Masih Mahasiswa kok Belaga Elite, Bestie?

  • Bagikan
M. Taufik Poli (foto istimewa)

Penulis: M. Taufik Poli

Jika Sampean berharap tulisan ini akan ilmiah seperti tulisan-tulisanku sebelumnya yang penuh referensi, tersistematisasi, penuh teori, kebakuan bahasa, and so on – and so on (begitu Zizek menyebutnya), maka silahkan berhenti membaca sebelum Dirimu lanjut ke alinea berikutnya.

Jadi gini yah, Bestie! Diriku sering ngeliat perilaku orang-orang disekitar yang kelihatannya sangat eksklusif cum elitis, bukan hanya soal penampilan (karena bukan itu soalnya), melainkan “circle” pergaulannya. Kaum yang ini hanya menyerap semua nilai-nilai dari kaumnya saja, dan membentuk keseragaman perilaku mereka. Oleh karena mereka menyerap nilai-nilai elitis, nilai itu kemudian membentuk perilaku yang elitis juga.

Bukan! Ini bukan teori Sosiologi Pengetahuan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam “The Social Construction of Reality“. Diriku berani bersumpah bahwa tulisan ini dibuat tanpa membaca karya tersebut sebelumnya.

Kita lanjutkan soal keresahan ini. Jangan jauh-jauh mengasosiasikan kaum elite itu kepada pejabat, elite politik, atau pebisnis terkemuka. Karena kenyataannya mereka memang elite. Tapi kaum elite yang Diriku maksud adalah mahasiswa. Bukan mahasiswa secara keseluruhan, loh yah. Tapi hanya beberapa, setidaknya mereka yang dapat terdeteksi oleh indera penglihatanku saja.

Mahasiswa elitis ini hanya pengen bergaul sesama elite, tapi tidak hanya terbatas bergaul dengan elite mahasiswanya saja, melainkan termasuk pejabat, elite politik dan elite bisnis. Mereka merasa besar diri ketika ada dalam lingkungan elite itu.

Tapi karena elite mahasiswa ini adalah elite kelas bawah, mereka terlihat lucu ketika berinteraksi dengan elite kelas atas. Misalnya, mereka harus menunduk ketika menyambut elite kelas atas itu, atau membukakan pintu mobil layaknya supir pribadi.

Tapi apa yang terjadi ketika elite mahasiswa (baca: elite kelas bawah) ini berinteraksi dengan kelompok yang lebih di bawah mereka?

Saat berinteraksi dengan kelompok yang lebih di bawah mereka, elite mahasiswa ini kadang terlalu lebay mempertontonkan ke-elitan mereka. Mereka sering terlihat jagoan dalam forum tongkrongan, apalagi kalau ada junior-juniornya. Biasanya sesama elite mahasiswa berada dalam satu meja, sedangkan junior-junior dan mereka yang “kasta rendahan” berada dalam satu meja yang sama.

Sekilas ini mirip praktik apartheid yang dilakukan orang kulit putih terhadap orang kulit hitam di Afrika masa lampau: yang kulit hitam harus dengan yang kulit hitam, gak bisa gabung sama yang glowing. Tapi itulah kenyataannya, watak elitis mereka sangat liar untuk mendapatkan legitimasi oleh lingkungan sekitarnya. Pengakuan adalah yang utama.

Elite mahasiswa ini antusias kalau berurusan dengan kalangan elite lainnya (antusiasnya ke atas), tapi males banget kalau ngurusin hal-hal kecil pada orang yang “kecil” (tidak antusias ke bawah).

Jika mau dinyatakan dengan singkat watak elitis mereka, sederhananya gini: Mereka pengen terlihat besar dihadapan orang kecil. Padahal mereka gak tau, kalau dihadapan elite sungguhan mereka bertindak kayak budak. Tujuannya apa sih? Biar bisa mendapatkan prestise sosial kalau mereka itu circle-nya bukan kaleng-kaleng.

Sorry aja nih, Bestie, kalau ada yang tesinggung. Tulisan ini gak bermaksud bikin mereka sadar. Tapi setidaknya lewat tulisan ini mereka bisa bisa lihat kalau ternyata mereka bukan apa-apa dihadapan elite beneran.

Ini kayak mental inlander tau! Pribumi yang meniru perilaku dan gaya tuan-noni Belanda biar bisa terlihat berkuasan dimata Pribumi lain. Tapi semuanya ternyata semu, karena budak beneran tidak akan telihat jagoan di depan majikan.

  • Bagikan