Ketika Hukum dan Akal Sehat Diuji di Bumi Nyiur Melambai

  • Bagikan

Pernyataan resmi Kapolda Sulawesi Utara dalam konferensi pers mengenai dugaan tindak pidana korupsi oleh Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Pdt. Hein Arina, sontak menggemparkan publik. Nama pemuka agama sebesar Pdt. Arina yang disebut sebagai tersangka dalam kasus dana hibah dari Pemprov Sulut ke Sinode GMIM menyulut beragam reaksi masyarakat Sulawesi Utara, khususnya di media sosial.

Publik terbelah. Ada yang melontarkan hujatan keras, namun tidak sedikit pula yang justru menyatakan dukungan penuh kepada Pdt. Arina. Fenomena ini memperlihatkan dua hal yang menurut penulis patut menjadi bahan refleksi kita bersama.

Pertama, budaya menghakimi yang makin menguat di ruang publik digital. Tanpa menunggu proses hukum berjalan secara tuntas, masyarakat—seolah menjadi hakim—langsung menjatuhkan vonis. Padahal, asas praduga tak bersalah adalah prinsip fundamental dalam sistem hukum kita. Sayangnya, prinsip ini kerap terabaikan ketika kasus menyangkut tokoh agama atau figur publik.

Kedua, sensitivitas masyarakat yang selektif terhadap isu-isu keagamaan. Ketika isu menimpa pemuka agama, suara publik menggema kencang. Namun, ketika pemerintah menerbitkan kebijakan yang merugikan rakyat, seperti pemangkasan (efisiensi) anggaran yang menyasar pelayanan publik, kelangkaan gas elpiji 3 kg akibat kebijakan ngaco Kementerian ESDM, pembentukan lembaga kontroversial seperti Danantara, atau revisi UU TNI yang membuka peluang dwifungsi militer kembali, justru minim respons. Bahkan, suara-suara kritis dari akademisi, mahasiswa, dan masyarakat sipil sering kali dibalas dengan ejekan oleh sesama warga.

Apakah kita telah kehilangan kepekaan terhadap ketidakadilan yang sistemik? Apakah hanya karena pelakunya bukan figur agama, kita memilih diam?

Tentu, tindakan korupsi adalah persoalan serius dan tidak bisa ditolerir. Namun publik juga perlu konsisten: kritis terhadap semua bentuk penyimpangan, siapa pun pelakunya baik itu pemuka agama, politisi, ataupun aparat negara. Kita tidak bisa hanya “berisik” ketika tokoh keagamaan diduga bersalah, lalu bungkam ketika negara melukai keadilan publik.

Di tengah gempuran informasi dan emosi kolektif, mari kita rawat akal sehat dan keberpihakan pada kebenaran. Bukan pada siapa pelakunya, tapi pada prinsip dan nilai yang diperjuangkan.

Oleh: Mesias Rombon

  • Bagikan