actadiurna.id – Pusat Studi Kepemiluan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fispol) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado mengadakan diskusi publik bertajuk “Keterwakilan Perempuan Dalam Kelembagaan Penyelenggara Pemilu” di sekretariat AIPI cabang Manado, Jumat (12/8/2022).
Pemateri Pertama, Feiby Wewengkang, S.H, M.H Akademisi Fakultas Hukum (FH) Unsrat memaparkan Undang-undang yang menjelaskan keterwakilan perempuan dalam keanggotaan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Provinsi dan kabupaten/kota.
“Di dalam Undang-undang nomor 15 Tahun 2001 pasal 6 ayat 5 disitu ditulis bahwa posisi keanggotaan KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota keterwakilan perempuan, sekurang-kurangnya 30 persen keanggotaan penyelenggara pemilu,” tuturnya.
Ia juga menambahkan pasal lainnya yang menyorot tentang pentingnya posisi perempuan.
“Kemudian di pasal 73 ayat 3 disitu, komposisi keanggotaan Bawaslu dan Panwaslu kabupaten atau kota ada keterwakilan perempuan. Dari beberapa pasal itu kita lihat berapa pentingnya keterwakilan perempuan,” ungkap Wewengkang.
Sementara itu, pemateri kedua Vivi George, S.KM selaku Aktivis Swara Parangpuan Sulawesi Utara mengungkapkan perjuangan Swara Parangpuan dalam memperhatikan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggaraan pemilu.
“Kami Swara Parangpuan dan koalisi perempuan di dalamnya melayangkan surat sampai ke Bawaslu. Tadi juga sudah jelas sekali dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 KPU pasal 10 ayat 7, memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen,” tuturnya.
Ia menyorot tentang keterwakilan perempuan dalam kelembagaan penyelenggara pemilu, apalagi dengan adanya regulasi yang sudah diatur.
“Mengapa keterwakilan perempuan sangat penting? Regulasi sudah diatur kemudian dari sisi keterwakilan perempuan dari kelembagaan penyelenggara pemilu sebetulnya itu sebuah akses untuk melamar. Seharusnya juga tim seleksi memperhatikan itu,” pungkasnya.
Selanjutnya Mineshia Lesawengen S.IP yang mewakili Pusat Studi Kepemiluan membuka data keterwakilan perempuan di berbagai provinsi di Indonesia.
“Di data saya dapat yang mencapai 50 persen ada dari Jawa timur, Kalimantan Tengah, Papua Barat dan Kepulauan Riau yang salah satu tim seleksi ada mner Ferry Liando,” ucapnya.
Mineshia pun mempertanyakan kenapa Provinsi Sulawesi Utara sampai keenam besar tidak ada perempuan, padahal yang lolos administrasi berkas ada 13 perempuan?
“Ketika timsel mengumumkan 6 besar dan tidak ada perempuan, saya cukup kecewa dimana memang seharusnya sudah ada regulasi yang mendorong keterlibatan perempuan,” ungkap Neshia.
Ia melanjutkan, “kebijakan affirmative action itu dengan frasa memperhatikan, malah dinilai bukan suatu hal yang wajib,” satirenya.
Adapun Pembina Pusat Studi Kepemiluan, Ferry Daud Liando menjelaskan sejarah terbentuknya Pusat Studi Kepemiluan Fispol Unsrat .
Liando memaparkan, dulunya, Pusat Studi Kepemiluan ini baru kelompok mahasiswa, “saya yang menjadi juri debat nasional, dalam hal pemilu, disitu teknik berdebat mereka baik sekali,” pujinya.
Adapun Liando menambahkan, “Pada waktu itu, saya Ketua Jurusan dan saya ingin pada saat saya kembali ke Unsrat, saya akan membentuk kelompok mahasiswa untuk bisa tampil seperti ini,” bebernya.
Ia juga menambahkan, saat dirinya menjadi juri debat nasional, Liando pernah melontarkan pertanyaan yang berniat untuk “memancing” anak-anak bimbingannya.
“Pada saat itu, saya provokasi mereka. Saya katakan saya baru menjadi juri, saya tidak mau egois, mner sudah dibangga-banggakan tetapi mahasiswanya mana?,” tanyanya.
“Lalu diajaklah Mineshia dan kawan-kawan (untuk dibentuk Pusat Studi Kepemiluan Fispol Unsrat, red),” tutup Liando.
Diketahui, Diskusi Publik ini diikuti berbagai Organisasi Mahasiswa Fispol Unsrat dan organisasi kepemudaan Sulawesi Utara.
Reporter : Octovianus Duwith
Editor : Andini Choirunnisa