Kodrat Bukanlah Kendala! Sebuah Perenungan Singkat Memandang Perempuan

  • Bagikan
Gloria Lakoy (Sumber Ist)

MENGULIK mengenai perempuan, kapasitas dan kepiawaian perempuan masa kini memang tidak boleh dipandang sebelah mata lagi. Per 10 Januari 2024, terdapat 26 negara dengan 28 perempuan menjabat sebagai Kepala Negara atau Pemerintahan. Sejak dekade menjelang 2002, ‘ramalan’ kepemimpinan perempuan sudah dicetuskan oleh pasangan penulis dari Amerika, John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku Megatrends. Tetapi menjelang pertengahan Tahun 2024, apakah yang mereka sebut ‘ramalan’ itu benar-benar demikian realitasnya?

Patriarki, satu kata yang cukup menyebalkan untuk didengar oleh segelintir perempuan. Perempuan sering kali diidentikkan dengan kalimat ‘mengurus rumah tangga’, pun sering perempuan dibatasi oleh orang tua, suami, bahkan kerabat dalam berbagai aspek salah satunya dalam berkarir.

Banyak lontaran mempertanyakan kenapa perempuan harus hidup mandiri padahal kodratnya sendiri harus berada di dapur sebagai seorang ibu rumah tangga, karena kodrat laki-lakilah yang perlu mencari nafkah dan melakukan pekerjaan berat. Sudut pandang wanita dan laki-laki pun berbeda dikarenakan merupakan konsekuensi perkembangan psikologis yang berbeda. Bagi perempuan tentu saja mengutamakan keterlibatan dan pengorbanan sedangkan bagi laki-laki imperatif moral adalah mempertahankan integritas.

Secara fisik dan stamina memang perempuan berbeda dengan laki-laki, tetapi apakah itu cukup menjadi alasan untuk menghalangi keterperanan dari seorang perempuan dalam berbagai aspek? padahal tidak demikian. Pertama kali ada dalam sejarah, Slovenia menunjuk seorang perempuan Mayor Jenderal Alenka Ermenc sebagai panglima angkatan bersenjata. Kemudian Letnan Satu Marina Hierl, perempuan usia 25 tahun, menjadi perempuan pertama yang memimpin infanteri di Marinir AS dengan 35 prajurit laki-laki, begini buktinya jika perempuan juga bisa menempati posisi sebagai pemimpin bahkan dalam tugas yang berat sekalipun.

Kita tentunya cukup lumrah dengan kalimat Pemberdayaan Perempuan, tetapi yang menjadi pertanyaannya: jika perempuan diberdayakan, kenapa tidak dengan laki-laki? ini bukan tentang membuat perempuan menjadi kuat karena perempuan sudah kuat. Tetapi ini tentang bagaimana memberi kebebasan bagi perempuan dalam memperoleh pengetahuan, membangun kreativitas, keterampilan, berargumen, yang paling penting pun adalah dalam aspek kepemimpinan. Tanpa mengesampingkan kodrat perempuan sebagai seorang ibu, betapa pentingnya bagi seorang perempuan untuk berpengetahuan. Pendidikan paling utama pun dari seorang bayi baru lahir adalah dari seorang Ibu.

Berbicara soal kepemimpinan perempuan, tentu saja perlu dimulai dengan menganggap perempuan itu sebagai manusia. kemudian bertumpu pada pandangan kemanusiaan, kita dapat menyadari bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya memiliki kecerdasan, kapasitas, dan hak yang sama.

Jika diberi pertanyaan “Apakah perempuan berpotensi menjadi pemimpin di masa depan?” maka jawabannya adalah “Mengapa Tidak!”.

Menyimpulkan tulisan di atas, dengan melihat berbagai kendala peluang bagi perempuan untuk unggul di masa depan, perlulah kita membebaskan setiap hak yang dimiliki perempuan sebagai manusia. Silakan untuk tidak melupakan kodrat sebagai seorang istri maupun ibu secara fisik di rumah, tetapi mari biarkan peranan dan pola pikir perempuan mengembara menembus dinding-dinding primodial apa saja dengan dipadukan secara seimbang. Dengan demikian ialah bagaimana perempuan itu sendiri memahami dimensi kemanusiaannya, mengaktualisasikan potensi kepemimpinannya.

Menutup tulisan ini, dengan suatu kutipan dari seorang perempuan hebat, R.A Kartini: “Jangan biarkan kegelapan kembali datang, jangan biarkan kaum wanita kembali diperlakukan semena-mena.”

Kodrat Bukanlah Kendala!
#HIDUPPEREMPUANYANGMELAWAN

 

Penulis: Gloria Lakoy

(Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Unsrat)

  • Bagikan
Exit mobile version