Peringatan Hari Air se-Dunia di Tengah Ketimpangan

  • Bagikan
Lokasi persawahan masyarakat setempat di samping area Villa Lucky Kusoy, Tatelu, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, pada 5 Maret 2022, Pukul 07:56 WITA. (Foto: Noufryadi Sururama)

Penulis : Noufryadi Sururama (Bung Adi)

– Mahasiswa, Universitas Trinita Manado, Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi Farmasi

– Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

– Angkatan II Persatuan Kelompok Adat Serta Alam (PAKASA), Kota Bitung

– Koordinator Jurnalis Peduli Sumber Daya Air (JPSDA) Sulawesi Utara

– Relawan Konservasi Sulawesi Utara

 

Konon, “Selamat memperingati Hari Air se-Dunia”, bagi sumber airnya berkelimpahan, bersih dan murah, atau bahkan gratis.

Lalu bagaimana dengan daerah-daerah yang untuk mendapatkan air harus melewati akses yang berbahaya dan memakan waktu berjam-jam? Yang sumber airnya sudah tercemar dengan limbah pabrik-pabrik? Yang volume mata airnya makin hari kian kecil akibat penggerusan hutan oleh para investor tambang dan perkebunan kelapa sawit?

Apakah momentum hari Air se-Dunia sengaja dimegahkan biar kesengsaraan makin abadi dengan mengikuti zaman? Apakah hari Air se-Dunia ternyata hanya seremonial bagi pemangku kuasa untuk meninabobokkan kaum jelata biar kepentingan kolega, kerabat dan keluarga makin masif menginvansi sumber daya yang ada?

Berdasarkan Undang Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 7 Tahun 2004, air adalah semua wujud air yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dam air laut yang berada di darat (tambak). Fungsi air sebagai kehidupan dan penghidupan, sekaligus melengkapi kehidupan manusia, serta seluruh flora dan fauna yang ada di bumi.

Kebutuhan air merupakan jumlah air yang cukup dibutuhkan untuk kebutuhan dasar manusia dan kegiatan lainnya yang memerlukan air. Sedangkan pemakaian air adalah jumlah air yang digunakan dari sistem yang ada bagaimanapun keadaannya (Rustan, dkk., 2019).

Pada konteks ciri air bersih dan layak minum, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Standar Air Bersih pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air untuk Keperluan Higiene dan Sanitasi, Kolam Renang, Solusi per Aqua dan Pemandian Umum.

Untuk kebutuhan sanitasi, air yang digunakan yaitu tidak berbau, tidak berasa, tidak keruh (tingkat kekeruhan rendah), tidak mengandung bakteri E. Coli, serta mengandung kadar kimiawi yang rendah seperti PH, zat besi, deterjen, sianida, pestisida, timbal, seng dan lain-lain. Sedangkan standar air bersih untuk diminum harus terlindung dari sumber pencemaran, binatang yang membawa penyakit dan tempat perkembangbiakkan hewan atau bakteri.

Makin hari jumlah manusia semakin bertambah. Dalam pemenuhan air, bukan hanya ditelisik dari segi kuantitas melainkan kualitasnya. Konsumsi air di masing-masing daerah di Indonesia tidaklah sama, ini dikarenakan oleh ketersediaan air pada masing-masing daerah tersebut, sehingga akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 2019 mencatat, 2,2 miliar orang atau seperempat populasi dunia masih kekurangan air minum yang aman dikonsumsi. Bahkan, sebanyak 4,2 miliar orang tak memiliki layanan sanitasi yang aman, dan tiga miliar orang tidak memiliki fasilitas cuci tangan dasar. Dalam laporan Bappenas, ketersediaan air di sebagian besar wilayah Pulau Jawa dan Bali saat ini tergolong langka dan kritis. Selain itu, daerah Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan akan mengalami krisis air pada tahun 2045 mendatang.

Menurut rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, hanya 6,87 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum aman. Adapun berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 dari BPS menunjukkan, ada sebesar 90,21 persen rumah tangga yang memiliki akses air minum layak, meskipun distribusinya tidak merata (Iswara, 2021).

Jargon-jargon upaya penanggulangan krisis air bersih pun liar bertebaran. Narasi yang digunakan seakan-akan masyarakatlah pemicu utama dalam menjelaskan fenomena kelangkaan dan krisis air bersih di sejumlah daerah. Berbagai cara telah dilakukan oleh para pegiat lingkungan, aktivis lingkungan, organisasi/komunitas pecinta alam, individu maupun pastisipatif untuk bisa meracik solusi agar ketersediaan air tetap terjaga. Namun, pemangku kekuasaan lebih mendominasi dalam perusakan lingkungan dengan dalih kesejahteraan masyarakat, ekonomi meroket tajam, membuka lapangan pekerjaan, kemudahan akses air bersih, serta wacana reboisasi pun menjadi tameng sewaktu ingin mencanangkan program yang disusun.

Pemicu utama krisis air bersih disebabkan oleh kerusakan hutan. Selain itu pengambilan air tanah secara berlebihan, konflik kepentingan ekonomi yang didukung oleh kebijakan yang kurang tepat, serta pengrusakan sumber-sumber mata air menambah daftar rentetan persoalan air bersih di masyarakat. Bukan minimnya kesadaran dari masyarakat untuk merawat lingkungan, melainkan produk kuasa yang dengan sengaja menabrak aturan hanya untuk kepentingan kekuasaan. Masyarakat sendirilah yang merasakan dampak dan imbas bukan pembuat kebijakan yang hanya menonton kesedihan rakyat.

Kelangkaan air bersih pasti berdampak pada semua lini sektoral yang ada. Keperluan rumah tangga dan kebutuhan dasar, pertanian jika kekurangan pasokan air mengakibatkan gagal bercocok tanam dan panen sehingga menyebabkan terganggunya persediaan pangan, sanitasi yang buruk serta kelaparan berdampak pada kemunculan penyakit (gizi buruk, kolera, tifus dan disentri). FAO pada tahun 2000 melaporkan, sebanyak 2,0 juta orang (didominasi anak-anak) yang berasal dari beberapa negara miskin dan berkembang, meninggal setiap tahunnya disebakan oleh beberapa indikasi penyakit akibat kelangkaan air dan kelaparan.

Sejarah singkat peringatan Hari Air se-Dunia 

Bermula pada sidang umum atau konferensi PBB ke-47 pada tanggal 22 Desember 1992 di Rio de Janiero, Brazil tentang Lingkungan dan Pembangunan. Peringatan ini dimulai setahun sesudahnya, yaitu pada tahun 1993 yang konsen menyoroti isu seputar air. Kemudian, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi dan menetapkan 22 Maret setiap tahun dinyatakan sebagai Hari Air Sedunia.

Di lansir dari pusdataru.jatengprov.go.id, PBB bersama anggota negara yang merayakan kampanye peringatan hari air se-dunia mempromosikan konservasi air secara global melalui kegiatan yang nyata. Kampanye ini secara khusus dipromosikan oleh salah satu badan PBB setiap tahun, dengan melibatkan masyarakat untuk mendengarkan dan memahami tentang masalah air serta koordinasi dengan kegiatan internasional untuk Hari Air Dunia.

Negara-negara anggota PBB dan berbagai LSM dan organisasi non pemerintah juga terlibat dalam gerakan promosi konservasi air bersih yang fokus pada perhatian publik terhadap isu kritis air.  Selama peringatan Hari Air se-dunia, kritik ditujukan untuk memperhatikan masyarakat yang tidak dapat mengakses air bersih dan penggunaan air secara aktual.

  • Bagikan
Exit mobile version