Norma Sosial Merenggut Kebebasan Manusia

  • Bagikan
Suha A. Waani (foto istimewa)

Penulis: Suha A. Waani

Hidup dalam dunia ini rasa-rasanya sangat ribet. Di antara banyaknya rupa manusia yang akan kita temui, atau di antara ribuan bentuk bulan yang berganti setiap malam, ada satu hal yang bisa penulis jamin bahwa pasti akan selalu eksis mengekor setiap helaan nafas manusia bahkan dari kita baru berumur hitungan menit sekalipun.

Mari kita gambarkan begini, bayi yang baru lahir akan dikatakan normal jika menangis sesaat setelah kehangatan yang sudah berbulan-bulan ibunya bagi padanya hilang. Dan saat bayi itu memasuki usia satu tahun, dia akan dianggap normal ketika sudah bisa berjalan. Ketika bayi itu tumbuh menjadi seorang anak kecil berumur kurang lebih 5 tahun, dia akan dianggap normal jika sudah lancar berkomunikasi, lancar membaca, lancar berhitung, bahkan mungkin lingkungan sekitarnya akan bangga ketika anak berusia 5 tahun ini sudah mampu makan sendiri.

Hal tersebut terus menerus ada  di sepanjang  umur seseorang. Ketinggalan kelas hingga harus duduk dibangku sekolah lebih lama akan di cap bodoh, kuliah lebih dari 4 tahun mulai diejek mahasiswa abadi, menganggur lebih dari setahun setelah sarjana mulai dibanding-bandingkan dengan rekan sebaya tamatan SMA yang sudah punya motor atau mobil sendiri, berusia di atas 25 tahun tapi belum menikah mulai mendapat teror bertajuk ‘kok masih sendiri? kapan nikah?’ dari sanak saudara, menikah lebih dari setengah tahun tapi masih belum post story tespack garis dua di media sosial akan mulai diberikan saran ini itu dari para dokter obgyen dadakan dan itu masih akan terus berlanjut.

Memang tidak ada peraturan tertulis atau jika kita menghabiskan satu tahun ajaran untuk membaca isi dari Undang-undang Dasar 1945 kita tidak akan menemui rentetan kalimat yang kira-kira mewajibkan seorang manusia untuk memenuhi ekspektasi dari lingkungan sekitarnya untuk bisa mendapatkan gelar bahwa ‘kamu normal’.

Semua manusia yang hidup di bawah payung langit di era ini mulai tolol membedakan mana hal yang normal dan mana hal yang sudah lumrah terjadi. Sesuatu yang tidak umum mereka jumpai sering sekali dianggap sebagai hal yang tidak normal, dan sebalik mereka mulai menormalisasikan suatu hal hanya karena hal tersebut lebih dominan mereka lihat atau lakukan.

Hidup dalam bayang-bayang rekan sesama penghuni bumi yang punya isi pikiran demikian menjadi beban yang sangat-sangat berat untuk dijalani. Bagaimanapun potensi dari seseorang, jika dia tidak mampu untuk bertindak ‘normal’ dengan cara memenuhi semua syarat dan ekspektasi lingkungan sekitar, maka jangan harap kalian akan dianggap manusia oleh para ‘manusia-manusia ‘normal’ itu.

Seorang wanita akan disebut normal jika dia pandai memasak. Seorang pria dapat dikatakan normal jika menyukai sepak bola. Seorang wanita disebut normal ketika pandai membersihkan rumah. Seorang pria akan dipandang aneh ketika dia menangis. Seorang wanita akan mendapat cap buruk ketika dia perokok. Seorang pria di anggap wajar-wajar saja menghabiskan satu hingga dua bungkus rokok tiap hari. Seorang ibu dan istri dianggap melaksanakan kuadratnya dan tidak diperbolehkan mengeluh atau mengabaikan ‘tanggung jawabnya mengurus suami dan anaknya. Seorang suami dan ayah dinilai wow oleh lingkungan ketika mengasuh anak atau membereskan rumah.

Penilaian-penilaian masyarakat yang hanya berporos pada apa yang lumrahnya terjadi membuat mereka sendiri terjebak dalam stigma yang mereka bangun sendiri. Tidak adanya keinginan untuk berpikir luas mendorong mereka mau tidak mau hidup dengan segala tuntutan itu dan bahkan memberikan beban pada generasi penerus mereka untuk melanjutkan kehidupan ‘normal’ sesuai standar sialan yang sudah mereka bentuk.

Susah memang jika kita ingin mengelak dan menepis barometer kenormalan yang sudah berakar didunia sekarang ini. Kemajuan teknologi dan pertambahan umur bumi tidak memberikan pengaruh signifikan untuk membantu orang-orang yang ingin keluar dari kepelikan semacam ini. Jati diri seseorang direnggut paksa demi gelar ‘manusia normal’ yang entah bagaimana sistem penilaian formalnya.

  • Bagikan