Menjelaskan Mengapa Netizen Mendiskreditkan Demonstrasi Mahasiswa Manado

  • Bagikan
Tangkapan layar komentar di salah satu postingan Instagram @soalmanado

Penulis : M. Taufik Poli (Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Indonesia Manado) 

“Kage le cuma tau momasa mie deng beking aer panas mo stel ba demo se stabil tu minya goreng. Doi minya le cuman ja minta pa sebe deg ajus stow mo stel tuntut tolak kenaikan BBM” – Sabda Netizen Manado

Setelah melakukan proses konsolidasi cukup alot, dimulai sekitar pukul 19.30 dan berkahir pada 06.30 12 April pagi, sekitar 25 organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Sulut Bergerak memutuskan untuk menggelar aksi demonstrasi pada pukul 12.00 hari itu juga. Dengan titik kumpul di Taman Makam Pahlawan, mahasiswa melakukan long march ke kantor DPRD Provinsi SULUT. 8 poin tuntutan disampaikan dihadapan pimpinan DPRD Provinsi SULUT. Seperti lazimnya anggota DPR lainnya, “surga telinga” disampaikan ke mahasiswa untuk berjanji akan mengawal aspirasi ini ke DPR-RI dalam jangka waktu 7 hari.

Hal menarik pasca aksi justru bukan terletak pada aksi itu sendiri, tetapi justru respon sebagian netizen yang berkomentar dalam akun-akun media sosial yang mengunggah aksi mahasiswa di Manado. Mayoritas komentar bernada “mencela” daripada mengapresiasi. Seperti komentar netizen pada umumnya, komentar-komentar tersebut sangat minim substansi serta hanya mencerminkan ketidaktahuan. Tetapi ada juga komentar yang mendukung aksi mahasiswa tersebut, walau sudah pasti jumlahnya sedikit. Dari situasi tersebut, menarik untuk didiskusikan: mengapa aksi mahasiswa Manado 12 April kemarin direspon negatif oleh sebagian netizen kota Manado?

Ada dua hal yang akan menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama berkaitan dengan budaya politik masyarakat kota Manado, kedua berkaitan dengan kekurangan gerakan mahasiswa Manado itu sendiri. Hal pertama bersifat kritik terhadap budaya politik masyarakat, dan hal kedua bersifat otokritik terhadap gerakan mahasiswa.

Fanatisme Buta Menggantikan Budaya Politik Demokratis

Dalam sebuah tatanan demokrasi yang mapan, salah satu faktor yang akan memperkuat tatanan tersebut adalah budaya politik masyarakat yang bersifat demokratis. Budaya politik demokratis secara sederhana adalah keterlibatan warga negara secara aktif di dalam urusan-urusan publik. Partisipasi dalam kerangka kepublikan menjadi esensi dari artikulasi kebudayaan politik demokratis.

Di Sulawesi Utara secara umum dan kota Manado secara khusus, budaya politik demokratis ini digantikan oleh fanatisme buta terhadap figur Joko Widodo. Sulawesi Utara dalam pemilihan presiden 2019 lalu menjadi daerah dengan kemenangan telak bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf dengan angka 77,29%. Artinya, daerah ini menjadi basis politik signifikan, sehingga berpengaruh terhadap dukungan ke pemerintah yang terpilih.

Perlu untuk menjelaskan mengapa Jokowi-Ma’ruf menang secara telak di Sulawesi Utara. Dalam pandangan penulis, hal tersebut tidak bisa lepas dari polarisasi akibat artikulasi politik identitas yang mewarnai pertarungan pemilihan presiden pada 2019 lalu sebagai salah satu sebab kemenangan Jokowi-Ma’ruf di Sulawesi Utara. Polarisasi tersebut menghasilkan pembelahan politik antara kelompok Islamis-konservatif yang mendukung Prabowo-Sandi, serta kelompok nasionalis-pluralis pendukung Jokowi-Ma’ruf.

Secara demografis, Sulawesi Utara dan kota Manado mayoritas pemeluk agama Kristen. Komposisi yang demikian menyulitkan bagi masyarakat disini untuk menyerahkan pilihan politik ke kubu Prabowo-Sandi yang berkoalisi dengan kelompok Islamis-konsevatif. Belum lagi strategi kampanye kelompok nasionalis-pluralis pendukung Jokowi-Ma’ruf yang mengidentikan kelompok Islamis-konservatif pendukung Prabowo-Sandi sebagai kelompok yang akan memperjuangkan negara Islam.

Pada akhirnya, dari hal tersebut, selain akan memperkuat dukungan suara, juga memunculkan militansi irasional untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf.

Militansi tersebut perlahan-lahan berubah menjadi fanatisme buta ketika masyarakat Sulawesi Utara tidak mampu mengambil posisi kritis untuk menilai kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang bermasalah, sebaliknya, mereka mendukung apapun kebijakan itu hanya berdasarkan keberpihakan fanatis terhadap Jokowi-Ma’ruf. Bahkan, dalam komentar-komentar netizen, mereka membenarkan perpanjangan masa jabatan presiden asalkan presidennya tetap Joko Widodo. Singkatnya, terjadi keabsenan nalar kritis yang justru sangat diperlukan untuk budaya politik demokratis warga.

Selain fanatisme buta pendukung Jokowi-Ma’ruf, hujatan kepada demonstrasi mahasiswa juga datang dari segmen kelas menengah apolitis. Kelas menengah kota Manado ini tidak menjadi kekuatan politik dengan kebudayaan politik demokratis, tetapi hanya sebagai kelas yang mengedepankan kemewahan (glamour) dan (pleasure). Mereka tidak memperdulikan situasi politik, tetapi ketika terjadi gejolak politik, justru menjadi pencela bagi kekuatan politik masyarakat yang menginginkan perubahan.

Singkatnya, mereka menjadi pendukung kekuasaan dominan ketika kelompok penentang kekuasaan tersebut menginginkan adanya perubahan kondisi. Perubahan, bagi kelas menengah apolitis ini, sama artinya dengan merampas kemewahan dan kesenangan mereka. Bahkan secara ironis, celaan kelas menengah apolitis ini juga datang dari mahasiswa itu sendiri yang hanya menaruh sinisme ke teman-temannya yang sedang berjuang tanpa memberikan rasionalisasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Hal-hal di atas menjadi pendukung makin lemahnya budaya politik demokratis masyarakat Sulawesi Utara secara umum, dan masyarakat kota Manado secara khusus. Budaya politik demokratis diganti dengan fanatisme buta yang menghilangkan nalar kritis publik untuk menilai pemerintahan, serta kelas menengah yang berkaraktek apolitis yang menjadi pelengkap akan kematian perlahan budaya politik demokratis di daerah ini.

Gerakan 1% Aktivis Mahasiswa

Selain kritik ke kebudayaan politik demokratis masyarakat, kritik juga harus ditujukan ke dalam gerakan mahasiswa itu sendiri. Kita harus mengakui bahwa gerakan mahasiswa di Sulawesi Utara, khususnya Manado, hanya dimotori oleh sebagian elite-elite organisasi mahasiswa. Hal ini bukan berarti bahwa memberikan porsi lebih besar ke mahasiswa yang “bukan elite” untuk memotori gerakan, walaupun hal tersebut tidak salah. Melainkan adalah membuat gerakan mahasiswa itu tidak eksklusif dengan menjangkau kelas masyarakat bawah.

Selama ini kelemahan gerakan mahasiswa kota Manado adalah tidak dapat menjangkau segmentasi kelas masyarakat bawah, yaitu bagaimana melibatkan kelas masyarakat bawah untuk terlibat bersama dalam perjuangan demokratis. Sekat-sekat identitas keorganisasian mahasiswa makin memperkuat eksklusivisme gerakan mahasiswa, sehingga perjuangan mahasiswa seolah-olah hanya  merupakan perjuangan mahasiswa itu sendiri, alih-alih perjuangan kelas masyarakat bawah.

Hal lain adalah pola perjuangan mahasiswa kota Manado yang masih sangat konvensional. Tidak ada platform media bersama sebagai wahana agitasi dan propaganda yang efektif untuk membentuk wacana publik. Karena hal ini, gerakan mahasiswa tidak mampu untuk bertarung wacana dalam sosial media. Kita bisa melihat bahwa, betapa lemahnya gerakan mahasiswa berhadapan dengan media-media yang mendiskreditkan gerakan tersebut, serta penggiringan opini publik yang dilakukan oleh akun-akun media sosial dengan followers yang besar.

Dalam ragam kelemahan dan kekurangan gerakan mahasiswa tersebut, apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiwa kota Manado untuk bisa menjadi kekuatan politik alternatif atas kekuatan politik dominan?(*)

  • Bagikan