Feodalisme Dalam Hubungan Gereja dan Negara: Refleksi Bagi Gereja Masa Kini

  • Bagikan

Kata gereja berakar dari terjemahan kata Yunani yaituEkklesia. Ek yang artinya keluar dan kaleo berarti memanggil. Jadi, jika diartikan kata Eklesia berarti dipanggil keluar, yaitukeluar dari kehidupan lama menuju kedalam persekutan bersamadengan Yesus Kristus. Kadang-kadang gereja dalam Bahasa Yunani juga disebut Kuriakos yang artinya milik kepunyaanAllah (Robert Borrong, 2019). Gereja juga dalam pengertiannyadapat dimaknai sebagai persekutuan orang yang terpanggil oleh Firman Allah dalam Yesus Kristus. Gereja dapat menyatakandiri dalam kehidupan jemaat-jemaat, kelompok-kelompok dan juga dalam kehidupan pribadi (Drewes & J. Mojau, 2011).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodalisme dapatdijelaskan sebagai suatu sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat serta bukan mengagung-agungkan prestasi kerja. Dalam pengertian lainnya, feodalismedapat diartikan sebagai struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan oleh kalangan bangsawan atau monarkiguna mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melaluikerjasama dengan para pemimpin lokal sebagai mitra.  Dalampengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawanpada sistem politik di Eropa pada abad pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya(vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebutfeif atau dalam bahasa latin feodum) yang ditunjuk oleh monarki(biasanya raja). (Syofian Idian, 2022).

Dalam beberapa pengertian diatas, dapat dijelaskan bahwafeodalisme merupakan suatu sistem pemerintahan yang menempatkan pengaruh status sosial sebagai sebuah instrument kekuasaan untuk mempengaruhi struktur kehidupan sosial yang berada dalam ruang lingkup pengaruhnya.

Ketika Gereja pertama kali berdiri pada tahun 30-an M, kehidupan jemaat pada mulanya sangak bercorak sosialis, hal inidibenarkan oleh adanya penjualan harta benda yang hasilnyadibagi-bagikan di antara semua jemaat sesuai dengan keperluanmasing-masing (lih. Kis. 2:44). Namun ciri sosialis yang dimaksud tidaklah bersifat formal, itu dikarenakan bentuk-bentuk pemberian antar sesama jemaat tidaklah diatur denganresmi, pun tidak diharuskan; tambahan lagi, bahwa hak masing-masing anggota untuk memiliki harta benda tidaklah diperkosa(Kis.5:4). Tiada berapa lama pangkat diaken atau syamasdiadakan untuk melayani orang-orang miskin, yaitu semuajemaat yang membutuhkan bantuan. (H. Berkof & I. H. Enklaar, 1990). Ini kemudian membuktikan bahwa suasana feodalismetidak ada dalam persekutuan para jemaat di masa gereja mula-mula. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh banyaknyapenganiayaan yang dialami oleh jemaat Kristen pada masa itu, sehingga mereka menumbuhkan suatu kesadaran hidup bersamayang tinggi, oleh karena Kekristenan di wilayah romawi pada masa sekitar abad pertama sampai abad ketiga adalah suatuminoritas yang dimusuhi oleh negara (Kekaisaran Romawi).

Seiring berjalannya waktu, gereja mulai diterima oleh Kekaisaran Romawi kala itu. Dengan dikeluarkannya edikMilano sekitar tahun 313 M oleh Kaisar Konstantinus I, makaKekristenan terbebas dari segala penganiayaan yang dilakukanoleh para kaisar sebelum Konstantinus I. Lama kelamaan Gerejamulai dianakmaskan. Negara lantas memberi banyak uang, misalnya untuk mendirikan Gedung-gedung gereja. Negara memaksa semua sekte-sekte Kristen untuk masuk menjadianggota Gereja. Walaupun Konstantinus dahulu membiarkanagama-agama non kristen tetap ada, namun para penggantinyamemerintahkan untuk menutup rumah-rumah berhala dan melarang orang untuk menyembah kepada dewa-dewa. Puncaknya, yaitu pada tahun 380 M, Kaisar Theodosisuskemudian mengeluarkan peraturan bahwa segenap rakyat harusmenganut agama resmi kekaisaran romawi, yaitu agama Kristen yang ortodoks. (Th. Van Den End, 1991).

Peristiwa-peristiwa diatas dapat dikata menjadi permulaanhubungan antar gereja dan negara, alhasil ketika peristiwa-peristiwa itu terjadi maka banyak orang yang sebelumnya tidakberagama Kristen kemudian meminta untuk dibaptis dan menjadi Kristen, kemudian banyak warga gereja yang juga inginmemegang posisi-posisi atau jabatan-jabatan penting didalamtubuh gereja. Hal itu dikarenakan ketika seseorang pada saat itumenjadi seorang pejabat gereja, maka secara tidak langsung iamemiliki banyak hak istimewa ditengah kehidupan masyarakat.

Setelah kaisar Theodosius I meninggal sekitar tahun 400 M, maka Kekaisaran Romawi dibagi menjadi dua bagian, yaituKekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur. Tidak lama setelah pembagian itu dilakukan atau sekitar 100 tahun setelah perintah untuk menjadikan agama Kristen sebagaiagama negara, maka sekitar tahun 476 Kekaisaran RomawiBarat pun diruntuhkan oleh orang-orang bar-bar di eropa pada saat itu. Peristiwa itu mengakibatkan mundurnya peradabanKristen di dataran eropa, sebab suku-suku yang meruntuhkankekaisaran romawi barat adalah suku-suku yang berpegang pada agama kesukuannya masing-masing.

Setelah keruntuhan romawi barat, eropa kemudianmemasuki masa abad pertengahan. Boleh dikata bahwa pada masa ini feodalisme tumbuh subur di eropa, dan gereja di eropaikut mendukung bentuk-bentuk feodalisme yang ada, bahkangereja ikut memainkan peran dalam setiap bentuk pekerjaanyang sangat bernuansa feodal kala itu. Contohnya ketika seorangbangsawan atau seorang raja hendak diangkat maka haruslah iadiakui dan ditahbiskan oleh gereja. Gereja bahkan memilikikekuatan untuk melengserkan penguasa yang dirasa telahmelenceng dari keputusan gereja.

Ringkasan sejarah gereja yang telah dijabarkan diatas, dapat dikatakan sebagai perjalanan singkat hubungan antargereja dan negara, bahkan dalam ringkasan tersebut sebagaipembaca kita dapat melihat bagaimana gereja dari berbagaimasa kemudian memainkan peran dalam kekuasaan sosial. Peranan-peranan gereja dalam memainkan jalannya kekuasaanditengah kehidupan sosial masyarakat tidak lepas dari pada nuansa feodalisme. Hal itu biasanya dapat terjadi ketika gerejaberdiri ditengah daerah mayoritas Kristen.

Ketika gereja berada ditengah masyarakat mayoritasKristen yang taat terhadap gereja, tentu saja gereja memilikipengaruh untuk ikut campur dalam kehidupan sosial masyarakatatau ikut campur dalam urusan pemerintahan. Usaha-usahapengintervensian gereja terhadap negara dapat dilakukan secaralangsung maupun tidak langsung.

Dewasa ini tentu saja akan sulit ditemui jika kita inginmencari perihal perilaku-perilaku gereja dalam mengintervensinegara secara langsung maupun perilaku-perilaku negara dalammendukung gereja secara langsung dan sepihak seperti yang dilakukan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawahpemerintahan sesudah Konstantinus I maupun pada zaman gereja abad pertengahan, mungkin hal ini masih akan ditemuipada negara Vatikan yang notabene langsung dikepalai oleh Sri Paus. Mungkin saja hal itu dikarenakan semakin luasnyapengaruh globalisasi dan pengaruh iptek, sehingga orang-orang kemudian sudah tidak takut lagi terhadap kekuasaan gerejaseperti pada zaman-zaman sebelumnya, alhasil kekutan gerejadalam mengintervensi jalananya pemerintahan suatu negara sudah sangat sulit dilakukan secara langsung. Namun menjadipertanyaan, apakah bentuk-bentuk pengintervensian secara tidaklangsung yang dilakukan gereja terhadap kehidupan sosialmasyarakat masih dapat kita temui?

Tentu saja banyak sekali cara gereja guna mengintervensijalannya pemerintahan suatu daerah atau suatu negara secaratidak langsung, misalnya ketika gereja berdiri ditengah daerahdengan masyarakat mayoritas Kristen atau dapat dibilang agama Kristen merupakan salah satu agama terbesar di tengahkehidupan dimana suatu jemaat didirikan. Tentulah gereja dapatmemanfaatkan kuantitas jumlah jemaatnya guna dijadikansebuah alat politik. Alhasil para pejabat gereja memilikikekuatan dalam hal mengintervensi jalannya pemerintahan suatunegara secara tidak langsung, dan pada akhirnya para pejabatgereja kemudian memainkan fungsi feodalisme denganmemanfaatkan jabatan gereja mereka guna mewujudkankepentingannya sendiri. Hal ini mungkin saja dapat terjadiapabila para pimpinan gereja terlanjur memiliki birahikekuasaan yang sangat besar guna mewujudkan kepentinganbagi dirinya sendiri. Namun hal seperti ini juga dapat dicegahapabila gereja maupun negara tau diri dan membatasi diri pada tugasnya masing-masing (Franz Magnis Suseno, 2001).

Memang dapat dikata bahwa politik tidaklah diharamkanoleh persekutuan orang-orang Kristen, namun yang diharamkanadalah praktik-praktik politik yang keliru. Gereja pada era kontemporer ini sebaiknya jangan anti terhadap aktifitas-aktifitas politik, dalam artian gereja harus mampu membuatjemaat sadar akan pentingnya sumbangsi para jemaat bagiperwujudan suatu kesejahteraan negara yang mereka diami(Yer.29:7). Namun bukan berarti gereja harus turut campurtangan terlalu jauh dalam kehidupan bermasyarakat denganbersikap mengiyakan segala sesuatu yang dilakukan oleh negara tanpa memberikan nasihat-nasihat atau bahkan kritikan terhadapnegara ketika para pemerintah-pemerintahnya sudah tidakbekerja demi kesejahteraan rakyatnya.

Oleh : Erlangga C. G. Paath, S.H

  • Bagikan