Menakar Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah (Pembentukan Perda Captikus di Sulawesi Utara)

  • Bagikan
Erlangga C. G. Paath (foto MLSC)

Negara Indonesia merupakan negara yang berazaskan demokrasi dan berkedaulatan rakyat, sebagaimana hal tersebut tercermin didalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu didalam Pasal 1 Ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi demikian “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sebagaimana azas kedaulatan rakyat yang telah diamalkan dalam Konstitusi Negara Indonesia sudah seharusnya dijalankan dan diperjuangkan dengan sebagaimana mestinya.

Konsep partisipasi masyarakat tentunya sangatlah penting didalam menjalankan pemerintahan khususnya jalannya pemerintahan yang ada di Negara Indonesia guna mewujudkan azas kedaulatan rakyat yang telah diamalkan oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia.

Adapun juga pengertian dari kedaulatan rakyat demokrasi dapat pula merupakan teori kedaulatan yang memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpijak pada keinginan rakyat (demos = rakyat, krator = pemerintah).

Tentunya konsep partisipasi masyarakat sendiri beserta dengan asaz demokrasi, sangatlah dibutuhkan dalam hal proses pembuatan peraturan. Tidak hanya dalam konsep pembuatan peraturan perundang-undangan saja namun juga sangat berperan penting didalam pembuatan peraturan daerah.

Melihat permasalahan yang ada di Sulawesi Utara, khususnya dalam hal pembuatan Perda Captikus, yang mana banyak warga masyarakat Sulawesi Utara sangat mengharapkan pemerintah Daerah Sulawesi Utara bersamaan dengan DPRD Provinsi Sulawesi Utara agar dapat memberikan legalitas terhadapat Captikus yang merupakan kearifan Lokal Masyarakat Sulawesi Utara. Berkaca dari keadaan sosiologis masyarakat Sulawesi Utara, bahwa tidak sedikit dari masyarakat Sulawesi Utara yang berprofesi sebagai petani Captikus untuk mencukupi kebutuhan seharihari baik dalam menghidupi keluarga maupun dalam mencukupi biaya pendidikan anak dalam proses pendidikan dibangku sekolah maupun dalam proses perkuliahan pada perguruan tinggi sehingga menjadi suatu harapan bagi para masyarakat Sulawesi Utara pada umumnya dan secara khusus bagi para masyarakat yang berprofesi sebagai petani Captikus, agar sekiranya pemerintah daerah Sulawesi Utara dapat memberikan legalitas bagi Captikus yang sekali lagi dikatakan, merupakan kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara dan sebagai mata pencaharian sebagian masyarakat Sulawesi Utara, adapun captikus sendiri merupakan minum yang mengandung alkohol dan bukan seperti ganja yang mengandung unsur narkotika didalamnya.

Tentunya dalam hal pembuatan Perda Captikus, juga diperlukannya sumbangsi yang besar dari berbagai golongan yang ada dalam kesatuan masyarakat Sulawesi Utara sehingga azas kedaulatan rakyat dapat betul-betul terlaksanakan, serta perlu juga kita bedah terkait dengan kedudukan Perda dalam sistem peraturan PerundangUndangan yang ada di Indonesia agar sekiranya produk hukum dalam hal ini Perda Captikus dapat betul-betul disusun berdasarkan konsep-konsep hukum positif yang ada.

Rancangan Perda Captikus sendiri, pada saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Daerah (PROLEGDA) Sulawesi Utara. Adapun juga proses pembuatan Perda Captikus tidaklah dapat terlepaskan dengan UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah karena didalam UU No.23 Tahun 2014 tersebut dengan jelas telah mengatur terkait proses perumusuan Peraturan Daerah.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, selanjutnya dapat pula diajukan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Kedudukan Perda Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia?

2. Bagaimana Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan PerdaCaptikus Menurut UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah?

Dalam penelitian Hukum ini, penulis memilih metode penelitian Yuridis Normatif. Adapun pengertian dari Penelitian Yuridis Normatif atau Penelitian Hukum Normatif, yakni berasal dari bahasa inggris, normatif legal research, dan bahasa Belanda yaitu normatif juridish onderzoek. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doctrinal atau penelitian hukum dogmatik atau penelitian legistis yang dalam kepustakaan Anglo America disebut sebagai legal research merupakan penelitian internal dalam disiplin ilmu hukum.

Penelitian hukum normatif (legal research) biasanya “hanya” merupakan studi dokumen, yakni menggunakan sumber bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan, keputusan/ketetapan pengadilan, kontrak/perjanjian/akad, teori hukum, dan pendapat para sarjana. Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktrinal, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktrinal, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum. Disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen, disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Adapun juga menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, menjelaskan penelitian hukum normatif adalah “penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan (data sekunder). Dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (di samping adanya penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer)’.

A. Kedudukan Perda Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan NRI

Sebelum kita masuk lebih jauh mengenai kedudukan Perda dalam sistem peraturanperundang-undangan yang ada di Indonesia, marilah terlebih dahulu kita membahas menegenai konsep sistematika atau hierarki perundang-undangan. Ada satu teori terkenal yang senantiasa membahas mengenai sistem atau teori perundangundangan, adapun teori yang dimaksud yaitu Stufenbeautheorie.

Stufenbeautheori

Adalah “teori hukum positif, tetapi bukan berbicara hukum positif pada suatu sistem hukum tertentu, melainkan suatu teori hukum umum. Paparan Hans Kelsen dalam Stufenbeautheorie bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya hukum itu berasal, hingga muncul dalam peraturan hukum positif. Stufenbeautheorie adalah bagian ilmu hukum (legal science) dan bukan soal kebijakan hukum (legal policy)”. Stufenbeautheorie memandang bahwa Hukum harus sistematik artinya hukum harus disusun dari yang umum sampai khusus seperti piramida terbalik prosesnya disebut sebagai konkritisasi.

Grundnorm adalah sumber dari segala sumber hukum, atau nilai hukum, di Indonesia yaitu Pancasila dengan kelima silanya. Posisi Grundnorm berada di luar piramida, artinya bukan merupakan hukum, dalam pandangan Stufenbeautheorie. Selanjutnya diturunkan menjadi hukum yang umum yaitu Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang undangan yang berada di bawahnya hingga peraturan terkhusus yang bersifat konkret. Hukum juga mengandung Norma hukum yaitu petunjuk pedoman prilaku, isinya adalah apa yg boleh dan apa yang tidak boleh.

Kedudukan Perda dalam UUD NRI 1945 

Peraturan Daerah atau Perda, sebenarnya memiliki kedudukan yang strategis apabila kita berkaca pada konstitusi Negara Republik Indonesia, sebagaimana Perda sendiri diatur dalam Pasal 18 Ayat 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yang mana berbunyi demikian “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Perda sendiri tentunya tidak hanya sebagai penjabar peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, namun Perda sendiri juga merupakan suatu instrumen hukum bagi pemerintah daerah didalam menjalankan pemerintahan dan mensejahterakan rakyat didalam daerah yang bersangkutan.

Kedudukan Perda Dalam Ketetapan MPR Nomor III/MRP/2000

Adapun dalam pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, yang senantiasa mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang mengatur demikian:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

7. Peraturan Daerah.

Serta dalam Pasal 3 Ayat 7 Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 juga mengatur secara khusus tentang Perda, serta berbunyi demikian:

“Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.

Perda sendiri tentunya tidak hanya sebagai penjabar peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, namun Perda sendiri juga merupakan suatu instrumen hukum bagi pemerintah daerah didalam menjalankan pemerintahan dan mensejahterakan rakyat didalam daerah yang bersangkutan.
Kedudukan Perda Dalam Ketetapan MPR Nomor III/MRP/2000
Adapun dalam pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, yang senantiasa mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang mengatur demikian:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.

Serta dalam Pasal 3 Ayat 7 Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 juga mengatur secara khusus tentang Perda, serta berbunyi demikian:
“Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.

a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah propinsi bersama dengan gubernur.

b. Peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.

c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.”

Adapun juga proses lebih lanjut dalam membentuk dan pelaksanaan Peraturan Daerah (PERDA) diatur lebih lanjut didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Kedudukan Perda Dalam UU No.12 Tahun 2011

Juga apabila kita melihat kedudukan Perda dalam peraturan perundangundangan yang ada, dalam hal ini menurut Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang mana berbunyi demikian:

“(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana  dimaksud pada ayat (1).”

B. Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perda Captikus Menurut UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 

Kata partisipasi sendiri apabila dipandang dari sudut pandang terminology atau arti kata menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ialah dapat berarti “perihal turut berperan serta di suatu kegiatan; Keikutsertaan; peran serta;”. Adapun partisipasi Masyarakat dalam hal ini ditujukan dalam hal keikut sertaan masyarakat terhadap urusan pemerintahan, sehingga masyarakat mampu memberikan sumbangsinya sebagai warga negara sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang mana berbunyi demikian: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”

Philipus M. Hadjon (1997:4-5) mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik “openheid” maupun “openbaar-heid” sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak. Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon (1997:7-8) bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.

Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang masalah dalam tulisan ini, bahwa pada saat ini Raperda Captikus atau Rancangan Peraturan Daerah Captikus telah dimasukan dalam Prolegda Sulawesi Utara. Tentunya dalam pembuatan Perda dibutuhkannya partisipasi masyarakat, guna memenuhi keinginan rakyat agar terciptanya keadaan yang demokratis serta peraturan yang dibuat betul-betul dibuat atas aspirasi masyarakat khususnya masyarakat yang paling terdampak akan permasalahan tersebut. Dalam hal pembuatan Perda Captikus tentuya diperlukan kegiatan dengar aspirasi para petani captikus, bahkan para masyarakat terkait lainnya.

Adapun juga proses lebih lanjut dalam membentuk dan pelaksanaan Peraturan Daerah (PERDA) diatur lebih lanjut didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Kedudukan Perda Dalam UU No.12 Tahun 2011
Juga apabila kita melihat kedudukan Perda dalam peraturan perundangundangan yang ada, dalam hal ini menurut Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Yang mana berbunyi demikian:
“(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
B. Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perda Captikus Menurut UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Kata partisipasi sendiri apabila dipandang dari sudut pandang terminology atau arti kata menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ialah dapat berarti “perihal turut berperan serta di suatu kegiatan; Keikutsertaan; peran serta;”. Adapun partisipasi Masyarakat dalam hal ini ditujukan dalam hal keikut sertaan masyarakat terhadap urusan pemerintahan, sehingga masyarakat mampu memberikan sumbangsinya sebagai warga negara sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 1
Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang mana berbunyi demikian: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”

Philipus M. Hadjon (1997:4-5) mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik “openheid” maupun “openbaar-heid” sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak. Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon (1997:7-8) bahwa sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mempunyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.

Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang masalah dalam tulisan ini, bahwa pada saat ini Raperda Captikus atau Rancangan Peraturan Daerah Captikus telah dimasukan dalam Prolegda Sulawesi Utara. Tentunya dalam pembuatan Perda dibutuhkannya partisipasi masyarakat, guna memenuhi keinginan rakyat agar terciptanya keadaan yang demokratis serta peraturan yang dibuat betul-betul dibuat atas aspirasi masyarakat khususnya masyarakat yang paling terdampak akan permasalahan tersebut. Dalam hal pembuatan Perda Captikus tentuya diperlukan kegiatan dengar aspirasi para petani captikus, bahkan para masyarakat terkait lainnya.

Adapun bunyi Pasal 237 UU.No 23 Tahun 2014 berbunyi demikian:

“(1) Asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

(2) Pembentukan Perda mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan Perda.

(4) Pembentukan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara efektif dan efisien.”

Jelaslah dalam Pasal 237 Ayat 3 UU.No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah telah menyatakan tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan perda. Tentunya partisipasi masyarakat tidak boleh dianggap enteng oleh pemerintah daerah Sulawesi Utara bersamaan dengan DPRD Provinsi Sulawesi Utara dalam proses perumusan Raperda Captikus yang saat ini telah masuk dalam Prolegda.

Dalam pasal 237 Ayat 3 UU No.23 Tahun 2014 tersebut juga menjelaskan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan. Menjadi tugas para akademisi juga agar sekiranya dapat membantu proses pembuatan Perda Captikus lewat bergabai kajian yang dapat mendukung pembuatan Perda Captikus sehingga Perda Captikus dapat betul-betul menjadi produk hukum yang berkualitas. Juga menjadi tugas pemerintah daerah Sulawesi Utara bersama dengan DPRD Provinsi Sulawesi Utara untuk mengadakan berbagai program penyerapan aspirasi masyarakat khususnya para masyarakat yang paling merasakan dampak dari Perda Captikus ini, sehingga produk hukum yang nantinya terbentuk dapat betul-betul memiliki unsur partisipasi masyarakat didalamnya, niscaya Perda Captkus dapat menjadi suatu produk hukum yang dapat efektif dalam penerepannya.

Adapun juga dalam konsep partisipasi masyarakat dalam hal pembuatan peraturan daerah. Bahwa pemerintah diharuskan untuk mendengar aspirasi masyarakat karena dalam hal pembuatan perda, masyarakat memiliki hak untuk didengarkan (right to be hear) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 237 Ayat 3 UU No.14 Tahun 2014 yang telah disinggung diatas. Pemerintah juga tidak dapat membatasi berbagai aspirasi yang masuk dalam hal pembuatan Perda Captikus karena sebagaimana semua warga negara mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapatnya sesuai dengan amanat konstitusi, yang diatur dalam Pasal 28E Ayat 3 UUD NRI 1945, yang mana berbunyi demikian: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”

Karena sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat sendiri bahwa Kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan yang demokratis oleh rakyat dapat dipinjamkan atau didelegasikan kekuasaan membuat keputusan atau kebijakan itu kepada legislative, eksekutif, yudikatif, administrator, atau kepada siapapun yang dikehendaki sebagai wakilnya. Rakyat dikatakan berdaulat sepanjang mereka, bukannya wakilnya, masih mempunyai kekuasaan tertinggi (ultimate power) untuk memutus, dimana kekuasaan membuat keputusan tetap berada ditangannya dan yang bisa didelegasikan kepada siapa saja yang bisa bertanggung jawab pada periode waktu tertentu.

J.J. Rousseau mengemukakan bahwa pemberian kekuasaan kepada pemerintah didalam paham demokrasi ini adalah melalui “perjanjian masyarakat” (social contract) yang berkonsekuensi bahwa jika dalam menjalankan tugasnya pemerintah itu bertindak secara bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka pemerintah itu dapat dina’zulkan (dijatuhka) oleh rakyatnya.

Dalam pembentukan Perda diperlukannya konsep partisipasi masyarakat agar sekiranya azas kedaulatan rakyat yang telah diamanatkan oleh konstitusi dapat betulbetul diterapkan dengan baik dan prinsip negara demokrasi juga dapat betul-betul tercipta dengan sebagaimana mestinya. Konsep partisipasi masyarakat dalam pembuatan Perda Captikus juga senantiasa menjadi salah satu konsep pokok dalam pembentukan produk hukum tersebut guna menciptakan Peraturan Daerah yang betul-betul mengakomodir kepentikan masyarakat sebagaimana telah diatur jelas didalam Pasal 237 Ayat 3 UU.No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.

Perlu dilaksanakannya kegiatan dengar pendapat para masyarakat Sulawesi Utara yang sekiranya dapat di fasilitasi dan dilaksanakan secara masif oleh DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara dalam hal pembentukan Perda Captikus, khususnya mengadakan kegiatan dengar pendapat para petani captikus, serta segala unsur masyarakat yang paling merasakan dampak dari pembuatan Perda Cap Tikus tersebut. Juga sebaiknya dan bahkan seharusnya para akademisi yang ada di Sulawesi Utara dapat menyumbangkan pengetahuannya dalam berbagai kajian dalam bentuk tulisan yang dapat membantu pembentukan Perda Captikus niscaya Perda Captikus dapat betul-betul menjadi produk hukum yang efisien dalam penerapannya bagi kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang ada di daerah Sulawesi Utara.

Daftar Pustaka

Buku

MD Moh Mafud, S.H, S.U, 2001, “Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia”, Jakarta : PT Rineka Cipta, Edisi 2.

T. Miftha, 2008, “Birokrasi Pemerintah Indonesia Di Era Reformasi”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Edisi 1.

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, (Mataram: Mataram University Perss. 2020), Edisi.1

Jurnal

Ari Yuliartini Griadhi Ni Made – Sri Utari Anak Agung, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008

FX. Samekto Adji, ‘Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatiffilosofis’, Jurnal Hukum Progresif, 7.1 (2019).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  • Bagikan