa, subsidi biaya pendidikan, dan kebijakan pembiayaan yang adil dan tepat sasaran harus menjadi prioritas utama. Dengan pendekatan yang berbasis data dan sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, hingga kita dapat memastikan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia tidak lagi menjadi hak istimewa yang hanya bisa di akses oleh sebagian kecil orang, tetapi menjadi hak dasar yang bisa dinikmati oleh semua orang.

Oleh : M. Giok Ramadhan

  • Bagikan