Penulis: Fikli Olola (Ketua PC IMM Kota Manado)
Ritual demokrasi bisa saja ditaati, tetapi kapasitas negara untuk mengelola urusan bersama kita sesungguhnya sudah dilucuti oleh kepentingan privat kelompok-kelompok bisnis,” George Soros (2000).
Hakim bisa punya putusan, tentara boleh punya senapan, tetapi pemodal dan sifatnya bisa membeli keputusan dan penggusuran. Gagasan tentang locus utama negara ada pada kekuasaan terhadap masyarakat; masih bersifat negara sentris (state centris) (Herry-Priyono; 2021). Sampai hari ini kita melihat dua gejala yang tumbuh:
Pertama setiap ketidakberesan sosial (termasuk perampasan ruang hidup) kita akarkan pada dominasi aparatur negara. Kebanyakan mengutip Hobbes–dengan menggambarkan negara sebagai “Leviathan” (sejenis pemangsa yang menakutkan). Padahal fakta penegakkan (law enforcement) bukan sekedar perkara tak-bergiginya pemerintah, tetapi soal kekuasaan bisnis dengan mudah mendikte aparatur negara, hingga akhirnya tak bergigi. Maka, kalim tentang pemerintah sebagai pucuk kekuasaan dalam masyarakat merupakan klaim di atas upaya yang mulai kehilangan substansi. Dalam tata Ekonomi-politik hari ini–dengan pengandaian desentralisasi kekuasaan lokal; kekuasaan bisnis telah menjadi Leviathan baru. Singkatnya kekuasaan besar bisnis lebih sering tidak terkontrol meski diperlukan sebagai faktor penjelas. Misalnya pada kasus yang telah dan sedang di perjuangkan dalam konteks lokal Sulawesi Utara; salah satunya yang dirasakan oleh Petani Penggarap Kalasey Dua.
Kedua tanpa alas-realitas ( bertolak dari fakta persoalan disekitar). Yang lebih parah dari klaim di atas kertas bahwa “pemerintah merupakan pucuk kekuasaan dalam masyarakat” (Leviathan). Adalah dengan di ikutinya klaim isu nasional yang seolah-olah sedang mewakili keberpihakan–dan seakan terus membicarakan ‘semua’ aspek kesinambungan hidup bersama. Maksud saya bukan hal itu tidak penting. Tapi bagaimana dengan kekuasaan bisnis, yang telah menjadi Leviathan baru? Apalagi ketika hal ini Beriringan dengan relasi predatorial dan desentralisasi kekuasaan bisnis lokal. Fakta tanpa alas realitas ini sangat disayangkan karena masih dimotori oleh kebanyakan gerakan Mahasiswa hari ini: BEM dan sebagian organisasi Ekstra parlementer lainnya. Tanpa disadari gerakan sedang tersungkur pada dua keterjebakan sekaligus: Pertama terjebak pada kalaim “negara sentris”–tanpa bisa membaca “kekuasaan bisnis”, sebagai Leviathan baru. Kedua terjebak pada kajian dan aksi momentual, sikap dan posisi yang justru menjadi salah satu diantara—bagi kelancaran kekuasaan bisnis (Leviathan baru), maka tak jarang kita menemukan gerakan yang telah jauh dari fakta kehidupan sosial dalam konteks lokal.
Bagaimana kekuasaan-Bisnis Lokal; Merenggut Tanah Para Petani Penggarap Kalasey Dua
Pada titik ini tidak ada yang lebih baik dari mempertahankan fakta kehidupan di tengah-tengah gempuran Neoliberalisme: Kekuasaan-Bisnis. Mempertahankan Fakta kehidupan seperti mempertahankan fakta “kepengaturan rumah tangga”, atau apa yang Xenophon dan Aristoteles artikan sebagai “Oikos nomos”. Yakni, Modal finansial (Money Capital) dan tenaga kerja (labour), yang selalu disyaratkan oleh keberadaan “Tanah” Bagi kepengaturan rumah tangga. Yang dimaksud “tanah” di sini, bukan sekedar situs produksi atau bahan mentah, tetapi partikukaritas spasial atau wilayah geografis tempat hidup komunitas kultural politis. Itulah patria (latin) bagi Tanah Air. (Harry-Priyono; 2020).
Hal inilah yang dirasakan oleh para petani penggarap Kalasey Dua. Di mana kekuasaan bisnis, telah menjadi fakta Determinasi “Fundamentalisme Pasar” dan “Etatisme-Politk”; sebuah fakta yang tumbuh dan menyatakan bahwa Negara hari ini merupakan pusat kekuasaan-Bisnis (Levhiathan baru). Hal ini lebih jelas saat dikeluarkannya SK. Hibah No.368 oleh Pemerintah Provinsi (Gubernur Sulawesi Utara), kepada Kementerian Pariwisata RI atas objek Tanah Masyarakat Kalasey Dua, SK Hibah Pemprov ke Kemenparekraf (untuk pembangunan Politeknik Parawisata). Padahal tahun 1986, Kementrian Pusat melalui kementerian dalam negeri (Kemendagri) RI menerbitkan surat keputusan (SK) Kemendagri No. 341/DIA/1986 sebagai objek redistribusi bekas HGU (pelaksanaan land Reform) atas tanah tersebut. Yang sebelumnya kekuasaan-Bisnis ini telah menanam luka kepada masyarakat ketika hampir keseluruhan tanah petani telah dihibahkan kepada BAKAMLA 6 Ha. BRIMOB 20 Ha. Beserta embel-embel janji yang diberikan.
Melihat Pikiran-Pikiran Utuh para petani dalam melawan Kekuasaan-Bisnis (Perampas Tanah)
Di hari keempat saya bersama Masyarakat dan kawan-kawan Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua (Solipetra). Tidak cukup rasanya bagi saya—yang terlambat hadir bersama warga, jika tidak ikut mengarsipkan keutuhan semangat dan pikiran-pikiran para warga. Meski semangat itu masih pada bentuk penggalan-penggalan pengalaman yang didapatkan selama 4 hari “Fun-Work“, menjelang perayaan Festival Pisang. Di sini saya benar-benar sedang di uji oleh kekayaan pengalaman dan perjuangan Masyarakat.
Ketika kawan-kawan datang ke Kalasey Dua, awal mula yang akan kawan-kawan temui selain YLBHI (LBH Manado). Di Masyarakat kawan-kawan akan bertemu Mami, Oma yo’, Om Deni, Omandiyo’, Aron serta warga yang lain. Oma Yo’–dengan kekayaannya pengalaman akan ‘sejarah Tanah’ sejak dari kakaek-nenek dan orang tua mereka. Bahkan Oma Yo’ masih bisa menjelaskan dengan utuh jejak PT Asiatik 1912-1928. Bertemu Om Deni kita akan merasakan semangat mengorganisir dan penyadaran, bahwa tanah ini telah ada sejak dulu dari keberadaan Masyarakat Kalasey Dua, maka mempertahankannya ialah keharusan yang tak bisa diganggu-gugat, apa lagi hanya untuk memenuhi keinginan rente para pemerintah (Baca; kekuasaan-Bisnis). Dengan Mami’, kita bisa menemukan kegigihan perjuangan yang utuh dalam mempertahankan Tanah. Deretan luka lama yang dirasakan: Hibah Tanah kepada; Bakamla, Asrama Brimob, serta Rumah Sakit Ratumbuisang, membuat Mami’ tak mau lengah lagi untuk berjuang. Dan pastinya dengan bertemu Aron, perjuangan kawan-kawan dan para petani yang antusias, akan lebih terasa. Aron, adalah seorang pemuda berusia 25 tahun, pemuda yang tak pernah putus asah–siang dan malam menemani perjuangan seluruh Solidaritas Petani Penggarap Kalasey Dua (Solipetra) di Asrama perjuangan dan posko petani.
Dari Aron lah kita menemukan semangat anak mudah yang tak pernah surut dari nafas perjuangan hingga saat ini. Aron lah yang selalu membuat saya selalu diliputi renungan panjang, saat pertama hari di Posko Perjuangan “Solipetra”. Di hari-hari pertama berada di Posko, Aron mengajak saya menjejaki sembari merenungi hidup para Petani di atas kebun produktif mereka, yang telah diturunkan sejak dari para nenek moyang mereka. Tanah yang utuh dan telah memenuhi hajat hidup anak & cucu mereka. Aron yang menandai penyalinan kenyataan atas kehidupan para petani di didepan hamparan dan bentangan tumbuhan pisang, yang selama ini menjadi komoditi utama para petani Kalasey Dua. Sebagai anak rantau yang hidup di Manado, bertemu pisang adalah kemewahan. Itu pun kalau pakai uang. Pisang hanya bisa ditemui saat ke pasar, Coffee-coffe, atau di Boulevard tempat para pedagang pesisir berjualan. Tanpa disadari semuanya merupakan hasil pertanian Petani Kalasey Dua, hyang menjadi _Suplayer_ utama pisang di kota-kota dan kabupaten diluar. Utamanya Manado dan Minahasa. Melalui pisang kesinambungan hidup di Manado (kerja, budaya, agama dsj) bisa kita rasakan. Belum dengan komoditi yang lain, seperti kelapa, Pala, cengkih, buah-buahan, dan kebutuhan-kebutuhan pangan para warga petani penggarap Kalasey Dua. Sembari memberi informasi, sekejap Aron terlihat marah. Marah karena tanah ini jelas bukan hak dan lahan Konservatif seperti yang diandaikan oleh kekuasaan-Bisnis. “kenapa harus dirampas?,” Aron menggantungkan pertanyaan: Kepada Kekuasaan-Bisnis, dan kepada kalian yang belum melawan.(*)