Pawang Hujan Rara, Pawang Politik?

  • Bagikan
Prayer A.A Paruntu ( Mahasiswa Ilmu Pemerintahan)

Penulis : Prayer Paruntu (Mahasiwa Ilmu Pemerintahan Unsrat)

Perhelatan MotoGP Mandalika beberapa bulan yang lalu menyisakan cerita sampingan. Pawang hujan Rara Isti Wulandari. Cerita Rara tersebar ke seantero dunia, menjadi pernak-pernik MotoGP Manadalika. Rara diminta membantu panitia mengatasi hujan di Sirkuit Mandalika. Dan, aksinya terbilang berhasil meskipun tentunya bukan faktor tunggal. Pro dan Kontra terjadi. Hal biasa di era demokrasi. Semuanya bebas berpendapat.

Kisah Rara meredup. Kini, wacana publik ramai dengan isu politik masa jabatan presiden tiga periode. Dalam acara Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) di Istora Senayan, Ketua Umum Apdesi Surta Wijaya memberikan keterangan kepada pers, akan membuat deklarasi masa jabatan presiden tiga periode setelah Lebaran.

Silatnas Apdesi, Selasa, 29 Maret 2022. Sehari sebelumnya, 28 Maret 2022, Kementrian Dalam Negeri mengeluarkan surat keterangan terdaftarnya Apdesi sebagai ormas. Surat keterangan terdaftar itu ditandatangani pejabat Kementerian Dalam Negeri. Silatnas dihadiri Presiden Joko Widodo, Mendagri Tito Karnavian, Menteri Desa PDTT Abdul Halim Iskandar, dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan. Menkopolhukam Mahfud MD tidak kelihatan hadir.

Langkah Apdesi ini cukup berani secara politik. Pada 2 Desember 2019, Presiden Jokowi berbicara didepan pemimpin redaksi media massa.”Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya; yang kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka; yang ketiga, ingin menjerumuskan,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam kesempatan berikutnya, nada pernyataan presiden berubah menjadi taat dan hormat konstitusi. Penyampaian aspirasi itu bagian dari demokrasi.

Dalam wawancara dengan jurnalis Kompas TV, Ketua Umum Apdesi, Surta Wijaya, mengatakan, wacana tiga periode itu spontan saja. Ia melanjutkan, “Itu ibarat anak sama orangtua. Ketika permohonannya dikabulkan, anaknya teriak masing-masing. Saya pikir bukan hanya Pak Jokowi saja. Siapa pun yang jadi pemimpin, jangankan tiga periode, seumur hidup pun enggak apa-apa, sepanjang baik memimpinnya.” Dikejar pewawancara bahwa usulan tiga periode bertentangan dengan konstitusi, Surta menjawab, “Kalau di desa tidak seperti itu. Itu urusan DPR dan MPR.”

Keesokannya, klaim Surta dibantah pengurus Apdesi yang lain, yang dipimpin Arifin Abdul Madjid Suryadilaga. Ia memegang SK Kementerian Hukum dan HAM, 20 September 2021. Apdesi tidak pernah melakukan deklarasi mendukung masa jabatan Presiden Jokowi tiga periode .

Apdesi terbelah. Apdesi Surta dicatat Kementerian Dalam Negeri dan Apdesi Arifin yang memegang surat Kementerian Hukum dan HAM yang merasa namanya dicatut oleh Apdesi Surta.

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden telah membelah publik. Partai politik terbelah.

Terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu 

Pada Sabtu, 4 Juni 2022, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggelar acara Silaturahmi Nasional di Jakarta. Silaturahmi Nasional pertama tersebut digelar sebagai kelanjutan pembicaraan elite partai. Komunikasi yang dilakukan sangat intensif setelah KIB dideklarasikan oleh tiga ketum partai pada 22 Mei 2022 di Jakarta.

Forum Silatnas KIB menghasilkan keputusan yang sangat penting untuk perjalanan politik ke depan. Kesepakatan yang mengikat dan menguntungkan para pihak. Dengan resminya mereka berkoalisi akan berdampak proses kerja politik berikutnya. Koalisi akan membagi wilayah kerja sama dan keputusan kerja menjadi kepentingan kolektif. Lantas apa tujuan pembentukan KIB dan bagaimana langkah strategis untuk mencapai tujuannya? Isu santer yang urgen dibicarakan tentunya berkaitan dengan persiapan kontestasi pemilu 2024. Baik secara individu maupun kolektif setiap partai dan koalisi akan fokus pada pemenangan pileg dan pilpres yang akan digelar pada 14 Februari 2024.

Barometer kemenangan setiap partai adalah menguasai parlemen. Sementara barometer koalisi adalah memenangkan capres-cawapres dan membentuk kabinet koalisi. KIB diciptakan oleh para pendirinya untuk membentuk kekuatan politik baru ditengah-tengah kekuasaan yang sedang berjalan di pemerintahan Presiden Jokowi. Koalisi ini hadir sebagai penjaga pemerintahan saat ini, koalisi baru di luar koalisi politik pengusung dan pendukung Jokowi sebelumnya.

Semua ketum dalam KIB merupakan pembantu Jokowi, yakni Ketum Golkar Airlangga Hartarto (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian), Ketum PPP (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas) dan Ketum PAN yang baru saja direshuffle pada 15 Juni 2022 dipercayakan Presiden untuk menjadi Menteri Perdagangan. Dapat disebutkan bahwa KIB adalah koalisi bayangan dari koalisi parpol pendukung pemerintah. Garis besar pembentukan koalisi ini dianggap sebagai infrastruktur politik baru untuk mengawal pemerintahan.

Mereka sadar bahwa koalisi gemuk yang sedang menopang pemerintahan Jokowi tidak bisa disatukan lagi dalam agenda politik selanjutnya. Banyak faksi dan fraksi kepentingan yang berbeda. KIB sengaja dibentuk untuk membendung kekuatan politik dan strategi mendapatkan bargaining baru di lingkaran Pemerintahan. Ingat, koalisi parpol pendukung Jokowi periode kedua sangatlah gemuk. Jokowi sudah berada pada posisi periode ke dua menjadi presiden dan tidak bisa mencalonkan lagi ke tiga kalinya. Usia pemerintahan Jokowi tinggal dua tahun lagi. Hal ini menyebabkan terjadinya kompetisi dan gesekan sangat kuat di internal parpol koalisi.

Pembentukan KIB menurut analisa penulis telah mendapatkan restu Jokowi. Presiden mengetahui dan memberikan lampu hijau pembentukan KIB. Presiden sangat membutuhkan dukungan koalisi baru untuk memastikan pemerintahan berjalan mulus hingga akhir masa jabatan. Hubungan mutualisme. Presiden mendapatkan jaminan dukungan di permanen hingga akhir pemerintahan, sementara presiden memberikan banyak imbalan dan iming-iming bagi parpol yang ada di dalam koalisi. Penulis juga melihat jika KIB didesain untuk menangkap peluang dalam perebutan calon presiden. KIB jauh-jauh hari memastikan persiapan infrastruktur koalisi parpol yang solid ditambah logistiknya yang melimpah. Tinggal menuju satu langkah strategisnya, yakni memilih pasangan capres dan cawapres.

Jika partai lain masih dalam skala menggagas koalisi, KIB sudah pada level penjaringan calon presiden. KIB secara konstitusional mendapatkan tiket mengusung pasangan cawapres dan cawapres karena sudah melampaui syarat ambang presiden atau presidential threshold. Perburuan capres sejak dini akan banyak menguntungkan koalisi. KIB sadar minimnya elektabilitas ketiga Ketum partai sehingga mereka harus lompat pagar, mencari tokoh potensial di luar partai. KIB menyediakan wadah yang sudah solid sehingga banyak tokoh akan tertarik masuk dalam daftar capres. Kerja KIB kedepan juga akan memberikan manfaat buat internal masing-masing partai. Efek ekor jas akan meningkatnya elektabilitas partai yang menginduk di KIB. Itu posisi sekarang, entah minggu depan karena “operasi” berjalan.

Siapa Pawang Politik?

Entah ormas atau lembaga mana lagi yang akan terbelah atau dibelah untuk kepentingan kekuasaan. Seorang politisi senior di Sulawesi Utara curhat tentang kondisi negeri saat ini yang terbelah atau dibelah. Katanya isu gorden DPR yang lalu hanyalah isu pinggiran untuk mencuri perhatian, sementara operasi politik di balik gorden berjalan. “Ini siapa pawang politiknya. Kalau pawang hujan rara bisa mengalihkan hujan, apakah pawang politik ini bisa menunda pemilu dengan menabrak konstitusi,” ujarnya.

Mantan pejabat teras bercerita, sejarah sedang berulang. Gaya dan pola “kebetulan tekad” seperti Orde Baru sedang terjadi dan bisa saja terus terjadi. Penulis mencoba menelisik pola “kebulatan tekad” di media-media informasi yang tersedia. Pada 15 Mei 1990 misalnya ada berita, “Gubernur Boleh Menyampaikan Pernyataan Kebulatan Tekad.” “Mendagri Rudini menanggapi Kebulatan Tekad 22 Kyai untuk Presiden Soeharto”. Kemudian, berita 5 Juni 1990 berjudul, “Pernyataan Kebulatan Tekad 100 Ulama di Jatim”. Hari Jumat, 1 Mei 1992, ada berita berjudul, “Halalbihalal Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa”. Acara dilangsungkan di Gedung Granada yang isinya “doa politik” agar Presiden Soeharto dipilih kembali. Acara itu diprakarsai Menko Kesra Alamsyah Ratu Prawiranegara. Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Tjahjo Kumolo pada 28 April 1992 mengeluarkan pernyataan tidak mendukung doa bersama untuk Presiden Soeharto. “Sikap kami menolak cara yang berkecenderungan memolitisir sejumlah aktivitas dengan tujuan tertentu yang tidak mendidik,” kata Tjahjo dikutip dari kompas, 1 Mei 1992.

Membaca serial berita di media massa, rasanya panggung depan sedang berulang. Ada kebulatan tekad, ada doa politik, ada pembelahan sosial. Situasi ini sebenarnya mencemaskan. Kita ketahui bersama bahwa masa lalu selalu aktual. Sejarah itu selalu memberi pelajaran kepada kita semua (historia docet). Lihatlah pada sejarah Orde Baru dan Soeharto. Kekuasaan itu memabukkan dan membuat orang bekerja keras untuk mempertahankan kenikmatannya selama mungkin. Nicole Machiavelli dalam buku Il Principe – kitab suci pemburu kekuasaan-menulis bagaimana kekuasaan didapat dan kemudian dipertahankan. Saya teringat pada ayat alkitab yang terdapat pada Pengkhotbah 1:9 “Tak ada sesuatu yang baru dibawah matahari.”

  • Bagikan