Di berbagai situasi, praktik pungutan liar (pungli) dan gratifikasi sering kali dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Banyak individu menghadapi dilema antara mengikuti arus atau menolak praktik tersebut, meskipun mereka menyadari konsekuensinya. Fenomena ini mencerminkan bagaimana budaya pungli dan gratifikasi telah mengakar dalam sistem sosial dan birokrasi di berbagai sektor.
Dilema Antara Prinsip dan Realitas
Pungutan liar kerap terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari biaya tambahan yang tidak resmi dalam pengurusan administrasi hingga permintaan dana tertentu untuk mempercepat suatu proses. Sering kali, mereka yang menolak terlibat dalam praktik ini justru dihadapkan pada hambatan, seperti proses yang berlarut-larut atau bahkan dipersulit.
Sementara itu, gratifikasi sering kali disamarkan sebagai bentuk “tanda terima kasih” dalam interaksi profesional maupun bisnis. Dalam dunia kerja, misalnya, ada praktik pemberian hadiah kepada pihak tertentu agar memperoleh proyek atau izin dengan lebih mudah. Hal ini memperkuat persepsi bahwa tanpa adanya “uang pelicin,” proses akan berjalan lebih lambat atau sulit.
Pungli di Lingkungan Kampus: Antara Keikhlasan dan Tekanan
Tidak hanya terjadi di dunia birokrasi pemerintahan atau bisnis, praktik pungli juga terjadi di lingkungan akademik. Salah satu contoh nyata adalah permintaan uang catering dan uang untuk dosen, yang meskipun disebut sebagai “sumbangan sukarela,” pada kenyataannya memberikan perbedaan perlakuan yang sangat mencolok bagi mahasiswa.
Mahasiswa yang memberikan sumbangan dalam jumlah besar akan mendapatkan perhatian lebih dari dosen. Mereka sering kali dianggap sebagai mahasiswa yang “baik” dan dekat dengan dosen, sementara mereka yang hanya memberikan sedikit atau bahkan tidak memberi sama sekali akan dianggap kurang kooperatif dan bahkan seperti musuh di mata dosen.
Dampaknya tidak hanya sekadar dalam relasi sosial di dalam kampus, tetapi juga dalam aspek akademik. Nilai mahasiswa cenderung bergantung pada besarnya isi amplop yang diberikan kepada dosen, bukan hanya pada kemampuan akademik mereka. Mahasiswa yang memberi lebih banyak mendapatkan nilai yang lebih baik, sementara yang sedikit memberi harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan hasil yang seharusnya mereka peroleh dengan usaha sendiri.
Budaya yang Membiarkan Pungli dan Gratifikasi Bertahan
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan praktik ini terus berlanjut dan bahkan dinormalisasi dalam kehidupan sehari-hari:
- Sistem yang Lemah
Regulasi tentang pungli dan gratifikasi memang sudah diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Namun, implementasinya masih menghadapi banyak kendala. Pengawasan yang kurang efektif dan sanksi yang tidak selalu tegas membuat praktik ini terus berkembang tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum.
- Normalisasi oleh Masyarakat
Banyak orang menganggap pungli sebagai “uang rokok” atau “biaya tambahan yang wajar.” Praktik ini diterima sebagai bagian dari mekanisme sosial yang memperlancar urusan, sehingga sulit dihilangkan.
- Tekanan Sosial dan Ekonomi
Tidak semua individu yang terlibat dalam praktik ini melakukannya dengan kesadaran penuh. Beberapa merasa terpaksa karena tekanan ekonomi, seperti pegawai rendahan yang mendapatkan gaji rendah sehingga menganggap pungli sebagai kompensasi tambahan.
Lawan atau Ikut Arus?
Menolak pungli atau gratifikasi bukanlah hal yang mudah karena sering kali membawa konsekuensi. Namun, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi fenomena ini:
- Menolak dan tetap teguh
Jika memungkinkan, jangan tergoda untuk ikut arus. Sikap konsisten dalam menolak pungli dan gratifikasi dapat menjadi contoh bagi orang lain dan membantu membangun budaya integritas. Semakin banyak orang yang berani menolak, semakin sulit bagi sistem ini untuk terus berjalan, karena akan mengurangi ketergantungan terhadap praktik ilegal ini serta meningkatkan transparansi di berbagai sektor.
- Mengedukasi masyarakat
Pemahaman mengenai dampak negatif pungli dan gratifikasi perlu diperkuat agar masyarakat lebih sadar akan bahayanya. Edukasi dapat dilakukan melalui kampanye sosial, seminar, dan media digital yang menjelaskan bagaimana praktik ini merugikan individu maupun sistem secara keseluruhan. Selain itu, pengenalan etika dan integritas sejak dini, misalnya melalui kurikulum pendidikan, dapat membantu membentuk sikap anti-pungli di kalangan generasi muda.
- Mendukung transparansi
Sistem berbasis digital dan transparan dalam birokrasi dapat mengurangi peluang terjadinya pungli dengan meminimalisir interaksi langsung antara petugas dan masyarakat. Penggunaan teknologi seperti e-government, sistem pembayaran online, dan pelaporan digital dapat membantu mengurangi celah bagi praktik korupsi. Selain itu, audit yang dilakukan secara berkala serta keterbukaan akses informasi bagi publik dapat meningkatkan akuntabilitas dan mencegah penyalahgunaan wewenang.
Harapan untuk Masa Depan
Perubahan budaya dan sistem tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi dengan langkah-langkah kecil yang dilakukan secara konsisten, ada harapan untuk menciptakan lingkungan yang lebih jujur dan adil. Kejujuran tidak seharusnya menjadi barang langka dalam masyarakat. Jika lebih banyak individu dan institusi berkomitmen untuk melawan pungli dan gratifikasi, maka kita dapat membangun budaya yang lebih bersih dan transparan. Dengan semakin meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum yang lebih kuat, diharapkan praktik pungli dan gratifikasi dapat diminimalisir. Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi hal yang seharusnya tidak menjadi bagian dari kehidupan sosial dan profesional kita. Karena jika tidak, jangan heran jika suatu hari nanti kita harus membayar “uang pelicin” hanya untuk mendapatkan kejujuran itu sendiri.
Oleh: Ellis Batahari