Eksistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perubahan Undang-Undang

  • Bagikan
Jovano Apituley (foto ist)

Penulis: Jovano A.A. Apituley

A. PENDAHULUAN

Lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2003 yang dijuluki Lembaga Negara Pengawal Konstitusi (the guardian of constitution) & penafsir tertinggi Konstitusi(the sole interpreter of constitution). sebagai salah satu dari Bunga Reformasi merupakan warna baru bagi perkembangan Hukum dan Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Eksistensi MK diharapakan berfungsimewujudkan keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara dan pastinya memaksimalkan upaya Supremasi Konstitusi.

Harapan-harapan diatas bagi MK, dipercaya dapat diwujudkan lewat pemaksimalan Kewenangannya sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 24C Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yaitu:

Menguji Undang-undang terhadap UUD 1945.(judicial review)

Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Memutus pembubaran partai politik.
Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Keberadaan judicial review secara materiil & formilsebagai Salah satu kewenangan MK sebagai perwujudan dari pembatasan kekuasaan melalui mekanisme checks and balances antar cabang kekuasaan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan konsekuensi Logis dari prinsip supremasi Konstitusi yang menurut Hans Kelsen untuk menjamin tidak bertentangannya produkhukum yang lebih rendah dengan produk hukum di atasnya (Stufenbau Theory) yang dibuat oleh Cabang kekuasaan Legislator.

Berdasarkan Laporan Tahunan MK 2021, hingga 13 Agustus 2021, MK telah mengadili sebanyak 1412 perkara judicial review, banyaknya judicial review yang dikabulkan oleh MK menunjukkan bahwa produk Hukum yang dilahirkan Legislator kita masih sering berseberangan dengan Konstitusi, tidak partisipatif, aspiratif dan akuntabel. Namun dalam realitanya, MK dalam menjalankan Kewenangannya yaitu judicial review melalui Putusannya, seringkali Putusan MK terhadap judicial review ini tidak dihiraukan oleh para legislator dalam Perubahan produk Undang-undang buatannya. ini yang menjadi kegelisahan penulis sehingga mengangkat topik pembahasan kali ini.

B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG BERSIFAT DECLARATOIR CONSTITUTIEF

Sesuai amanat Konstitusi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru melalui satu pernyataan. Sifat yang declaratoir demikian tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan hakim MK. Eksekusi yang demikian dibutuhkan dalam jenis-jenis putusan pengadilan biasa yang bersifat condemnatoiryang menghukum/memaksa salah satu pihak untuk melakukan sesuatu. Hal itu berarti tetap Putusan MK memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan, Permasalahan kemudian muncul ketika putusan MK membutuhkan kesadaran dan tindak lanjut adrressat untuk merealisasikannya karena putusan tersebut. Faktanya, kekuatan final dan mengikat putusan MK yang bersifat declaratoir constitutief tidak dapat diimplementasikan secara konkret (non-excutiable) dan hanya mengambang(floating execution).

Karena putusan MK mengikat secara umum (erga omnes), pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perubahan Undang-undang yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Karena sudah seharusnya Legislator memasukkan materi muatanPutusan MK dalam perubahan Undang-undang, karena secara normatif diamanatkan langsung oleh Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan (UU P3) Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi: “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf dilakukan oleh DPR atau Presiden”, dan lewat mekanisme daftar kumulatif terbuka diluar prolegnas Pasal 23 ayat (1) huruf b yang juga berbunyi: Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:… b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi;. Namunwalaupun sudah diperintahkan oleh UU P3 Legislatormasih tidak mengindahkannya, karena legislator mulai sadar bahwa tak ada konsekuensi besar jika tidak mengamini Putusan MK dalam materi Undang-undangContoh-contoh Putusan MK yang tidak diindahkan, antara lain: Pertama, Putusan Nomor 011/PUU-III/2005 yang menyatakan bahwa penjelasan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada putusan tersebut MK berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan konstitusi tidak boleh ditundatunda, termasuk ketentuan anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan telah dinyatakan secara express verbis, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Namun, pada undang-undang yang lain yaitu Undang-Undang tentang APBN Tahun 2005 panitia anggaran DPR hanya mengalokasikan anggaran sebesar 36 Triliun atau setara dengan 8,1 persen dari total anggaran yang ada. Kedua, Terdapat tiga putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yakni Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang berkaitan dengan kedudukan anak di luar kawin, Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang berkaitan dengan perjanjian kawin, dan Putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 yang berkaitan dengan batas usia perkawinan. Meskipun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah diundangkan, namun ternyata hanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang telah direspon oleh legislator dalam Revisi tersebut, sedangkan dua Putusan yang lain, belum direspon, padahal telah dijatuhkan lebih awal. Meskipun demikian, dua Putusan Mahkamah Konstitusi yang belum direspon di dalam revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tetap bersifat final dan mengikat (final and binding). Karena Risalah diatasyang menimbulkan pertanyaan mengapa putusan Mahkamah Konstitusi seringkali diabaikan Legislator.

C. ALASAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI SERING DIABAIKAN LEGISLATOR

Alasan kenapa putusan MK sering diabaikan karena; Pertama, berkaitan dengan Tenggang Waktu Pelaksanaan Putusan dan Anomali Ketentuan Undang-Undang Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum”. Hal ini menunjukkan bahwa sejak selesainya putusan itu diucapkan atau dibacakan, maka sejak saat itu pula perintah putusan itu harus dilaksanakan. Keadaan ini jelas akan mempersulit addressat putusan untuk menindaklanjuti perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Tidak mungkin putusan Mahkamah Konstitusi ditindaklanjuti sesaat seketika setelah putusan itu dibacakan. Dibutuhkan proses dan waktu untuk menindaklanjuti putusan. Hal ini terutama yang berkaitan dengan legislator yang membutuhkan instrumen hukum baru dalam bentuk revisi atau bahkan undang-undang baru, padahal pembentukan undang-undang berkarakter formal prosedural (non-self implementing). Implementasi Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah contoh dari dibutuhkannya waktu untuk merevisi dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Bahkan, upaya untuk melaksanakannya dalam keadaan tertentu tidak dapat dilakukan revisi undang-undang secara langsung, addressat putusan tidak jarang harus mengadakan rapat konsultasi ataupun diskusi bersama Mahkamah Konstitusi untuk mengetahui original intent putusannya. Hal ini menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konsitusi tidak serta merta dapat dilaksanakan seketika saat selesai dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum itu. Kedua, penjalanan fungsi MK yang sering dianggap terlalu luas sehingga memunculkan kecemasan di Kalangan pegiat penegak hukum bahwa MK telah menjadi superbody yang mengatasi lembaga-lembaga lain karena secara sepihak suka menafsirkan UUD tanpa dapat dipersoalkan mengingat putusannya bersifat final dan mengikat. MK dipandang sering mengambil prespektifnya sendiri, padahal ada prespektif lain yang juga argumentatif. Dalam hal ini, putusan MK itu kemudian tidak dapat dilihat sebagai kebenaran yang secara substantif sejalan dengan isi atau politik hukum UU melainkan hanya sejalan dengan pilihan perspektifnya sendiri. Padahal, setiap prespektif itu mempunyai logika-logikanya sendiri yang juga benar, yang mana hal ini berkaitan dengan Kewenangan Negative Legislature MK. Karena ada anggapan bahwa jika Hakim konstitusi dapat memutus pasal tertentu saja dari suatu undang-undang yang diuji, namun bagaimana jika pasal tersebut merupakan “jantung” atau menentukan operasionalisasi keseluruhan Undang-Undang, pembatalan pasal tertentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Misalnya, bagaimana implikasi putusan tersebut terhadap pasal-pasal lain yang bersumber dari pasal yang dibatalkan? Akibatnya, pelaksanaan UU tersebut menjadi sangat rawan bertentangan dengan UUD 1945. Namun penulis sadar bahwa akan banyak perdebatan berkaitan dengan kewenangan Negative Legislature dan Positive Legislature, yang sebaiknya dibahas terpisah dari kajian ini, karena 2 hal tadi sangat berkaitan dengan mazhab pemerhati MK, yaitu tentang masing-masing penganut mazhab Judicial Activism & Judicial Restraint.Ketiga, harus diakui, Mahkamah Konstitusi (“MK”) tidak memiliki aparat dan kelengkapan apapun untuk menjamin penegakan putusannya, akan tetapi MK berkepentingan untuk melihat putusannya dihormati dan dipatuhi. Tidak ada polisi atau juru sita pengadilan atau instrumen lain untuk melaksanakan apapun yang diputuskan MK atau yang menurut putusan tersebut harus dilaksanakan. Oleh sebab itulah, kekuasaan kehakiman khususnya MK dapat dipandang sebagai cabang kekuasaan negara yang paling lemah (the least dangerous power, with no purse nor sword).

D. KESIMPULAN

Karena Putusan MK yang sifatnya Declaratoir Constitutief dan juga tidak adanya konsekuensi yang begitu berarti bagi addressat Putusan MK. Untuk itu disarankan agar DPR dan pemerintah memikirkan kembali bagaimana politik hukum ke depan supaya putusan MK dapat diimplementasikan dan dihadirkansanksi bagi addressat putusan yang tidak mau melaksanakan putusan tersebut. Agar supaya tidak ada tawar-menawar terhadap Mahkamah Konstitusi yang bukan hanya dijuluki Lembaga Negara Pengawal Konstitusi (the guardian of constitution) & penafsir tertinggi Konstitusi (the sole interpreter of constitution), tapi juga memaknai julukan tersebut.(*)

  • Bagikan