Berbicara mengenai organisasi kemahasiswaan, tentunya yang pertama kali dipikirkan oleh orang-orang adalah seorang mahasiswa yang tergabung dalam suatu wadah dalam hal ini organisasi entah itu organisasi internal maupun eksternal.
Dahulu nama organisasi kemahasiswaan terdengar sangatlah luar biasa terutama bagi mahasiswa baru yang masihlah menggebu gebu untuk ikut dalam organisasi, dengan harapan organisasi kemahasiswaan sebagai wadah berproses mampu untuk melatih kecakapan intelektual dan kepemimpinan melalui organisasi yang dipilihnya.
Namun saat ini dengan pesatnya modernisasi dan kemajuan teknologi organisasi dihadapkan dengan tantangan besar yaitu para mahasiswa saat ini diperhadapkan dengan banyak referensi tempat untuk berproses dan mengembangkan softskill yang dimilikinya salah satu contohnya ialah Kampus Merdeka.
Kampus Merdeka merupakan sebuah program yang dirilis oleh Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia pada akhir Januari 2020. Dalam program ini, mahasiswa diberikan kesempatan untuk mengambil mata kuliah di luar program studi selama 1 semester atau mengikuti kegiatan yang ada di luar kampus selama 1 semester.
Walaupun mengikuti organisasi atau Kampus Merdeka hanyalah masalah prioritas. Stigma mengenai budaya buruk didalam organisasi juga turut menjadi pertimbangan bagi para mahasiswa untuk ikut terlibat dalam organisasi kemahasiswaan, mulai dari stigma bahwa organisasi kemahasiswaan dipenuhi praktik perpeloncoan hingga adanya stigma tentang mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan akan sulit maupun lambat dalam menyelesaikan studinya di kampus. Hal ini lah yang menyebabkan lunturnya eksistensi organisasi, hal tersebut dapat dilihat dari menurunnya minat mahasiswa untuk terlibat dalam organisasi kemahasiswaan.
Pada dasarnya pilihan untuk terlibat dalam organisasi kemahasiswaan ataupun tidak, sama sekali tidak menentukan masa depan seorang mahasiswa, karena pengalaman kepemimpinan dan relasi tidak semata-mata hanya didapatkan dalam organisasi. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan yang paling mendasar, apakah organisasi kemahasiswaan saat ini masih relevan untuk diikuti?
Dari sisi sejarahnya sendiri, awal mula terbentuknya organisasi kemahasiswaan adalah sebagai alat perjuangan untuk menentang pemerintahan orde baru, dan saat ini kekhawatiran mulai muncul ketika organisasi kemahasiswaan kedepannya hanya akan menjadi cerita sejarah yang akan ditinggalkan. Karena banyaknya faktor yang mempengaruhi mahasiswa dalam menentukan pilihan rasional mereka.
Berbicara mengenai relevansi, sesungguhnya di kembalikan lagi kepada organisasi tersebut. Dimana organisasi kemahasiswaan saat ini harus melakukan pembenahan mengenai tata cara mengelola organisasi, seperti sistem recruitment yang masih mengandung unsur bentakan berkedok melatih mental, hingga doktrinasi untuk kepentingan organisasi yang terkadang mengorbankan perkuliahan.
Menentukan pilihan, sesungguhnya tidak menjadi persoalan karena setiap mahasiswa memiliki hak dalam menentukan pilihannya masing-masing. Bahkan satu kesalahan ketika mahasiswa terlibat dalam organisasi hanya sekedar numpang nama dalam organisasi maupun hanya sekedang ingin mengoleksi PDH dengan niatan mendapat pengakuan sebagai mahasiswa yang aktif dikampus tetapi tidak mampu untuk memahami apa yang menjadi persoalan fundamental dalam organisasi tersebut
Sebelum menentukan keputusan memilih organisasi yang mana yang ingin dimasuki, mahasiswa haruslah memikirkan kembali apa yang menjadi esensi utama dari organisasi tersebut. Sangatlah bijak ketika sebuah pilihan di putuskan dengan pertimbangan yang matang. Lain halnya jika pertimbangan itu semata-mata hanya ingin numpang nama dan hanya mencari sertifikat semata, akan sama halnya dengan gelas kosong yang akan tetap kosong jika tidak diisi air sesuatu oleh pemiliknya.
Oleh : Muh. Giok Ramadhan, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sam Ratulangi.
Kutipan : Ketika pilihan telah ditetapkan, konsekuensi menjadi suatu keharusan.