Tulisan ini bukan dibuat untuk mencari pujian atau ingin menuai sanjungan, melainkan untuk menegaskan bahwa sejarah bukan milik negara, melainkan milik rakyat yang diwariskan melalui pergulatan zaman yang panjang. Milik mereka yang berjuang, yang berdarah, yang dilukai, dan yang terus nabur harapan. Oleh karena itu, penulisan ulang sejarah tidak bisa dilakukan secara sepihak oleh negara atau lembaga yang mengklaim mewakili rakyat.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan sedang menyusun ulang Sejarah Nasional Indonesia dalam sepuluh jilid, dari masa awal hingga era reformasi. Proyek ini disebut sebagai upaya “memperbarui” sejarah, sekaligus menjadi hadiah bagi HUT ke-80 kemerdekaan. Namun di balik niat yang terlihat baik itu, ada kekhawatiran yang muncul: mungkinkah sejarah sedang diarahkan kembali menjadi alat kekuasaan?
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyangkal adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998—meskipun Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat puluhan kasus kekerasan seksual, sehinggah muncul pertanyaan besar soal arah dan objektivitas penulisan ulang ini.
George Orwell pernah berkata, “Siapa yang mengendalikan masa lalu, dialah yang mengendalikan masa depan. Siapa yang mengendalikan masa kini, dialah yang mengendalikan masa lalu” Sejarah tidak pernah dan bukanlah sesuatu yang netral. Ia bisa menjadi alat propaganda, tergantung siapa yang menulisnya dan untuk kepentingan siapa. Apa yang dicatat akan membentuk ingatan kolektif, dan yang disembunyikan perlahan akan hilang dari kesadaran publik.
Kita sudah punya pengalaman soal ini. Di masa Orde Baru, sejarah ditulis untuk membenarkan kekuasaan. Lawan politik dicitrakan sebagai pengkhianat, sementara penguasa digambarkan sebagai penyelamat bangsa. Sejarah dijadikan alat kontrol, bukan pencarian kebenaran. Reformasi 1998, memberi angin segar bagi narasi maupun literatur alternatif—nama-nama yang dulu dibungkam mulai dibicarakan kembali. Namun kini, dengan proyek penulisan ulang sejarah nasional oleh negara, muncul pertanyaan kritis: sejarah ini akan ditulis sesuai versi siapa? Apakah ini langkah jujur membuka semua sisi sejarah, atau sekadar memperhalus luka lama agar nyaman bagi kekuasaan?
Sejarah yang disusun oleh negara selalu berisiko menjadi alat legitimasi. Jika prosesnya tidak dilakukan secara transparan dan tidak melibatkan banyak perspektif, hasilnya bukan rekonstruksi sejarah, melainkan manipulasi kebenaran. Maka penulisan sejarah harus dilakukan dengan independensi yang kuat. Harus melibatkan akademisi independen, sejarawan kritis, dan aktivis HAM. Harus terbuka terhadap kritik dan diawasi publik. Sebab sejatinya, sejarah adalah milik mereka yang hidup dalam zaman, yang berjuang, yang berdarah, yang dilukai, dan yang terus berharap. Jika kita membiarkan sejarah ditulis ulang demi kepentingan kekuasaan, maka kita sedang membangun masa depan di atas kebohongan yang rapuh.
Oleh : Muh. Giok Ramadhan