Si Tou Timou Tumou Tou. Rangkaian kata ini pasti sangat familiar di telinga kita masyarakat Sulawesi Utara. Kalimat petuah dari Dr. Sam Ratulangi yang memiliki arti ‘Manusia Hidup Untuk Memanusiakan Orang Lain’ ini sudah menjadi falsafah hidup serta jati diri masyarakat Minahasa yang masih dihidupi hingga saat ini.
Begitu banyak arti serta tafsiran yang dapat ditarik dari kalimat tersebut. Saling menolong, saling membantu, kebersamaan dalam bermasyarakat, merupakan bentuk-bentuk implementasi dari petuah tersebut.
Adapun salah satu aksi yang mewujudnyatakan Si Tou Timou Tumou Tou adalah Mapalus.
Mapalus (gotong-royong) merupakan warisan budaya masyarakat Minahasa yang sudah secara turun-temurun diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Praktek gotong-royong ini, mengungkap semangat dan praktek saling tolong menolong dengan bersama-sama dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Dengan membantu sesama anggota masyarakat, kita telah menghidupi semboyan ‘Manusia Hidup Untuk Memanusiakan Orang Lain’ ini.
Umumnya, kegiatan Mapalus bertujuan untuk membantu satu sama lain antar anggota Mapalus, baik membantu dalam suasana sukacita maupun dalam dukacita.
Budaya yang berdasar pada rasa kebersamaan ini berasaskan kekeluargaan, keagamaan, dan persatuan dan kesatuan. Bentuk Mapalus, antara lain: Mapalus tani, Mapalus nelayan, Mapalus uang, Mapalus bantuan duka dan perkawinan; dan, Mapalus kelompok masyarakat. Dengan pada awalnya berakar pada budaya pertanian di desa-desa, hingga budaya gotong royong juga diterapkan pada bidang-bidang kehidupan komunitas masyarakat lainnya.
Tempo dulu, Mapalus sangat dihormati oleh masyarakat Minahasa. Mapalus bukan hanya sekedar suatu “kerjasama” (cooperation) yang bekerjasama untuk suatu kepentingan belaka, melainkan suatu keutuhan hidup “kerja bersama” (working togetherness) dalam bidang ekonomi, budaya, organisasi, manajemen kerja bersama, masyarakat, keagamaan, pertahanan dan keamanan.
Sampai detik ini, budaya Mapalus masih dilaksanakan, rasa sepenanggungan masih dirasakan, namun masyarakat modern ini sudah banyak yang meninggalkan budaya Mapalus ini sehingga esensi dari budaya ini yaitu rasa kebersamaan dan rasa gotong-royong sudah semakin terkikis digantikan dengan rasa individualisme.
Inilah pertanyaan bagi generasi muda saat ini. Apakah kita hanya akan membiarkan sebuah warisan budaya hilang ditelan modernisasi? Atau kita menjadi agen-agen penerus yang melestarikan warisan budaya peninggalan para tetua kita? Masa depan kebudayaan masyarakat kita ada di tangan kita.
Penulis: Clara Sigarlaki