Penulis : Casey Khowijaya
Pembentukan Pengaturan Kepailitan Di Indonesia
Krisis Moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 memberikan dampak yang sangat
besar bagi perekonomian di Indonesia. Keadaan ini menimbulkan kesulitan terhadap dunia usaha,
yang dimana berdampak juga bagi perkembangan dan keberlangsungan para pelaku usaha. Saat
krisis moneter terjadi banyak permasalahan ekonomi yang timbul, salah satunya adalah inflasi
yang meningkat secara signifikan, dan penurunan drastis nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, yang mengakibatkan terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelumnya positif
menjadi minus 13-14%. Kondisi ini mengakibatkan banyak perusahaan-perusahaan berada di
ambang kebangkrutan. Banyak perusahaan yang kesulitan membayar kewajiban utangnya
terhadap para kreditor.
Melihat kondisi yang terjadi saat itu, diperlukan peran penting dari adanya peraturan
mengenai hutang piutang (kepailitan) yang diharapkan setidaknya dapat menangani dan
mengakomodir masalah-masalah yang terjadi. Peraturan mengenai kepailitan di Indonesia sudah
ada dan tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan Reglement op de
Rechtsvoordering (RV), kemudian diganti dengan Failisment Verordenning. Failisment
Verordenning ini berhenti diberlakukan karena krisis moneter, sehingga pemerintah yang berkuasa
saat itu menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang (PERPU) No.1 tahun 1998. PERPU ini
kemudian resmi ditetapkan sebagai undang-undang menjadi UU No.4 tahun 1998. Dan seiring
dengan perkembangan kondisi perekonomian Indonesia, regulasi di bidang kepailitan mengalami
perubahan dengan diterbitkannya UU No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Tujuan Dibentuknya Undang-Undang Kepailitan & PKPU, Dalam Hal Ini UU No.37 Tahun
2004
Diterbitkannya Undang-undang Kepailitan & PKPU dalam hal ini UU No.37 tahun 2004
memiliki tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang
secara cepat, adil, terbuka, dan efektif. Tujuan lain dari pembentukan Undang-undang ini adalah :
- Memberikan Perlindungan Hukum
Memberikan kepastian hukum disini dengan maksud untuk Menjamin hak Debitur
dan para Kreditur, serta Mengatur Kewajibannya. Bagi kreditur diberikan jaminan
hukum atas pengembalian kredit lewat jaminan harta benda debitor dan bagi debitor
diberikan keringanan dalam penundaan pembayaran hutang dan masih memiliki
kesempatan untuk memperbaiki dan menata kembali bisnisnya.
Undang-undang ini juga memberikan sistem peradilan utang pituang yang
lebih jelas, dalam hal ini penyempurnaan syarat dan prosedur permohonan pailit.
- Pemberian keadilan
Undang-undang menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor diantara para
Kreditor sesuai dengan asas Pari Passu Pro Rata Parte (membagi secara rata atau
proporsional harta kekayaan Debitor kepada para Kreditor berdasarkan
perimbangan besarnya tagihan masing-masing), sebagaimana diatur dalam pasal
1132 KUHPerdata. Undang-undang ini juga mencegah Debitor tidak melakukan perbuatan
yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor.
Implementasi Undang-undang Kepailitan & PKPU Dengan Kondisi Dan Perkembangan
Indonesia saat ini
Seiring dengan perkembangan hukum dan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, UU
No.37 tahun 2004 merupakan peraturan yang diharapkan bisa mengatasi permasalahan utang
piutang yang terjadi. Namun jika kita meninjau implementasi Undang-undang Kepailitan & PKPU
ini, masih ada kekosongan hukum yang terjadi, yang dalam pengimplementasiaannya belum dapat
mencakup seluruh keadaan dan kondisi yang ada. Undang-undang Kepailitan & PKPU saat ini
belum memiliki peraturan yang jelas dalam menangani kasus kepailitan lintas batas negara. Tidak
adanya ketentuan khusus mengenai cara penyelesaian putusan pailit terhadap aset debitor pailit
yang ada di luar negeri menimbulkan suatu permasalahan dalam hal eksekusinya. Pentingnya
hukum kepailitan lintas batas negara untuk diatur dalam peraturan Kepailitan di Indonesia agar
memberikan kepastian bagi para penegak hukum maupun masyarakat terhadap permasalahan
kepailitan lintas batas negara.
Kasus yang pernah terjadi di Indonesia dalam perkara kepailitan lintas batas negara ini
pernah diputus oleh Pengadilan Niaga yaitu Putusan No.021/PKPU/2000/PN.Niaga Jkt.Pst. Jo.
Putusan No.78/Pailit/2001/PN.Niaga. Dimana seorang pengusaha yang berdomisili di Indonesia
merupakan Debitor yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam kasus ini
diketahui bahwa bahwa debitor memiliki sejumlah aset dan deposito di negara Saudi Arabia,
namun putusan pailit Pengadilan Niaga tidak otomatis dapat mengeksekusi aset debitor di Saudi
Arabia. Hal ini berbenturan dengan masalah kedaulatan suatu negara, putusan Pengadilan tidak
dapat digunakan untuk mengeksekusi aset debitur yang berada di luar kedaulatan Negara
Indonesia.