Punk Adalah Perlawanan, Punk Adalah Sikap

  • Bagikan
Yobel Sulu (foto istimewa)

Penulis : Yobel Sulu, S.IK

Kita semua pasti pernah mendengar kata punk. Banyak dari kita mengenalnya sebagai genre musik. Para pelantunnya contoh Sex Pistols, Descendents, Ramones, Marjinal, dan masih banyak lagi. Meminjam kata-kata dari Atolah Yafi dalam bukunya History Of Punk bahwa punk adalah penggabungan filosofi perlawanan dan musik cadas.

Punk lahir mendobrak kebiasaan-kebiasaan manusia yang dibilang ‘normal’. Musik-musik mereka pun hanya menjadi medium untuk keresahan, tuntutan, dan solidaritas.

Seringkali muncul narasi-narasi miring terhadap punk, contohnya perusak, mabuk-mabukan, LSD, tampil dengan gaya acak-acakan, juga orang-orang tak berpendidikan. (Padahal Milo Aukerman vokalis band punk Descendents bertolak belakang dengan itu semua.), dll. Tidak semua bro tidak semua. Itu terlalu melebih-lebihkan.

Lirik-lirik lagu punk mayoritas berisi perlawanan terhadap kemapanan. Beberapa instrumennya pun kadang kali hanya sederhana dengan memainkan 3 chord saja. Dari pandanganku musik-musik mereka jauh dari kata estetis, tetapi kekuatan lirik mereka yang frontal menjadi keunikan dalam salah satu arus perjuangan.

Tetapi Punk itu lebih dari musik. Punk adalah sebuah sikap, sikap untuk melawan, dan sikap untuk tidak menjadi manusia ‘normal’. Punk juga tidak harus memakai jaket kulit dengan celana sempit yang robek, serta rambut mohawk. Seperti yang saya bilang, punk adalah sikap, tidak penting pakaianmu, warna kulitmu, beragama maupun tidak beragama. Tetapi jadi satu dengan keyakinan yang sama, yaitu perlawanan.

Greg Graffin vokalis band punk kondang, Bad Religion dan juga seorang dosen dengan gelar Ph.d.  Ia menjadi contoh salah satu kontradiksi dengan  stereotip di atas. Dalam kutipan terkenalnya ia berkata “ punk adalah ekspresi pribadi tentang keunikan yang berasal dari pengalaman, tumbuh dalam kontak dengan kemampuan manusia untuk bernalar dan mengajukan pertanyaan.”

Perjalanan punk begitu pelik. Mereka selalu disepelekan dengan stereotip-stereotip di atas. Istilah “Sampah Masyarakat” disematkan beberapa pihak terhadap mereka. Bahkan mereka pernah merasakan dinginnya penjara hanya karena penampilan mereka. Sekali lagi punk bukan juga cuma tentang penampilan.

Sejujurnya dulu saya pernah ‘terjebak’ dalam stereotip liar itu tentang punk. Setiap melihat mereka di jalan, pikiran yang tidak-tidak selalu muncul contohnya dipukul atau pun dipalak. Tetapi sejatinya mereka adalah orang-orang yang muak dengan sistem yang menindas dan bosan dengan keadaan sosial yang mengkuras tenaga manusia.

Dan uniknya, rasa marah mereka tumpahkan dalam nyanyian juga aransemen-aransemen yang keras. Lompat-lompatan di arena moshpit dan saling dorong-mendorong  ketika musik dibawakan, mengartikan bahwa mereka berkehendak bebas dalam berekspresi. Sehabis lagu dibawakan, anak-anak punk akan serentak bertepuk tangan untuk mengapresiasi lagu. Solid, fleksibel dan free.

They just having fun and resist against the system. Mereka mempunyai keyakinan politik mereka sendiri, arus perlawanan mereka pun lewat musik dan kesenian lainnya. Unik, cadas, dan memiliki tujuan. Orasi-orasi mereka lantang dari panggung ke panggung, negara ke negara, juga sampai ke telinga pemegang kekuasaan.

Rise above we’re gonna rise above, we are tired of your abuse, tried to stop us its no use” (Penggalan lirik Black Flag – Rise Above).

2022(*)

 

  • Bagikan